Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang, demikian yang dimaksud dalam Bab I, Pasal 1(4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan fungsi budi daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertahanan keamanan; aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya. Rencana tata ruang dibedakan atas; (1) Rencana tata ruang (RTR) Wilayah Nasional; (2) Rencana Tata Ruang (RTR) Wilayah Propinsi; dan (3) Rencana Tata Ruang (RTR) Wilayah Kabupaten/Kota. Masing-masing RTR Wilayah (RTRW) ini memiliki isi dan tujuan tertentu.
Salah satu bentuk tata ruang seperti RTR Wilayah Kabupaten/Kota, secara detail (rinci) berisikan tentang; (1)pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya; (2)pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu, (3)sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman perdesaan dan perkotaan; (4)sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan; (5)penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Semua Sumberdaya Alam (SDA), sosial dan lingkungan buatan dalam skala wilayah kabupaten/kota diatur dan ditata disini. Perletakan kawasan lindung, kawasan budidaya direncanakan dan dirancang di RTR ini. Karenanya, fungsi RTRW Kabupaten/Kota ini menjadi pedoman untuk penetapan lokasi investasi dan menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah dan atau masyarakat di kabupaten atau di kota tersebut.
Salah satu bentuk tata ruang seperti RTR Wilayah Kabupaten/Kota, secara detail (rinci) berisikan tentang; (1)pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya; (2)pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu, (3)sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman perdesaan dan perkotaan; (4)sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan; (5)penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Semua Sumberdaya Alam (SDA), sosial dan lingkungan buatan dalam skala wilayah kabupaten/kota diatur dan ditata disini. Perletakan kawasan lindung, kawasan budidaya direncanakan dan dirancang di RTR ini. Karenanya, fungsi RTRW Kabupaten/Kota ini menjadi pedoman untuk penetapan lokasi investasi dan menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah dan atau masyarakat di kabupaten atau di kota tersebut.
Demikian singkat cerita tentang RTRW yang kini RTRW ini dimiliki diantaranya oleh kota-kota di Sulawesi Utara seperti kota Manado, Kota Bitung, Kabupaten Minahasa dan Kota Tomohon. Yang artinya pula, bahwa kota-kota ini telah direncanakan peruntukkan ruangnya. Dengan demikian, kegiatan atau usaha apapun yang dilakukan dikota-kota ini, semua ijin-ijin lokasi pembangunannya harus berdasarkan RTRW yang telah ditetapkan.
Di Sulawesi Utara terutama di kota Manado dan kabupaten Minahasa, banyak kasus pembangunan fisik dari usaha dan kegiatan dilakukan pada lokasi yang bukan peruntukkannya. Seperti kawasan wisata bakal dijadikan kawasan industri, kawasan wisata, bakal dijadikan kawasan perdagangan/komersil dengan alasan “ah, RTR kan hanyalah arahan saja�. Mungkin ini karena sulitnya memahami bahasa Indonesia bidang hukum, sehingga interpretasinya macam-macam dan “suka-suka� para penguasa wilayah tersebut mengartikannya.
Di Sulawesi Utara terutama di kota Manado dan kabupaten Minahasa, banyak kasus pembangunan fisik dari usaha dan kegiatan dilakukan pada lokasi yang bukan peruntukkannya. Seperti kawasan wisata bakal dijadikan kawasan industri, kawasan wisata, bakal dijadikan kawasan perdagangan/komersil dengan alasan “ah, RTR kan hanyalah arahan saja�. Mungkin ini karena sulitnya memahami bahasa Indonesia bidang hukum, sehingga interpretasinya macam-macam dan “suka-suka� para penguasa wilayah tersebut mengartikannya.
Perubahan tata ruang suatu wilayah, terjadi begitu saja dan dengan mudah disahkan oleh pimpinan tertinggi kabupaten/kota tanpa melihat efek di lingkungan wilayahnya bahkan antar wilayah. RTRW hanya menjadi dokumen yang hanya sekedar ada saja. Akibatnya terjadi protes sana-sini oleh masyarakat lokal, dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Akibatnya, investor menjadi uring-uringan (bingung) tak menentu, dilain sisi sudah menyetor kewajiban sebagai penanam modal pada pemerintah kabupaten/kota tersebut, dilain sisi merasa tidak tenang terhadap gangguan masyarakat. Perasaan “kecele (terjebak)� maju kena mundur kena. Tetapi, ada juga investor yang nekat untuk meneruskan kegiatannya walaupun apapun yang terjadi. Dan tentunya jika ada investor yang demikian akan berat rasanya dengan kondisi/situasi saat ini. Konsekuensi yang bakal dihadapi akan berat juga. Ada juga yang mundur dengan kerugian yang begitu besar, di mana sudah membuat kajian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan biaya yang besar walaupun sudah jelas-jelas lokasi tersebut tidak untuk kegiatan atau usaha semacam itu dan kini harus meninggalkan lokasi itu karena umpatan dan protes dari masyarakat yang paham dengan lokasi tersebut. Akhirnya salah menyalahkan terjadi. Pemerintah (pengambil keputusan) menyalahkan masyarakat yang membuat gaduh sehingga investor kabur, dilain pihak masyarakat menuding pemerintah yang memberikan ijin padahal lahan itu bukan untuk kegiatan tersebut.
