23 Desember, 2007

Pengurangan Hutan Pemicu Perubahan Iklim

Oleh: Diki Kurniawan, Koordinator Program Kebijakan & Advokasi KKI WARSI

(dicky@warsi.or.id)

Perubahan iklim merupakan fenomena gobal yang terjadi akibat terjadinya pemanasan global karena meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (karbondioksida, dinitroksida, metana, sulfurheksa fluorida, perfluorokarbon dan hidrofluorokarbon) di atmosfer sehingga suhu rata-rata di permukaan bumi meningkat. Perubahan iklim tersebut ditandai dengan mencairnya es di daerah kutub, naiknya permukaan air laut, meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara. Sehingga memberikan dampak yang sangat besar bagi seluruh makhluk hidup di berbagai belahan dunia.

Di Indonesia, konstribusi terbesar terhadap semakin meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) adalah tingginya laju kerusakan hutan, termasuk perubahan tata guna lahannya. Selain itu konstribusi lainnya terhadap meningkatnya konsentrasi GRK adalah pemanfaatan energi fosil (seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam), praktek pengelolaan pertanian dan peternakan (seperti penggunaan pupuk kimia, sawah dibiarkan tergenang, pembakaran hutan dan sabana untuk lahan pertanian/perladangan dan perkebunan, serta kotoran hewan ternak yang dibiarkan membusuk), serta meningkatnya sampah terutama di perkotaan, yang merupakan limbah rumah tangga dan industri.

Karena laju kerusakan hutan (deforestasi) merupakan konstribusi terbesar terhadap semakin meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK), maka yang akan dibahas selanjutnya adalah kondisi dan laju kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia, faktor yang menyebabkannya, serta dampak perubahan iklim tersebut di Indonesia.

Kondisi dan Laju Kerusakan Hutan Di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan luas hutan terbesar, yaitu 120,3 juta hektar. Berdasarkan hasil survey Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch (GFW) tahun 2001, seratus tahun yang lalu Indonesia masih memiliki hutan yang melimpah, pohon-pohonnya menutupi 80 sampai 95 persen dari luas lahan total. Tutupan hutan total pada waktu itu diperkirakan sekitar 170 juta ha. Saat ini, tutupan hutan menjadi sekitar 98 juta hektar, dan paling sedikit setengahnya diyakini sudah mengalami degradasi akibat kegiatan manusia.

Kerusakan hutan menjadi isu penting sejak tahun 1970-an, dimana penebangan hutan secara komersial mulai dibuka secara besar-besaran oleh perusahaan pemegang konsesi HPH. Kemudian tingkat deforestasi makin meningkat pada periode tahun 1985 - 1997 dimana Indonesia kehilangan sekitar 17 persen hutannya, atau mencapai sebesar 2,2 juta hektar per tahun. Rata-rata, negara kehilangan sekitar satu juta hektar hutan setiap tahun pada tahun 1980-an, dan sekitar 1,7 juta ha per tahun pada tahun 1990-an serta meningkat menjadi 1,8 juta ha di tahun 2000-an. Pada tingkat ini, menurut Holmes (2000) tampaknya seluruh hutan dataran rendah Indonesia – yang paling kaya akan keanekaragaman hayati dan berbagai sumber kayu – akan lenyap dalam dekade mendatang.

Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Indonesia yang semula sangat kaya akan hutan kini menjadi negara yang miskin hutan, seperti yang dialami oleh Filipina dan Thailand. Jutaan hektar lahan yang dulu tertutup hutan sekarang dalam keadaan terdegradasi, berupa semak belukar dan di mana-mana ditumbuhi alang-alang. Dengan kehilangan hutan ini Indonesia kehilangan kekayaan keanekaragaman hayati, pasokan kayu, pendapatan, dan berbagai jasa lingkungan. Padahal jika hutan dengan keanekaragaman hayatinya dipelihara dengan baik maka sesungguhnya akan memberikan keuntungan, baik secara sosial maupun ekonomi.

Lebih lanjut, berdasarkan data FWI dan GFW (2001) tercatat bahwa Indonesia masih memiliki hutan yang lebat pada tahun 1950. Sekitar 40 persen dari luas hutan pada tahun 1950 ini telah ditebang dalam waktu 50 tahun berikutnya. Jika dibulatkan, tutupan hutan di Indonesia turun dari 162 juta ha menjadi 98 juta ha. Laju kehilangan hutan semakin meningkat. Pada tahun 1980-an laju kehilangan hutan di Indonesia rata-rata sekitar 1 juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha per tahun pada tahun-tahun pertama 1990-an dan menjadi 1,8 juta ha per tahun pada tahun 2006 (FWI, 2006).

