"Pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang;
Kalimat diatas merupakan petikan UU No.26 Tahun 2007 pasal 38 ayat 3(a) tentang Penataan Ruang. jelas disana dijelaskan bahwa apabila ada pemanfaataan ruang yang tidak sesuai dengan fungsinya maka di atur seperti aturan diatas.
Namun pada tanggal 4 Februari 2008 pemerintah mengeluarkan aturan yang sangat bertentangan dengan undang- undang tersebut. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang "jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada departemen kehutanan". Aturan ini mempertegas bahwa hutan lindung pun boleh di gunakan untuk kegiatan diluar fungsinya seperti pertambangan maupun kegiatan lainnya. Dan celakanya lagi tarifnya sangat murah yaitu paling mahal Rp. 300/m2 dan angka ini hasil dari "cingcai" antara pemerintah dengan pengusaha. Seharusnya tarif ini harus memperhitungkan berada biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang akan ditimbulkan misalnya kemungkinan banjir, kekeringan, longsor dan sebagainya.
Seperti yang di sampaikan oleh Yetti Rusli, Kepala Badan Planologi (Baplan) Departemen Kehutanan dikutif pada Koran kompas pada tanggal 22/02/08 dikatakan"Angka (tarif) itu memang tidak muncul sendirian saja. Tetapi kalau dicari dasar ilmiahnya, ya tidak ada. Itu hanya hasil exercise. Dasar ilmiah, misalnya, kalau ada penelitian dampaknya. Kami terus terang belum melakukan (penelitian) itu. Saat ini kalau ada penelitian untuk tarif itu, kami membuka pintu."
Masih di mengutif Koran yang sama, Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan Baplan Soetrisno mengatakan, peraturan tidak harus ilmiah karena harus realistis, pragmatis, dan bisa diterapkan. "Jadi, keliru kalau ditanya penelitian akademiknya mana. Ini memang bukan akademik, ini peraturan.". Soetrisno mencontohkan, tim menyimulasikan biaya dengan mengunjungi lokasi tambang PT Newmont. Setelah melihat data biaya operasional, keuntungan, dan beban-beban pajak lainnya, tim memasukkan tarif Rp 9 juta per hektar per tahun sehingga keluar PNBP yang harus dibayar perusahaan tersebut Rp 150 miliar per tahun. Menurut Soetrisno, pengusaha langsung keberatan. Oleh karena itu, tim terus bersimulasi sampai akhirnya menyepakati nilai yang tercantum dalam lampiran PP No 2/2008. "Akhirnya disepakati (tarif) ini sebagai tambahan beban kepada pengguna kawasan hutan. Jadi dasar scientific-nya kesepakatan itu sebetulnya," kata Soetrisno.
Dalam pemberian ijin memanfaatan ruang harusnya pemerintah mengikuti Rencana Tata Ruang yang ada (RTRWN, RTRW Pulau, RTRW Propinsi dan Kabupaten). Sangsi akan di kenakan apabila terjadi pemanfaatan yang melanggar Rencana Tata Ruang tersebut. Bukan cuma pengguna tapi juga pemberi ijinnya juga bisa di tuntut secara hukum. Pada kasus pemberian ijin kepada 13 perusahaan tambang di kawasan lindung, seharusnya sang menteri yang mengeluarkan ijin bisa dituntut di pengadilan dan ijin perusahaan tambang tersebut bisa di cabut karena tidak sesuai dengan perencanaan tata ruang wilayah oleh pemerintah dan pemerintah daerah (pasal 38 ayat (6) UU No26/2007). Namun pertanyaanya mungkinkah sekarang ini jeruk makan jeruk.
Masih dalam UU No.26/2007 pada pasal 60e, masyarakat memiliki hak untuk "mengajukan tuntutan pembatalan ijin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang. Namun sangat disayangkan aturan bagaimana mewujudkan hak-hak masyarakat belum ada, tapi tentunya kita tidak perlu menunggu.
Kalimat diatas merupakan petikan UU No.26 Tahun 2007 pasal 38 ayat 3(a) tentang Penataan Ruang. jelas disana dijelaskan bahwa apabila ada pemanfaataan ruang yang tidak sesuai dengan fungsinya maka di atur seperti aturan diatas.
Namun pada tanggal 4 Februari 2008 pemerintah mengeluarkan aturan yang sangat bertentangan dengan undang- undang tersebut. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang "jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada departemen kehutanan". Aturan ini mempertegas bahwa hutan lindung pun boleh di gunakan untuk kegiatan diluar fungsinya seperti pertambangan maupun kegiatan lainnya. Dan celakanya lagi tarifnya sangat murah yaitu paling mahal Rp. 300/m2 dan angka ini hasil dari "cingcai" antara pemerintah dengan pengusaha. Seharusnya tarif ini harus memperhitungkan berada biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang akan ditimbulkan misalnya kemungkinan banjir, kekeringan, longsor dan sebagainya.
Seperti yang di sampaikan oleh Yetti Rusli, Kepala Badan Planologi (Baplan) Departemen Kehutanan dikutif pada Koran kompas pada tanggal 22/02/08 dikatakan"Angka (tarif) itu memang tidak muncul sendirian saja. Tetapi kalau dicari dasar ilmiahnya, ya tidak ada. Itu hanya hasil exercise. Dasar ilmiah, misalnya, kalau ada penelitian dampaknya. Kami terus terang belum melakukan (penelitian) itu. Saat ini kalau ada penelitian untuk tarif itu, kami membuka pintu."
Masih di mengutif Koran yang sama, Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan Baplan Soetrisno mengatakan, peraturan tidak harus ilmiah karena harus realistis, pragmatis, dan bisa diterapkan. "Jadi, keliru kalau ditanya penelitian akademiknya mana. Ini memang bukan akademik, ini peraturan.". Soetrisno mencontohkan, tim menyimulasikan biaya dengan mengunjungi lokasi tambang PT Newmont. Setelah melihat data biaya operasional, keuntungan, dan beban-beban pajak lainnya, tim memasukkan tarif Rp 9 juta per hektar per tahun sehingga keluar PNBP yang harus dibayar perusahaan tersebut Rp 150 miliar per tahun. Menurut Soetrisno, pengusaha langsung keberatan. Oleh karena itu, tim terus bersimulasi sampai akhirnya menyepakati nilai yang tercantum dalam lampiran PP No 2/2008. "Akhirnya disepakati (tarif) ini sebagai tambahan beban kepada pengguna kawasan hutan. Jadi dasar scientific-nya kesepakatan itu sebetulnya," kata Soetrisno.
Dalam pemberian ijin memanfaatan ruang harusnya pemerintah mengikuti Rencana Tata Ruang yang ada (RTRWN, RTRW Pulau, RTRW Propinsi dan Kabupaten). Sangsi akan di kenakan apabila terjadi pemanfaatan yang melanggar Rencana Tata Ruang tersebut. Bukan cuma pengguna tapi juga pemberi ijinnya juga bisa di tuntut secara hukum. Pada kasus pemberian ijin kepada 13 perusahaan tambang di kawasan lindung, seharusnya sang menteri yang mengeluarkan ijin bisa dituntut di pengadilan dan ijin perusahaan tambang tersebut bisa di cabut karena tidak sesuai dengan perencanaan tata ruang wilayah oleh pemerintah dan pemerintah daerah (pasal 38 ayat (6) UU No26/2007). Namun pertanyaanya mungkinkah sekarang ini jeruk makan jeruk.
Masih dalam UU No.26/2007 pada pasal 60e, masyarakat memiliki hak untuk "mengajukan tuntutan pembatalan ijin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang. Namun sangat disayangkan aturan bagaimana mewujudkan hak-hak masyarakat belum ada, tapi tentunya kita tidak perlu menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar