17 September, 2010

test 123

tessssssssssssssss ssssssssssss

Read More......

01 September, 2010

02 Juli, 2009

PEMBANGUNAN DAERAH Perlu Kedepankan Keselamatan Lingkungan

PEMBANGUNAN DAERAH Perlu Kedepankan Keselamatan Lingkungan
Kompas, Senin, 29 Juni 2009 | 05:06 WIB

Jambi, Kompas - Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera mendukung upaya sepuluh gubernur membuat peta jalan penyelamatan ekosistem Sumatera. Koalisi berharap pengelolaan ekonomi di Pulau Sumatera mengedepankan kelestarian lingkungan, serta indikator keselamatan dan produktivitas masyarakat.


Demikian dikemukakan representasi Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera (KMSM), Rivani Noor, Minggu (29/6). KMSM prihatin terhadap Sumatera yang secara perlahan telah menurun daya dukung lingkungannya, serta daya tahan hidup warganya. Hal itu disebabkan tingginya laju deforestasi Sumatera yang membuka gerbang bagi timbulnya kemerosotan mutu hidup dan mutu lingkungan.

”Pembangunan saat ini seperti tidak mampu menghindari penggerusan daya dukung lingkungan dan kelentingan sosial setempat,” ujar Rivani.

Rivani melanjutkan, penataan ruang Pulau Sumatera tengah dirintis sepuluh gubernur se-Sumatera, bersama Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Dalam Negeri. Para pihak ini berkeinginan memulihkan ekosistem yang rusak serta melindungi ekosistem alami tersisa. Penataan ruang berbasis ekosistem merupakan pilihan menarik mengingat keanekaragaman hayati dan ekosistem merupakan indikator penting keberlanjutan Sumatera.

Adapun isi kesepakatan tersebut mencakup pengembangan penataan ruang berbasis ekosistem, restorasi kawasan kritis, perlindungan kawasan bernilai tinggi bagi sistem kehidupan, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim. Ini juga merupakan bagian dari upaya para pemerintah daerah untuk dapat ikut dalam perdagangan karbon sesuai skema reducing emossion from deforestation and forest degradation (REDD).

Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera mengimbau pemerintah daerah meninjau ulang pola pembangunan di sektor pertambangan, perkebunan, dan kehutanan yang kerap berdampak pada perusakan lingkungan. Untuk itu, pemberian izin pembukaan konsesi hutan perlu dihentikan.
(ITA)

Read More......

30 April, 2009

Banjir Pekanbaru, 30 April 2009







Read More......

10 April, 2009

27 Maret, 2009

Selamatkan Pantai dan Pulau Kecil

KAMIS, 12 MARET 2009 | 13:09 WIB
Oleh YUNI IKAWATI
KOMPAS.com - Naiknya permukaan laut akibat pemanasan global telah merendam pantai di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Paparan Sunda dan Paparan Sahul. Di Paparan Sunda ada Pulau Jawa yang perlu mendapat perhatian lebih karena pertimbangan ekologis dan ekonomis.
Gas-gas rumah kaca (GRK), terutama karbon dioksida yang terus teremisikan ke atmosfer tanpa henti bahkan terus merangkak naik sejak tiga abad lalu, telah menampakkan dampak buruknya secara nyata.


Beberapa negara kepulauan telah melaporkan kehilangan pulau-pulau kecilnya. Papua Niugini, misalnya, melaporkan ada tujuh pulaunya yang berada Provinsi Manus telah tenggelam. Adapun Kiribati telah kehilangan tiga pulaunya, sekitar 30 pulau lainnya juga mulai menghilang dari permukaan laut.
Kiribati bukan satu-satunya negara kecil yang tergabung dalam SIDS (Small Islands Development States) yang terancam hilang dari muka bumi ini. Diperkirakan dari 44 anggota SIDS, 14 negara di antaranya akan lenyap akibat naiknya permukaan laut.

Di Samudra Pasifik ancaman itu selain dihadapi Kiribati juga dialami Seychelles, Tuvalu, dan Palau. Adapun di Samudra Hindia ada Maladewa yang bahkan akan kehilangan seluruh pulaunya. Menghadapi ancaman hilangnya kedaulatan wilayahnya, belum lama ini Presiden Maladewa yang berpenduduk 369.000 jiwa menyatakan akan merelokasikan seluruh negeri itu dan mengharapkan uluran tangan negara lain untuk mereka menyewakan wilayahnya.

Sementara itu, nasib yang sedikit beruntung dialami Vanuatu yang didiami 212.000 penduduk. Negara ini masih memiliki lahan untuk merelokasi penduduknya yang tinggal di kawasan pesisir yang terendam.

Kerugian Indonesia
Di antara negara kepulauan di dunia, agaknya kerugian terbesar bakal dihadapi Indonesia, sebagai negara yang memiliki jumlah pulau terbanyak. Pada tahun 2030 potensi kehilangan pulaunya sudah mencapai sekitar 2.000 bila tidak ada program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, urai Indroyono, Sekretaris Menko Kesra yang juga mantan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP.

Saat ini belum diketahui berapa sesungguhnya jumlah pulau di Nusantara ini yang telah hilang karena dampak kenaikan permukaan laut. Namun, pengamatan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menunjukkan penciutan daerah pantai sudah terlihat di pulau-pulau yang berada di Paparan Sunda dan Paparan Sahul, ungkap Aris Poniman, Deputi Sumber Dasar Sumber Daya Alam Bakosurtanal.

Paparan Sunda meliputi pantai timur Pulau Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan serta pantai utara Pulau Jawa. Adapun Paparan Sahul berada di sekitar wilayah Papua. Penjelasan Aris didasari pada pemantauan pasang surut yang dilakukan Bakosurtanal di berbagai wilayah pantai Nusantara sejak 30 tahun terakhir.

Menghadapi ancaman hilangnya kawasan pantai dan pulau kecil yang kemungkinan akan terus berlanjut pada masa mendatang, Aris yang juga pengajar di IPB menyarankan penyusunan peta skala besar, yaitu 1:5.000 dan 1:1.000.