Laju kehilangan hutan semakin meningkat. Pada tahun 1980-an laju kehilangan hutan di Indonesia rata-rata sekitar 1 juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha per tahun pada tahun-tahun pertama 1990-an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi tampaknya meningkat lagi menjadi rata-rata 2 juta ha per tahun. Dari hasil survey FWI dan GFW (2001) disebutkan bahwa hutan-hutan tropis dataran rendah Indonesia yang memiliki persediaan kayu dan keanekaragaman yang paling tinggi, adalah yang memiliki resiko paling tinggi. Tipe hutan ini hampir seluruhnya lenyap di Sulawesi, dan diprediksikan akan lenyap di Sumatera pada tahun 2005 dan di Kalimantan pada tahun 2010, jika kecenderungan seperti saat ini terus berlangsung.

Kerusakan hutan tropis Indonesia akan semakin cepat dan tidak terkendali karena hampir setengah dari luas hutan di Indonesia sudah terfragmentasi oleh jaringan jalan, jalur akses lainnya, dan berbagai kegiatan pembangunan, seperti pembangunan perkebunan, hutan tanaman industri dan pertambangan. Kondisi ini semakin diperparah dengan maraknya pembalakan ilegal (illegal loging) yang telah merusak sekitar 10 juta hektar hutan-hutan Indonesia sebagai akibat dari ketimpangan struktural antara permintaan dan pasokan kayu ilegal yang terus menerus berlangsung di Indonesia sejak era Orde Baru. Ekspansi besar-besaran di sektor produksi kayu lapis dan pulp-dan-kertas selama dua puluh tahun terakhir ini menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu sampai saat ini jauh melebihi pasokan legal. Kesenjangannya sebesar 35-40 juta meter kubik per tahun. Kesenjangan antara permintaan dan pasokan kayu legal ini dipenuhi dari pembalakan ilegal. Banyak industri pengolahan kayu secara terbuka mengakui ketergantungan mereka terhadap kayu yang ditebang secara ilegal. Jumlahnya mencapai sekitar 65 persen dari pasokan total pada tahun 2000. Di Indonesia saat ini diperkirakan tidak kurang dari 64 juta meterkubik kayu dibutuhkan untuk memberi pasokan berbagai industri perkayuan, terutama pulp and paper, kayu lapis maupun kayu gergajian. Sedangkan jumlah produksi kayu yang legal (ada izin penebangannya?) hanya sekitar 25 juta meterkubik pertahun, sehingga sisanya lebih dari 30 juta meterkubik didapat dari kegiatan illegal.

Penebangan hutan secara legal juga dilakukan pada tingkat yang tidak berkelanjutan. Menurut statistik Departemen Kehutanan, pasokan kayu legal yang berasal dari hutan alam produksi berkurang jumlahnya, yaitu dari 17 juta meter kubik pada tahun 1995 menjadi di bawah 8 juta meter kubik pada tahun 2000. Penurunan produksi kayu bulat ini sebagian ditutupi oleh produksi kayu yang diperoleh dari hutan hutan yang dibuka dan dikonversi menjadi perkebunan atau hutan tanaman industri. Tetapi sumber kayu tambahan ini sudah mencapai puncaknya pada tahun 1997.

Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan disubsidi sebagai suatu upaya untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia, akan tetapi upaya ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. Hampir 9 juta ha lahan, sebagian besar adalah hutan alam, telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri. Lahan ini kemungkinan telah ditebang habis atau dalam waktu dekat akan ditebang habis. Namun hanya sekitar 2 juta ha yang telah ditanami dengan jenis kayu yang cepat tumbuh, utamanya Accacia mangium, untuk menghasilkan kayu pulp. Implikasinya 7 juta ha lahan yang sebelumnya merupakan hutan alam, sekarang malah dalam keadaan terlantar.

Selain untuk kepentingan hutan produksi, tekanan terhadap hutan alam juga terjadi untuk kepentingan mobilisasi penduduk (transmigrasi) yang terjadi secara besar-besaran antara tahun 1960an sampai 1999 menyebabkan pembukaan hutan seluas 2 juta ha. Disamping itu, migrasi dan pemukiman ilegal oleh para petani pionir di sepanjang jalan operasi pembalakan HPH, dan bahkan di dalam beberapa Taman Nasional juga meningkat pesat sejak tahun 1997.

