30 Agustus, 2007

Kebijakan HCVF Ancam Hak Masyarakat Adat

Dari: kelompok advokasi <kelompok_advokasiriau@yahoo.co.id>
Kepada: tata_ruang_riau@yahoogroups.com; forum jikalahari <Forum-Diskusi-Jikalahari@yahoogroups.com>; ngo riau <ngo_riau@yahoogroups.com>
Terkirim: Rabu, 13 Juni, 2007 11:30:35
Topik: [tata_ruang_riau] Kebijakan HCVF Ancam Hak Masyarakat Adat


Kebijakan HCVF Ancam Hak Masyarakat Adat

Samarinda, Tribun-Kebijakan High Conservation Value Forest (HCVF) yang dikeluarkan pemerintah untuk menjawab konflik sosial antar perusahaan kehutanan dan masyarakat adat, dinilai LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim berpotensi mengancam keberadaan hak kelola masyarakat adat terhadap hutan, dan tidak mengurangi degradasi hutan alam di Kaltim. Sebab, kenyataannya pengelolaan kawasan sumber daya penghidupan rakyat (hutan dan nonhutan) di Kaltim secara legal masih didominasi dan dikuasai pemodal besar baik HPH-TI, perkebunan dan lain sebagainya. "HCVF tidak tegas menjawab konflik sosial dan kawasan yang terjadi antara perusahaan kehutanan, serta tidak mendorong proses-proses pengelolaan di tingkat masyarakat adat.

Belum ada sanksi hukum yang berlaku jika melanggar," kata Isal Wardhana, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Sabtu (9/6). Dalam catatan Walhi Kaltim sejak 2000 hingga 2006, persentase frekuensi konflik sosial dalam hak pengelolaan kawasan hutan lebih banyak di sektor perkebunan yang menempati urutan pertama dengan capaian 36%, disusul HPH menempati urutan kedua 29%, kawasan konservasi menempati urutan ketiga 17%, Hutan Tanaman Industri diurutan keempat 12%, menyusul hutan adat 4 % dan Industri kayu 2%. "Ini menandakan bahwa sistem, model dan inisiatif pengelolaan hutan masih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan pasar akan kayu (supply-demand) , dan tidak mengakui hak kelola rakyat terutama masyarakat adat.

Sementara beberapa inisiatif, dibangun hasil kerja sama internasional dengan Indonesia, yang berhubungan dalam pengelolaan hutan tidak dapat menjawab persoalan degradasi hutan alam di Kaltim," jelasnya. Ia menambahkan, sistem pengelolaan kawasan oleh masyarakat adat selama ini telah terbukti dapat menjaga hutan dari kerusakan dan menjaga relasi antara manusia, tumbuhan dan satwa serta memanusiakan manusia dalam konteks "konservasi" berbasis kerakyatan atau perlindungan kawasan tradisional. "Moratorium logging (Jeda Tebang) selama 10 tahun untuk hutan Kaltim merupakan pilihan yang realistis dan menjadi pertimbangan dalam kerangka penyelamatan hutan alam yang semakin berkurang.
Mengingat Angka degradasi hutan di Kaltim masih berkisar 300.000 hektare (ha) per tahun," ungkap Isal. arena itu, Isal menegaskan, Walhi meminta kepada pemerintah baik pusat hingga di daerah untuk segera mengevaluasi kebijakan HCVF tersebut.

Pasalnya, sangat berpotensi mengancam keberadaan hak kelola masyarakat adat terhadap hutan. (aid).

http://www.tribunka ltim.co.id/ viewweb2. php?id=1879

Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers

Tidak ada komentar:

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]