"Saat ini baru tiga kota besar, yaitu Jakarta, Semarang, dan Makassar, yang memiliki peta berskala tersebut," ujarnya. Pada peta tampak detail wilayah pantai yang terbenam di tiga kota tersebut. Peta ini disusun Bakosurtanal bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA).

Selain itu, pembuatan peta skala besar juga dilaksanakan untuk wilayah barat Sumatera dan selatan Jawa-Bali-Nusa Tenggara. Hal ini terkait dengan pembangunan Sistem Peringatan Dini Tsunami (TEWS). Sementara itu, untuk wilayah timur Sumatera dan wilayah lain yang tergolong rawan genangan air laut akibat pemanasan global peta yang ada masih berskala kecil, sekitar 1:25.000.
"Pembuatan peta genangan perlu menjadi prioritas agar setiap daerah dapat melakukan langkah antisipasi dan adaptasi pada wilayah yang bakal tergenang dalam 5 hingga 20 tahun mendatang," ujarnya.

Data spasial dan penginderaan jauh yang merekam dampak pemanasan global juga akan menjadi materi untuk pengambilan kebijakan di setiap instansi terkait pada waktu mendatang, urai Indroyono.

Skenario usia bumi
Tanpa perubahan pola konsumsi manusia dan perilaku manusia, serta tanpa upaya mereduksi emisi GRK untuk mengatasi pemanasan global, Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan usia bumi tinggal seabad lagi.

Proyeksi itu berdasar tren kenaikan suhu udara hingga 4°C. Tingkat itu dapat tercapai bila emisi GRK terus bertambah dalam beberapa dekade ke depan karena tidak ditegakkannya kebijakan mitigasi perubahan iklim dan pola pembangunan ramah lingkungan.

Bila melihat data emisi GRK pada kurun waktu 1970-2004, emisi GRK naik 70 persen. Tingkat itu disumbangkan dari sektor energi yang mencapai peningkatan 145 persen.

Bila temperatur udara naik menjadi 4°C, dampaknya antara lain hilangnya 30 persen lahan basah, naiknya kasus penyakit akibat udara panas, banjir, dan kekeringan, mengakibatkan angka kematian naik drastis.
Ancaman itu, menurut IPCC, dapat dicegah dengan beberapa skenario untuk menurunkan GRK hingga tahun 2030. Skenario terbaiknya adalah menahan kenaikan suhu bumi hanya 2°C-2,4°C sampai 23 tahun ke depan. Untuk mencapai itu, konsentrasi GRK harus distabilkan pada kisaran 445-490 part per million (ppm).

Skenario lain menyebutkan, kenaikan dibatasi sekitar 3,2°C hingga 4°C pada kurun waktu yang sama, dengan menjaga jumlah GRK 590-710 ppm. Saat ini tingkat GRK telah melampaui itu semua. Tahun 2005 konsentrasi GRK 400-515 ppm.

Menurut IPCC, target itu bisa dicapai jika diterapkan kebijakan mitigasi perubahan iklim di tiap negara, yang harus diambil di sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, dan juga manajemen limbah.

Read More......

26 Maret, 2009

Pusat Ancam Ambil Alih Penyusunan RTRW Daerah

Rabu, 25 Maret 2009 , 08:47:00

JAKARTA (RP) - Belum beresnya penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) baik di provinsi maupun kabupaten/kota akan segera dituntaskan. Perkembangan terakhir, Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Kemeneg LH) dan Depdagri bekerja sama untuk melakukan pembinaan pelaksanaan RTRW kepada pemerintah daerah (Pemda). Selain itu, ke depan segala bentuk RTRW harus disampaikan ke pusat sebelum diputuskan di level Pemda.

''Setiap usulan RTRW wajib disampaikan ke pusat dan setelah itu dibahas Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Nasional untuk kemudian disahkan melalui aturan peraturan daerah untuk dilaksanakan di daerah masing-masing,'' tegas Dirjen Pengembangan Daerah, Depdagri, Syamsul Arief ketika ditemui di Jakarta, Selasa (24/3).

Syamsul mengatakan, setelah RTRW ditetapkan, Pemda harus melaksanakan dan mempergunakan lahan sesuai pemanfaatan. Bahkan, lanjutnya, apabila itu dilanggar maka sanksi pidana yang diatur dalam UU Penataan Ruang siap untuk menjerat para pengambil kebijakan di daerah.

''Dalam setiap usulan penetapan RTRW dari daerah, harus memenuhi persyaratan lingkungan, kalau tidak, usulan tersebut akan ditolak. Itulah yang selama ini banyak dikeluhkan daerah karena usulannya tidak pernah disahkan,'' katanya.

Karena itu ia meminta daerah yang akan mengusulkan dan menetapkan Perda hendaknya membahas secara mendalam dan memperhatikan azas manfaat dan risiko keputusan mereka.

Deputi Bidang Pelestarian Lingkungan Meneg LH Sudariyono mengatakan agar Pemda segera menutaskan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam proses penyusunan RTRW tahun 2013. Setidaknya, draft tentang norma, standar, pedoman dan manual (NSPM) harus sudah 100 persen.

''Hal itu akan menjadi tolok ukur kinerja Pemda dalam menyusun NSPM. Seharusnya pelaksanaannya dimulai pada tahun 2009 namun karena terjadi pelambatan, maka diputuskan mulai tahun 2010,'' kata dia.

Sudariyono berharap NSPM mendapat perhatian Pemda. Untuk itu pihak Kemeneg LH dan Depdagri akan mengirimkan surat tertulis kepada Pemda untuk segera menyusun NSPM.

Agar selanjutnya dapat dikembangkan evaluasi terhadap pelaksanaan RTRW dalam era otonomi daerah. ''Kemeneg LH sendiri dalam pengembangan daerah, kini lebih memperhatikan masalah ekosistem dibanding memperhatikan batas administrasi,'' tegas dia.

Sementara itu Direktur Fasilitas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Depdagri Syofyan mengatakan, salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas lingkungan hidup di daerah adalah meningkatkan pemberdayaan kelembagaan yang berkenaan dengan lingkungan di daerah.

Dia mengatakan, upaya mengelola lingkungan hidup kurang mendapat respon dari pemangku kepentingan. Bahkan banyak kecenderungan terjadi benturan kepentingan, utamanya bila terkait dengan sumber pendapatan asli daerah (PAD).

''Untuk itu, meski kepala daerah memahami dalam penataan ruang, KLHS dan persoalan lingkungan, namun diperlukan konsitensi dan evaluasi dalam pelaksanaan di lapangan,'' ujarnya.(zul/jpnn)

Read More......

25 Maret, 2009

Tak Ada Izin Perkebunan di Hutan

Jum'at, 20 Maret 2009 , 08:28:00

PEKANBARU (RP) - Direktur Pusat Perencanaan Tata Ruang dan Statistik Kehutanan Departemen Kehutanan, Basoeki Karyaatmadja, menyatakan agar Riau jangan sampai melakukan pemutihan, yakni jangan sampai membiarkan izin perkebunan yang berada di dalam kawasan hutan dilegalkan.

Hak Guna Usaha (HGU)-nya, kata Basoeki, Kamis (19/3) didampingi oleh Kabid Planologi Dinas Kehutanan Riau M Murod, harus dicabut dulu. Jika tidak Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau .Ini memang memerlukan proses. Namun juga sangat tergantung dengan komitmen daerah.

Misalnya dengan tidak melakukan pemutihan, selanjutnya melengkapi data-data yang diperlukan, menggunakan peta yang sama, dan melakukan koordinasi intensif. Kalau hal tersebut tidak dilaksanakan, maka RTRWP Riau akan berlarut-larut, ungkap alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini

RTRWP Riau, pengganti Perda Nomor 10 tahun 1994 tersebut, sudah mulai dibahas sejak tahun 1999. Namun sampai hari ini, 10 tahun kemudian, belum ada kejelasan RTRWP Riau akan disahkan. Basoeki menyebutkan rencana tata ruang Riau, belum serasi dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan juga Undang-undang Tata Ruang.(ndi)

Read More......

Mencari Solusi Krisis Air sebelum Mencapai Puncak pada 2025

Selasa, 24 Maret 2009
DALAM peringatan World Water Day tahun ini, PBB mengusung tema transboundary waters: shared water, shared opportunities (air lintas wilayah, berbagi air, berbagi peluang). PBB ingin menekankan relokasi air dari satu wilayah ke wilayah lain, dari satu kelompok untuk kelompok lain.

PBB menekankan pengalihan air dari wilayah yang memiliki sumber daya alam berlebih ke wilayah lain. Dari satu daerah aliran sungai (DAS) ke DAS lain. ''Dunia internasional ingin menekankan bahwa saat ini terjadi krisis air yang hebat.'' kata Juru Kampanye Air dan Pangan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Erwin Usman.

Menurut dia, Indonesia memang juga mengalami krisis air. Namun, ketersediaan sumber daya alam itu masih cukup tinggi jika dibandingkan Eropa maupun Amerika. Yang patut diwaspadai, kata Erwin, tema itu secara tidak langsung akan memaksa Indonesia agar berbagi air dengan negara lain. ''Tentu saja dengan share yang tidak adil,'' ungkapnya.

Hal itu, kata Erwin, bisa dicermati sejak beberapa tahun lalu ketika UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air digolkan. UU yang mengatur privatisasi air di Indonesia itu ditengarai hasil rekayasa bank dunia untuk mengomersialkan sumber daya air Indonesia. ''Sejak privatisasi mulai dilakukan di Jakarta, krisis air yang terjadi tak makin membaik, namun malah memburuk,'' jelas dia. Di berbagai sektor juga demikian. Termasuk, domestik, industri, dan pertanian.

Tak hanya itu, pada 1997-2002, bank dunia juga mencairkan pinjaman USD 300 juta kepada Indonesia untuk mendorong regulasi tata sumber air negara ini. Dalam annual report World Bank disebutkan bahwa pinjaman kepada Indonesia itu merupakan salah satu keberhasilan kinerja lembaga tersebut. ''Dengan tata regulasi yang mendapatkan campur tangan dari negara lain itu, maka Indonesia secara tidak langsung akan terikat agar terpaksa berbagi air dengan negara lain,'' ujarnya.

Tak ayal, alih-alih pemerintah dapat memenuhi persediaan air bersih bagi penduduknya, bisa jadi pengalihan air ke negara lain akan menjadi prioritas.(kit/iro)

---------------------------

*Mencari Solusi Krisis Air sebelum Mencapai Puncak pada 2025*
Hanya 18 Persen Tercover Air Bersih

Hari Air Sedunia telah diperingati pada 22 Maret lalu. Kali ini, krisis air dan persediaan air bersih menjadi isu sentral di antara para komunitas pencinta lingkungan dunia. Krisis air itu diprediksi bakal memuncak pada 2025. Mengapa?

AKHIR 2008 lalu, Departemen Kehutanan dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) merilis data baru. Bahwa dari tiga juta hektare daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia, sekitar 2,7 juta hektare di antaranya dalam kondisi rusak. Tiga juta hektare DAS itu terdiri atas 318 DAS. ''Dari jumlah itu 60 DAS di antaranya rusak parah,'' kata Erwin Usman, juru kampanye air dan pangan eksekutif nasional Walhi.

DAS yang menjadi andalan di Pulau Jawa, seperti Citarum, Brantas, dan Bengawan Solo masuk dalam 60 kerusakan teratas tersebut. Padahal, 60 persen penduduk Indonesia tinggal di Jawa. Demikian pula, keberadaan pusat industri mayoritas ada di sana.

Saat ini potensi air yang ada hanya 4,5 persen untuk 65 persen penduduk di Indonesia. Sementara, berdasarkan data Susenas 2007, dari 225 juta penduduk Indonesia, yang mendapat layanan air bersih baru 18 persen. Sekitar 40 persen di antaranya tinggal di perkotaan. ''Hanya 8 persen penduduk desa yang menikmati PDAM,'' ungkapnya.

Jika dirinci lagi, penggunaan air oleh penduduk Indonesia 74 persen masih mengandalkan air tanah, 18 persen PDAM, tiga persen air sungai dan hujan, 2,5 persen dari air kemasan, dan sisanya dari sumber lain. ''Kenyataan itu sangat paradoks bahwa sumber air merupakan hak asasi manusia dan harus dipenuhi negara,'' kritiknya. Kenyataannya, pemerintah hingga kini baru bisa memenuhi 18 persen ketersediaan air. Sisanya, penduduk terpaksa memenuhi air sendiri.

Terjadinya krisis air dari tahun ke tahun, menurut Erwin, disebabkan beberapa hal. Perubahan iklim (climate change) ditengarai amat memengaruhi krisis air. Di samping itu, ada faktor pemakaian domestik, industri, maupun sektor pertanian.

Di satu sisi, pemerintah dinilai terjebak dengan menyerahkan pengelolaan air kepada mekanisme pasar. ''Hanya karena mereka sudah teruji,'' ujarnya. Jika langkah bijak tak segera ditempuh, yang paling terancam adalah penduduk yang tinggal di Jawa. Selama kurun 9-10 bulan, penduduk Jawa selalu mengalami krisis air. Alhasil, berbagai risiko terjadi. Misalnya, gagal panen. Namun, kondisi sisa dua bulan juga tidak lebih baik. Yang terjadi lantaran surplus air yang berlebihan sehingga terjadi banjir dan longsor. ''Ini disebabkan pengelolaan air belum maksimal,'' paparnya.

Direktur Penyehatan Air Depkes Dr Wan Alkandri mengakui, krisis air masih menjadi tema sentral dunia dalam peringatan Hari Air Sedunia tahun ini. Persoalan itulah yang juga dibahas dalam pertemuan internasional di Istambul, Turki, yang melibatkan para pengambil kebijakan, sektor swasta, PDAM, dan sektor pertanian. ''Krisis air yang kita hadapi saat ini tak hanya secara kuantitas, tapi juga kualitas,'' terang Wan yang juga mengikuti pertemuan itu di Istambul kemarin.

Daerah-daerah di Indonesia, kata Wan, tidak sepenuhnya kekurangan air. Kalimantan, misalnya, termasuk pulau yang memiliki air berlebih. Namun, kualitas airnya boleh dikatakan buruk. Solusi yang ditawarkan dalam pertemuan itu salah satunya adalah penerapan manajemen pengelolaan air secara terpadu. Pengelolaan air harus dilakukan lintas sektor. Tak hanya PR pemerintah, tapi juga butuh pelibatan sektor kehutanan, pertanian, dan industri. Upaya itu harus dilakukan secara konsisten dalam jangka waktu lima tahun.

Dalam jangka menengah, kata Wan, komitmen politik amat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan itu. Terutama, prioritas terhadap sanitasi. Tak hanya itu, revitaliasi PDM juga menjadi rencana jangka menengah. Dalam kurun lima tahun ini, pemerintah akan memasang 10 juta sambungan rumah untuk masyarakat perkotaan. Demikian juga sarana air minum untuk masyarakat pedesaan akan ditingkatkan.

Komitmen jangka panjang harus ditempuh berhubungan dengan cara mencegah climate change agar tak semakin memburuk. Salah satu upaya yang wajib dilakukan adalah menjaga hutan tropis Indonesia.

Sejatinya, kata Wan, cara paling sederhana mencegah krisis air adalah menghemat penggunaan air. Terutama, dalam pemakaian domestik.(kit/iro)

Jawa Pos:
http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=59186
http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=59183

Read More......

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

UU soal SDA Tak Konsisten
Selasa, 24 Maret 2009/ KOMPAS.

Jakarta, Kompas - Sebanyak 12 undang-undang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tidak konsisten dalam substansinya. Kondisi itu memprihatinkan tidak hanya masa sekarang, tetapi justru bagi masa depan pengelolaan lingkungan.

Kesimpulan itu muncul dalam kajian kritis yang disampaikan pada Pertemuan Nasional Pengarusutamaan Lingkungan Hidup dalam Perencanaan Pembangunan Daerah yang diadakan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup di Jakarta, Senin (23/3). "Hampir semua UU mengacu pada Pasal 33 UUD, tetapi orientasinya saling berbeda," kata salah satu pengkaji, guru besar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria SW Sumardjono.

Ada tujuh aspek tolok ukur yang digunakan tim pengkaji, yakni orientasi, akses memanfaatkan, hubungan negara dengan obyek, pelaksana kewenangan negara, hubungan orang dengan obyek, hak asasi manusia, dan tata pemerintahan yang baik (good governance).

Pada aspek orientasi, ada yang prorakyat, prokapital, dan ada juga yang mengombinasikan keduanya.

"Ada yang semangatnya konservasi, ada yang eksploitasi, atau keduanya.Kalau tujuannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, semestinya ada akses yang memungkinkan bagi rakyat," kata Maria.

Faktanya, ada beberapa contoh UU yang berpotensi menyimpang dari memakmurkan rakyat, berpotensi meminggirkan hak masyarakat adat, membatasi akses publik, propemodal, dan tidak sepenuhnya menjunjung HAM.

Undang-undang itu di antaranya UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 22/2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, serta UU No 31/2004 tentang Perikanan.

Menurut pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB), Ernan Rustiadi, dengan model pengelolaan SDA seperti sekarang yang cenderung bermuara pada swasta, maka kerusakan dan habisnya sumber daya hanya soal waktu.

Ciri khas pengelolaan sumber daya alam (SDA), negara mengambil kekuasaan dari masyarakat adat sebelum diberikan kepada swasta. "Masing-masing sektor masih memiliki pandangan berbeda tentang istilah dan pemanfaatan SDA," katanya.

*Peran legislatif *

Guru besar Hukum UGM Nurhasan Ismail mengatakan, masih ada kesempatan membangun konsistensi pada UU terkait SDA dan lingkungan. Salah satunya peran DPR untuk menyaring atau menyinkronkan visi dan misi UU yang diajukan banyak sektor.

"Bila tak dilakukan, sampai sumber daya alam habis juga tak akan pernah konsisten. DPR bisa lakukan itu, tidak lagi hanya urusan politiknya saja," ujarnya.

Ia menilai egosektoral yang tercermin pada UU sudah parah. Masing-masing departemen/kementerian melihat bahwa UU yang diajukan departemen lain merupakan kompetitor dengan pemahaman menang-kalah. "Selama begitu ya tidak akan pernah konsisten," kata Nurhasan.Maria mengatakan, syarat lain pengarusutamaan pengelolaan SDA dan lingkungan yang ideal, selain keberadaan satu lembaga pengoordinasi, adalah adanya satu UU yang menjadi pijakan bersama. Ia menyebut RUU Pengelolaan SDA yang sejak tahun 2001 belum juga disahkan DPR.

"Nantinya seluruh UU yang ada (harus) menyesuaikan dengan pijakan bersama yang berisi prinsip-prinsip itu," kata Maria. Tanpa itu, ia menilai pengarusutamaan akan sangat berat diwujudkan. (GSA).......

Read More......

26 Februari, 2009

Perlu Penetapan Kawasan Rawan Kebakaran sebagai Kawasan Rawan Bencana

Oleh
Raflis[1] dan Dede Khunaifi[2]
Yayasan Kabut Riau

Link Download

Pendahuluan
Setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan. Kejadian ini sudah menjadi issu penting dan merupakan sebuah rutinitas yang menghabiskan APBN dan APBD yang cukup besar jumlahnya untuk pemadaman kebakaran. Belum lagi kalau dihitung dampak kesehatan terhadap jutaan masyarakat yang terkena dampak dari asap yang ditimbulkan.

Sampai Saat ini penanggulangan kebakaran hutan sebatas upaya pemadaman api pada saat kebakaran terjadi. Sedangkan perencanaan menyeluruh belum dilakukan bahkan dalam konfrensi pers yang dilakukan wakil gubernur riau yang juga menjabat sebagai ketua pusdalkarhutha (Pusat pengendalian kebakaran hutan dan lahan) baru baru ini tidak menggambarkan perencanaan yang utuh dalam penaggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Box 1 : Pernyataan Ketua Pusdalkarhutla terhadap kebakaran hutan dan lahan di riau Sebuah Pernyataan yang kontroversial.


Fakta Kebakaran Hutan dan lahan di Provinsi Riau.

Berdasarkan pantauan satelit Modis (Terra dan Aqua) Periode September 2000 sampai Juli 2008 di wilayah Provinsi Riau Dijumpai 57972 titik api yang terdistribusi ke dalam 12 kabupaten/ kota. Kejadian ini hampir setiap tahun berulang ditempat yang sama terutama pada kawasan bergambut.

Gambar 1 Distribusi Titik Api Periode September 2000 sampai Juli 2008

Sebaran Titik Api Berdasarkan Jenis Tanah

Gambar 2. Perbandingan Jumlah Titik api pada tanah gambut dan tanah Mineral

Titik api tersebar pada dua tipe tanah, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Dari 57027 titik api yang ditemukan 17259 titik api ditemukan pada tanah mineral atau 30,24% sedangkan 39813 atau 69,76% lainnya dijumpai pada tanah bergambut dengan kedalaman bervariasi. Lihat gambar 1 dan tabel 1

Tabel 1. Distribusi titik api pada kawasan bergambut.

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa distribusi titik api paling banyak terdapat pada gambut dengan kedalaman 4 meter lebih dengan jumlah titik api ditemukan sebanyak 13909 atau 24,37%. Sedangkan paling kecil berada pada kawasan gambut dangkal dengan kedalaman kurang dari 0,5 meter dengan jumlah titik api sebanyak 239 buah atau 0,4%. Dalam beberapa regulasi telah ditegaskan bahwa kawasan bergambut dengan kedalama 3 meter atau lebih harus dilindungi. Regulasi yang mengatur itu diantaranya:

  1. Kepres No 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung
  2. PP 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional yang sebelumnya diatur dengan PP 47 tahun 1997.
  3. SK.101/Menhut-II/2004 tentang Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Pulp dan Kertas.
  4. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 246/Kpts-II/1996 tentang Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri
  5. UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman

Dalam implementasinya regulasi tentang perlindungan kawasan bergambut ini tidak dijalankan dengan sungguh sungguh, yang terjadi adalah Baik mentri, guberbur maupun bupati berlomba menerbitkan izin pemanfaatan ruang pada kawasan tersebut. Jadi tidaklah mengherankan kalau kebakaran hutan dan lahan sudah menjadi langganan tahunan di provinsi riau.

Kebakaran pada lahan gambut ini selalu berulang setiap tahun pada lokasi yang sama, ini menunjukkan bahwa pengelolaan lahan gambut memiliki resiko yang besar terhadap kebakaran. Hal ini dikarenakan oleh pembuatan kanal kanal sebagai drainase untuk pengeringan lahan gambut tersebut. Sehingga terjadi penurunan muka air tanah pada kawasan bergambut yang akhirnya berdampak pada kekeringan yang tinggi dan mudah terbakar baik disengaja maupun tidak.

Dibukanya lahan gambut oleh perusahaan besar berdampak nyata dengan kedatangan migran dan masyarakat lokal yang juga berlomba membuka lahan yang berdekatan dengan konsesi perusahaan karena telah dibuat akses jalan/ kanal sehingga memudahkan eksploitasi oleh masyarakat tempatan. Akibatnya terjadi pergeseran pola penggunaan lahan yang biasanya arif dan bijaksana oleh masyarakat ke pola pola destruktif.

Distribusi Titik api berdasarkan penguasaan lahan
Berdasarkan Pola penguasaan lahan atau izin pemanfaatan ruang maka titik api terdistribusi pada Kawasan Kelola masyarakat dan kawasan lindungKawasan yang telah diberikan hak pemanfaatan ruang (HTI dan Perkebunan)

Tabel 2. Distribusi Titik Api Berdasarkan Penguasaan Lahan

Dilihat dari pola penguasaan lahan maka distribusi titik api lebih banyak berada pada kawasan yang telah diberikan izin pemanfaatan ruang (HTI dan Perkebunan). Sekitar 60,88% sedangkan pada kawasan kelola masyarakat dan kawasan lindung hanya 39,12%

Dari porsi ini dapat secara jelas terlihat bahwa yang berkontribusi besar dalam melakukan kebakaran hutan adalah pemilik izin pemanfaatan ruang (HTI dan Perkebunan). Karena ketika izin tersebut diberikan oleh negara terhadap pemilik izin tersebut maka serta merta tanggung jawab negara dalam mengelola kawasan tersebut berpindah ketangan penerima izin, beserta dampak dampak yang ditimbulkannya. Posisi pemerintah dalam hal ini berada pada penegakan hukum lingkungan baik itu atas kesengajaan maupun kelalaian.

Fakta penegakan hukum yang dilakukan aleh aparat penegak hukum lebih cenderung pada petani skala kecil, yang melakukan pembakaran lahan utk bertani maupun berkebun. Sedangkan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh koorporasi atau perusahaan sangat minim. Semenjak tahun 2000, Perusahaan yang divonis bersalah oleh pengadilan hanya 2 perusahaan yaitu PT Jatim jaya Perkasa dan PT Adei Plantation. Sedangkan gugatan lingkungan yang dilakukan oleh para aktifis lingkungan selalu kalah di pengadilan


Titik Api pada konsesi Perusahaan

Tabel 3 Distribusi Titik Api pada jenis konsesi

Dari tabel 3 dapat kita lihat bahwa titik api terbanyak dijumpai pada konsesi HTI, yaitu sekitar 20.353 atau sekitar 35,66% sedangkan pada konsesi perkebunan sebanyak 14395 titik api atau 25,22%.

Tabel 4. Sepuluh Konsesi HTI terbanyak yang terdeteksi memiliki titik api dari 68 perizinan HTI.

Tabel 5. Sepuluh titik api terbanyak pada konsesi perkebunan dari 157 perkebunan yang terdeteksi mempunyai titik api


Kebakaran berulang pada tempat yang sama (Studi kasus PT Bukit Batu Hutani Alam)

Jumlah titik api yang dijumpai Konsesi PT Bukit Batu Hutani Alam pada periode september 2000 sampai Juli 2008 adalah sebanyak 1704 atau 2,99% dari total titik api. Setiap tahun ditemukan titik api pada kawasan ini.

Gambar 3 Frekwensi titik api periode 2002-2008 Pada PT Bukit Batu Hutani Alam

Gambar 4 Distribusi Titik api pada PT Bukit Batu Hutani Alam


Penyebab Kebakaran Lahan Gambut

Pengelolaan lahan gambut pada umumnya dilakukan dengan cara membuat kanal sebagai upaya pengeringan lahan tersebut untuk ditanami tanaman pertanain, perkebunan maupun kehutanan. Akibat dari pembuatan kanal ini maka akan terjadi penurunan muka air pada kawasan gambut. Pada musim kemarau terjadi kekeringan pada permukaan gambut, sedangkan gambut dengan kadar air rendah akan sifatnya sangat mudah terbakar karena mempunya kandungan karbon yang cukup tinggi.

Gambar 5 Plang Nama Perusahaan Doc Kabut Riau 2005
Gambar 6 Lahan Gambut Bekas Terbakar Doc Kabut Riau 2005
Gambar 7Kanal Utama Sebagai Jalur Transportasi Doc: Kabut Riau 2005
Gambar 8Gambut Kering Doc: Kabut Riau 2005


Kawasan Rawan Bencana

Kalau dilihat dari pemakaian istilah “kebakaran hutan” kuranglah tepat. Yang tepat adalah “pembakaran hutan”. Kenapa? karena istilah pertama cenderung menghasilkan perngertian ketidaksengajaan dalam kejadian kebakaran. Padahal dengan kondisinya yang seperti itu, hutan, sangatlah tidak mungkin menciptakan kondisi dimana api dapat menyala secara alami. Olah karenanya, “pembakaran hutan” merupakan istilah yang sangat tepat. Dan yang dapat mengintervensi segitiga api adalah manusia.

Terjadinya kebakaran hutan dan lahan dengan karakteristik lahan yang sama setiap tahun. Beberapa dampak yang ditimbulkan diantaranya:

Box 2. Beberapa Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran lahan antara lain:

Kawasan bergambut yang setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan menunjukkan bahwa kawasan tersebut telah gagal dikelola sebagai kawasan budidaya. Melihat dari besarnya dampak yang ditimbulkan sudah seharusnya dilakukan penanggulangan menyeluruh terhadap kebakaran ini dalam rencana tata ruang provinsi dengan menetapkan kawasan rawan kebakaran ini sebagai kawasan rawan bencana.


Kesimpulan:

  • Munculnya bencana asap di riau setiap tahun (periode 2000-2008) diakibatkan oleh izin pemanfaatan ruang yang diberikan terhadap perusahaan besar yang ada di provinsi riau dengan kontribusi titik api berjumlah sekitar 34748 atau 60,88%.
  • Kebakaran Terjadi Akibat degradasi lingkungan sebagai akibat dari pemberian izin pemanfaatan ruang pada kawasan yang berkategori lindung menurut kepres 32 tahun 1990, PP 47 tahun 1997 dan PP 26 tahun 2008.
  • Jumlah Titik api yang menimbulkan asap berada pada kawasan bergambut pada periode 200-2008 dengan jumlah titik api 39.813 atau 69,76% dari total titik api.
  • Penyebab dari kebakaran pada kawasan bergambut terjadi karena pembuatan drainase skala besar, sehingga mengganggu keseimbangan hidrologi pada kawasan gambut pada musim kemarau.
  • Terjadinya kebakaran berulang setiap tahun mengindikasikan bahwa pengelolaan kawasan bergambut gagal dikelola sebagai kawasan budidaya.
Saran:
  • Kawasan bergambut dengan kedalaman 3 meter atau lebih harus ditetapkan sebagai kawasan lindung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) maupun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) sebagaimana yang diamanatkan Kepres No 32 Tahun 1990 dan PP 26 tahun 2008.
  • Kawasan Bergambut yang rawan terbakar atau terjadi kebakaran berulang setiap tahun sebaiknya ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana dalam Rencana tata ruang Provinsi maupun kabupaten, serta dilakukan pemulihan fungsi hidrologi dengan menutup kanal kanal yang terdapat pada kawasan tersebut.
  • Seluruh Izin Pemanfaatan ruang yang berada pada kawasan bergambut dengan kedalaman 3 meter atau lebih harus dicabut perizinannya sesuai dengan amanat UU no 26 tahun 2007.
  • Kawasan budidaya yang berada pada kawasan bergambut yang kurang dari 3 meter, harus dikelola dan diawasi dengan ketat.
  • Melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan yang melakukan pembakaran lahan baik secara sengaja ataupun akibat dari kelalaian pengelolaan.
  • Menghentikan sementara (moratorium) aktifitas konversi lahan gambut serta melakukan riset dan pembuatan peta lahan gambut yang boleh dikonversi atau harus dilindungi sebagai kawasan bergambut atau kawasan rawan bencana.

Daftar Pustaka:

  1. http://www.detiknews.com/read/2009/02/18/154817/1086819/10/pemprov-riau-nilai-kebakaran-hutan-tidak-disengaja
  2. Kepres No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
  3. PP No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
  4. UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang
  5. http://id.wikipedia.org/wiki/Kebakaran_liar
  6. Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau 2001-2015
  7. Data Hotspot November 2000 sampai Juli 2008 satelit Modis (terra dan Aqua)

Read More......

15 Februari, 2009

Suku Asli (3-Habis): Ketika Negara Gagal Melindungi Warganya

-- Agnes Rita Sulistywati dan Ahmad Arif

Apa arti kemerdekaan yang sudah berbilang 61 tahun bagi rakyatnya? Getir. Setidaknya itulah yang dirasakan warga Sakai, salah satu suku asli di Provinsi Riau, daerah yang menghasilkan devisa negara terbesar dari minyak dan gas bumi.

Suku Sakai memang masih seperti terjajah di tanahnya sendiri. Paling tidak mereka dijajah secara ekonomi dan sosial. Tanah ulayat yang mereka miliki, yang membentang luas dari Minas hingga Dumai dan di dalamnya mengandung cadangan minyak tebesar di Nusantara, justru menjadi kutukan.

Dollar yang mengalir dari minyak dan gas, serta triliunan rupiah dari eksploitasi hutan oleh sejumlah perusahaan, ternyata hanya dinikmati para pemilik modal pendatang dan sedikit elite penguasa di Jakarta di era Orde Baru, dan pasca-otonomi daerah pejabat daerah ikut mereguknya. Suku Sakai tak mendapat tetesan kenikmatan dari kekayaan tanah mereka sendiri.

Suku Sakai adalah cermin dari kegagalan negara dalam melindungi masyarakat tempatan. Sedangkan investor cenderung melihat semuanya dalam kacamata untung-rugi, tentu enggan benar-benar memberdayakan masyarakat Sakai ini. "Di Riau ini, kebanyakan investor mengabaikan masyarakat Sakai. Tidak hanya di Sakai, tapi seluruh masyarakat adat di Riau ini memang dinafikan oleh investor," kata Thamrin S, Ahli Hukum Adat Universitas Islam Riau.

Menurut Thamrin, hal ini sebenarnya bermula pada polemik tentang status hukum tanah adat di mata negara, khususnya di mata Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan Pemerintah Provinsi Riau. Upaya untuk memperjuangkan hak masyarakat adat di Riau, termasuk hak masyarakat Sakai, menurut Thamrin, selalu gagal karena masalah status yuridis ini.

"Kalangan swasta itu selalu bilang silakan gugat di pengadilan. Mana ada keberdayaan masyarakat? Tak bisa-bisa. Pasti kalah. Saya selalu mengingatkan enggak usah maju kalau yang diminta ke pengadilan, karena hanya akan membuang tenaga dan biaya. Akhirnya, kita hanya bisa berharap mereka masih punya hati nurani," kata Thamrin.

Niat baik
Pakar Hukum Pertanahan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Soemardjono menilai, peminggiran masyarakat adat memang lebih karena tak adanya niat baik, baik dari pemerintah maupun kalangan swasta. Menurut Maria, perlindungan terhadap tanah ulayat bisa dilakukan jika pemerintah kabupaten memiliki niat baik untuk melindungi masyarakat asli.

"Payung hukum untuk melindungi tanah ulayat itu sudah ada, yaitu Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999. Jika masyarakat Sakai sudah punya peta tanah ulayat mereka, seharusnya sekarang tinggal dipetakan ulang," tutur Maria.

Maria menambahkan, sejauh ini sudah ada dua kabupaten yang membuat perda untuk melindungi masyarakat adat, yaitu Baduy di Kabupaten Lebak, Banten dan Lundayah di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. "Pemerintah Kabupaten Bengkalis bisa mencontoh dua kabupaten ini," kata dia.

Menurut Thamrin, pemetaan tanah ulayat di Riau ini menjadi masalah besar. "Di Riau ini sudah ada juga yang punya peraturan daerah mengenai tanah ulayat, yakni Kabupaten Kampar, tetapi tidak jalan karena tiadanya peta yang dibuat. Untuk membuat peta, biayanya besar dan sekali lagi masalah niat baik ini susah diharapkan," tutur Thamrin.

Bagi Thamrin, keseriusan pemerintah untuk melindungi masyarakat adat memang setengah hati. Buktinya, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, yang dibuat pada awal era reformasi itu, seperti tak bertaji. "Harusnya memang ada undang-undang yang tegas mewajibkan untuk menghargai tanah ulayat," tegas Thamrin.

Di Riau terdapat delapan suku asli yang masih terasing, dan populasi terbanyak adalah Sakai. Sampai sekarang, semuanya masih eksis walaupun terus tergusur. "Karena itu, kalau pemerintah mau melindungi suku asli, jangan hanya berpatok pada yuridis saja, tapi lihat fakta juga. Sambil jalan, kalau ada dana pemerintah, dipetakan," tambah Thamrin.

Kekhawatiran Thamrin memang beralasan, karena sejauh ini Pemerintah Kabupaten Bengkalis memang belum tergerak untuk membuat perda guna melindungi tanah ulayat Sakai, apalagi untuk memetakannya.

Barangkali, jika menunggu pemerintah melakukan pemetaan, suku-suku asli itu—termasuk juga suku Sakai—keburu menghilang dari tanah ulayat mereka....