Menurut pengamatan saya, selama ini yang terjadi adalah tudingan kepada pemerintah yang memberikan ijin lokasi pada lahan yang bukan peruntukkan bagi kegiatan tertentu. Tudingan yang wajar. Kenapa? Karena pemerintahlah yang memegang perijinan tersebut, bukan masyarakat. Jelas demikian. Dan lebih jelas lagi, sebetulnya pemerintahlah yang membuat masyarakat dan investor bingung. Mau ikut aturan yang mana, aturan yang itu, ternyata di lapangan jadinya lain. Sebetulnya, semua ini bukan juga salah investor yang menempati peruntukkan yang salah, melainkan ini adalah kesalahan pihak pemerintah setempat yang mengeluarkan ijin untuk boleh menduduki tempat atau lokasi tersebut.
Semestinya tidak harus demikian kejadiannya, jika di awal kegiatan atau usaha tersebut dikaji dan dipahami dan dicocokkan dengan RTR Wilayah setempat, apakah sesuai peruntukkannya atau tidak. Jika cocok, tidak ada masalah, semua proses bisa dilanjutkan. Namun, jika kegiatan tersebut tidak sesuai dengan peruntukkan lahan atau RTRW, maka jangan sekali-kali memberikan ijin lokasi pembagunan pada pemohon tersebut. Karena, jika pemohon (pemrakarsa) telah diberikan ijin lokasi pembangunan, pemohon tersebut bakal lanjut pada pembuatan AMDAL (jika kegiatan wajib amdal) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) jika kegiatan tersebut tidak wajib amdal. Ini berabe, sebab pemrakarsa akan mengeluarkan biaya besar untuk studi ini. Repotnya lagi, jika studi tersebut sengaja dibuat bukan untuk memproteksi lingkungan tetapi untuk melayakkan kegiatan tersebut. Proses ini akan berlanjut dan akan otomatis gol dan dilaksanakan. Penilaian Amdal oleh komisi Amdal tidak akan mampu menahan kegiatan tersebut untuk tidak dilaksanakan walaupun sidang komisi sudah mengetahui bahwa kegiatan tersebut berada pada peruntukkan ruang yang salah atau menyalahi RTRW. Mengapa demikian? Karena ijin lokasi pembangunan sudah terbit dan tak ada yang mampu menahan semua itu, kecuali ditarik kembali oleh yang mengeluarkannya. Dan orang nomor satu di wilayah kabupaten dan kota yang berhak melakukan itu.
Terlihat disini, langkah awal yang salah telah diambil oleh pembuat keputusan. RTRW tidak menjadi dasar pembuatan ijin lokasi pembangunan. Sebetulnya, jika pembuat keputusan membuat putusan yang betul, investor tidak akan rugi dan masyarakat tidak akan gusar dan tentunya pembuat keputusan tidak akan berat tugasnya menghadapi “omelan dan protes� masyarakat. RTRW sudah dibuatkan untuk meringankan tugas para pembuat keputusan. RTRW menjadi pintu masuk awal dan utama (main entrance) dalam menentukan apakah kegiatan atau usaha tersebut dapat masuk dan menempati lokasi yang diinginkan oleh investor atau tidak. Jika ya, proses lanjut boleh dilakukan dan sudah pasti akan mulus jalannya, tetapi jika tidak, maka investor harus menghentikan langkahnya dan mencari lokasi lain dan tentunya tidak akan mengeluarkan biaya.
Dalam hal ini pengambil keputusan harus menjadi orang yang tegas dan tegah terhadap keinginan dirinya sendiri maupun keinginan teman-teman sekitarnya. Ini demi untuk kesejahteraan kita bersama sebagai masyarakat dan demi untuk berlanjutnya wadah tempat kita hidup dan berkembang ini. Dan terlebih lagi, demi kepercayaan yang diberikan masyarakat pada sang pemimpin.
Dan barangkali rumus “tegah dan tegas� ini yang sulit dilakukan oleh pemberi ijin. Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu yang berwenang memberikan ijin lokasi, mampuhkah anda-anda menggunakan rumus tersebut dalam melaksanakan tugas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar