24 September, 2007

Penghancuran Lingkungan Berlanjut

[Sumber : kompas.co.id | 24/09/07]

Jakarta, Kompas - Ancaman pemanasan global telah menjadi isu internasional, tetapi di Indonesia penghancuran lingkungan terus terjadi. Perambahan hutan dan perusakan ekosistem pesisir terus berlanjut, sementara reboisasi yang dilakukan berjalan sangat lambat.

Pemantauan Kompas di sejumlah daerah dalam sepekan terakhir menunjukkan, di Kalimantan Timur, misalnya, perambahan hutan sangat mencolok di Taman Nasional Kutai, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Ratusan orang menebangi hutan, meratakan tanah, dan kemudian membakar serasahnya dengan alasan untuk perladangan.


Di Kalimantan Barat, Cagar Alam Mandor yang sebelumnya sudah rusak parah akibat perambahan kini makin hancur akibat penambangan emas tanpa izin. Di kawasan itu setidaknya ada 12 kelompok penambang yang setiap hari melubangi tanah dan melarutkan air raksa untuk proses penyatuan butiran emas.

Perambahan hutan juga masih terjadi di Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat, yang mestinya dilindungi.

Di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, perusakan lingkungan juga masih terjadi, baik oleh praktik pembalakan liar maupun penambangan ilegal. Di sepanjang sisi kanan-kiri jalan penghubung Palangkaraya-Buntok, misalnya, sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah semak belukar.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalteng mencatat, kerusakan hutan di Kalteng setiap tahun mencapai 255.918 hektar (ha). Sementara itu, Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai Kahayan mencatat, dari 4,7 ha lahan kritis di wilayah kerjanya, baru 60.000-70.000 ha yang dapat direboisasi sejak tahun 2004.

Secara nasional, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar menyebut angka kerusakan hutan dan lahan di Indonesia sudah mencapai 59,2 juta ha (2006), dengan laju kerusakan 1,19 juta ha per tahun.

"Tren deforestasi (perusakan hutan) memang menurun setiap tahun dalam enam tahun terakhir, tetapi itu lebih disebabkan hutan yang kian habis," katanya.

Menurut Rachmat, selain deforestasi, kerusakan lahan dan hutan juga disebabkan konversi lahan yang di perkotaan juga memprihatinkan. "Tata ruang tak diperhatikan lagi." katanya.

Mengutip data Departemen Kehutanan, Rachmat menyatakan, tahun 2002-2003 luas lahan berhutan di Indonesia masih 92,9 juta ha. Akan tetapi, pada tahun 2005 tinggal 70,8 juta ha.

Pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengeluarkan izin konsesi hutan hingga 100 ha diyakini Rachmat sebagai salah satu penyebab makin hancurnya hutan Indonesia. "Atas nama pendapatan asli daerah, lingkungan sering dikorbankan. Pembangunan wilayah kabupaten/kota menunjukkan makin maraknya alih fungsi lahan," kata Rachmat.

Salah satu contoh adalah konversi lahan di kawasan Bandung Utara, Jawa Barat, yang mengubah kawasan resapan menjadi permukiman elite.

Pesisir juga hancur
Selain kawasan hutan, penghancuran lingkungan juga terjadi di kawasan pesisir. Di Jawa Timur, misalnya, dari 53.000 ha hutan mangrove yang ada, 13.000 ha di antaranya rusak berat. Selain untuk membuka tambak, banyak areal mangrove yang rusak akibat tercemar limbah industri.

Salah satu contoh yang nyata adalah kondisi hutan mangrove di muara Bengawan Solo yang kini tersisa 250-an ha. Itu pun kondisinya memprihatinkan.

Abrasi pantai, endapan lumpur, dan pencemaran juga menimpa hampir sepanjang pantai utara Jawa Barat-Jawa Tengah, dari Indramayu, Cirebon, hingga Tegal dan Pekalongan.

Di Kalimantan Barat, dari 850 mil panjang pantainya, 40 persen diperkirakan hancur. Di Kalimantan Timur, 370.000 ha lebih hutan bakau sudah dikonversi menjadi tambak udang. Saat ini, menurut catatan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), hutan bakau yang tersisa tinggal 512.000 ha.

Secara nasional, Departemen Pekerjaan Umum mencatat, 40 persen dari panjang pantai Indonesia yang totalnya 30.000 kilometer saat ini dalam kondisi rusak. Untuk merehabilitasi seluruh pantai, kata Direktur Sumber Daya Air Departemen PU Iwan Nusyirwan, pihaknya kekurangan dana.

Dalam rencana strategis Departemen PU 2004-2009, misalnya, pemerintah hanya menargetkan untuk penanganan bibir pantai sepanjang 250 kilometer, sedangkan tahun 2007 anggaran yang tersedia bahkan hanya cukup untuk merehabilitasi 70 kilometer bibir pantai. (CAS/WHY/NIT/INA/BRO/GSA/RYO)


Tidak ada komentar:

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]