Sumber:Kompas, Kamis, 26 April 2007
Sumber:http://cabiklunik.blogspot.com/2007/04/suku-asli-3-habis-ketika-negara-gagal.html

Read More......

Bencana Alam vs Bencana Buatan

Tulisan ini dipublikasikan di harian "Kedaulatan Rakyat", Yogyakarta, 30 Juni 2006
Sumber:http://famhar.multiply.com/journal/item/33/Bencana_Alam_vs_Bencana_Buatan?replies_read=1

GEMPA besar seperti yang menggoyang Yogya 27/5/2006 adalah bencana alam yang tidak bisa dicegah dan tidak bisa diprediksi saat terjadinya. Letusan Gunung Merapi dengan luncuran awan panas, lahar dan lava pijarnya adalah bencana alam yang tidak bisa dicegah namun bisa diprediksi saat terjadinya, karena sebelumnya sudah memberi sejumlah tanda-tanda. Untuk kedua jenis bencana yang tidak bisa dicegah ini, manusia hanya bisa membuat perencanaan ruang dan konstruksi yang siap menghadapinya. Mereka akan mendirikan bangunan yang tahan gempa, atau permukiman di zona yang tidak akan terkena awan panas dan lahar.

Namun banjir besar di Sinjai Sulawesi Selatan yang terjadi kemudian adalah jenis bencana ketiga, yang mestinya dapat dicegah dan diprediksi. Bencana banjir lebih tepat disebut 'bencana buatan' - bukan bencana alam. Quran mengatakan: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Qs 30 - Ar Ruum :41)

Banjir terjadi ketika neraca air permukaan positif. Neraca air ditentukan empat variabel: curah hujan di suatu tempat, air limpahan masuk dari sekitar, air yang diserap tanah dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar. Dari empat variabel tadi, tiga di antaranya dipengaruhi atau bisa diintervensi oleh aktivitas manusia. Hanya curah hujan yang tidak ditentukan oleh manusia. Manusia hanya bisa menyelidiki curah hujan maksimum di suatu daerah dari catatan stasiun cuaca dalam jangka panjang, seperti yang ada pada Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).

Air yang terserap tanah tergantung jenis tanah dan vegetasi di atasnya. Makin banyak vegetasi, makin tinggi daya serapnya. Menggunduli hutan, mengeringkan rawa-rawa atau mengubah fungsinya secara drastis berarti merencanakan bencana. Demikian juga limpahan air masuk dan keluar, dapat diintervensi manusia dengan tanggul, kanal, dan pompa air.

Tak heran, curah hujan sebesar apapun pada daerah yang bahkan lebih rendah dari permukaan lautpun - bisa jadi tidak mengakibatkan banjir, selama manusia sudah dapat mengelola neraca air dengan seksama. Amsterdam contohnya, kota ini rata-rata terletak tujuh meter di bawah muka laut. Namun teknik hidrologi Belanda membuktikan, dengan suatu jaringan kanal kota yang rapi, sistem pompa yang efisien serta tanggul laut yang perkasa, beberapa dekade terakhir kota besar ini tidak pernah kebanjiran lagi.

Di Jakarta, meski Ancol terletak di tepi laut, namun Ancol tidak pernah kebanjiran, padahal banyak lokasi lain di Jakarta yang lebih tinggi dari Ancol justru biasa tergenang. Dengan demikian, banjir pasti bisa dicegah, asal kita memiliki tiga pilar pencegahnya.

Pilar pertama adalah kesadaran warga untuk menjaga lingkungan. Di 'zaman edan' ini, Alhamdulillah tetap saja ada warga yang sadar, bahwa membuang sampah di sungai atau menjarah hutan itu berbahaya. Bahkan ada orang yang rela menghabiskan umurnya untuk terus menanam pohon. Rasulullah memuji seseorang yang terus menanam pohon, sekalipun orang itu tahu sorenya hari kiamat akan tiba. Orang itu merawat lingkungan tanpa memandang hasil, namun sebagai manifestasi ibadahnya.

Pilar kedua adalah kontrol sosial dari budaya masyarakat yang menghargai lingkungan, walau kadang dikaitkan mitos tertentu. Inilah 'kearifan lokal', yang meski tidak ilmiah namun efektif menjaga mereka dari bencana. Namun di suatu masyarakat, tidak semua warga dapat diharapkan sadar lingkungan atau punya malu ketika menyimpang dari budaya yang ada. Untuk itulah diperlukan pilar ketiga, yaitu peran pemerintah. Pemerintah harus melakukan rekayasa sosial dan fisik, agar lingkungan terjaga.

Pemerintah bisa membuat aturan yang memberi insentif pada daerah yang meningkat kualitas lingkungannya - misalnya dengan Dana Alokasi Khusus, pengurangan pajak, atau subsidi warga (pendidikan, kesehatan, BBM, infrastruktur). Pemerintah juga wajib mengurangi beban utang negara, agar sumber alam ini tak lalu 'digadaikan' untuk membayar utang berikut bunganya.

Pemerintah dapat menstimulasi gerakan cinta lingkungan dengan promosi yang gencar di media massa, melibatkan tokoh dan selebritis, juga memasukkannya dalam kurikulum. Gaya hidup materialistis, yang mendorong orang lebih banyak menjarah alam, harus dikikis habis. Agar lebih joss lagi, gerakan ini perlu diberi landasan spiritualnya, agar merawat lingkungan dirasakan sebagai aktivitas syar'i yang transendental.

Pemerintah dapat mewajibkan agar pada setiap proyek (real estat, lapangan golf, reklamasi pantai), dilakukan simulasi uji dampak lingkungan. Pemerintah bisa menghukum berat para penjahat lingkungan, penjarah hutan, penumpah limbah sembarangan, termasuk juga para pejabat yang secara sembrana memberi izin atau tutup mata pada para kapitalis bejat seperti itu.

Tanpa pilar-pilar ini, bencana alam ..ups.. 'bencana buatan' akan terus menghantui kita. Maka apakah orang-orang pembuat kerusakan itu, merasa aman dari ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari ?, (Qs. 16 - an Nahl:45)

Read More......

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]