Tekanan terhadap hutan alam terus menerus berlangsung tanpa terkenadali. Para pemilik perkebunan skala besar kebanyakan membuka hutan untuk lahan perkebunan mereka dengan menggunakan api sebagai cara yang paling mudah dan murah. Pembakaran hutan yang disengaja, yang dikombinasikan dengan kemarau panjang akibat pengaruh fenomena El NiƱo, telah menimbulkan kebakaran besar yang tidak dapat dikendalikan, dengan intensitas dan luas kebakaran hutan mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari 5 juta ha hutan terbakar pada tahun 1994 dan sekitar 4,6 juta ha hutan lainnya juga terbakar pada tahun 1997-1998 dan kebakaran hutan tahun 2005 – 2006 yang diperkirakan mencapai 4,5 juta ha. Sebagian dari areal yang terbakar ini sekarang mengalami regenerasi menjadi semak belukar, sebagian telah dihuni oleh para petani skala kecil, namun upaya secara sistematis untuk memulihkan tutupan hutan atau memanfaatkannya sebagai lahan pertanian yang produktif masih belum banyak dilakukan.

Deforestasi hutan yang terjadi secara besar-besaran di Indonesia tersebut telah menjadi pusat perhatian dunia. Masyarakat internasional begitu gusar menyaksikan perusakan sumber daya alam yang semena-mena di negeri ini karena secara langsung berdampak pada pemanasan global. Oleh karenanya, masyarakat Internasional baik melalui lembaga moneter internasional, seperti Bank Dunia, IMF, CGI dan lembaga-lembaga Internasional lainnya memberikan tekanan kepada pemerintah Indonesia dengan memberikan syarat reformasi spesifik di bidang kehutanan sebelum memberikan pinjaman hutang maupun hibah.

Upaya lembaga-lembaga Internasional untuk menekan pemerintah Indonesia mengurangi laju deforestasi melalui berbagai syarat, tetap saja belum memberikan dampak positif. Masa depan hutan Indonesia tetap saja semakin suram. Tidak efektifnya tekanan lembaga-lembaga Internasional ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, terjadinya standar ganda, disatu sisi mereka selalu mensyaratkan adanya reformasi spesifik dibidang kehutanan dalam menurunkan laju deforestasi, tetapi disisi lain mereka tetap menampung hasil-hasil kayu Indonesia dengan harga murah yang sebagian besar diperoleh dari aktifitas illegal loging. Kedua, dalam setiap evaluasi lembaga-lembaga dana Internasional atas bantuan yang diberikan pada pemerintah Indonesia, mereka menilai pemerintah tidak sungguh-sungguh dan telah gagal menjalankan reformasi bidang kehutanan, tetapi disisi lain tidak memberikan sanksi apapun bahkan tetap menguncurkan dana pinjamannya. Ketiga, tidak adanya penghargaan (reward) dari lembaga-lembaga Internasional terhadap masyarakat secara langsung yang telah berusaha untuk menjaga kelestarian hutan. Oleh karenanya, jika kebijakan Internasional terhadap keberlangsungan sumberdaya hutan Indonesia masih dilakukan seperti saat ini, tidak akan berdampak positip dalam penurunan laju deforestasi hutan di Indonesia.

Tingginya laju deforestasi hutan di Indonesia yang disebabkan ekploitasi besar-besar oleh HPH, dikonversi menjadi HTI maupun perkebunan skala besar, pembukaan areal pertambangan di kawasan hutan dan pembalakan liar (illegal logging), serta kebakaran hutan menjadi penyumbang terbesar emisi GRK. Pada tahun 1990, emisi karbondioksida (CO2), atau sering disebut emisi karbon, yang dilepaskan ke atmosfer akibat laju deforestasi hutan dan perubahan fungsi hutan atau tata guna lahan yaitu 64% dari total emisi GRK di Indoenesia. Sementara pada tahun 1994, angka tersebut meningkat menjadi 74% (Pelangi 2000). Hilangnya emisi karbon tersebut ke atmosfer diperparah tersebut dengan terjadinya kebakaran hutan yang cukup besar, terutama yang terjadi pada tahun 1997-1998 dimana 80% dari peristiwa kebakaran tersebut terjadi di kawasan gambut. Padahal kawasan gambut merupakan penyerap emisi karbon terbesar di dunia. Akibat peristiwa kebakaran hutan tersebut, sebanyak 0,81 – 2,57 Gigaton karbon dunia dilepaskan ke atmosfer. Angka ini setara dengan 13% – 40% total emisi karbon duniayang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahun. Kerugian finansial yang harus ditanggung oleh Indoensia akibat peristiwa itu adalah US$ 3 milyar dari hilangnya kayu, pertanian, produski hutan non kayu, konservasi tanah, dan lain-lain (Susan E. Page, 2002).

Jika tidak segera diatasi, maka kerusakan hutan di Indonesia akan mengakibatkan akumulasi GRK di attmosfer meningkat dengan cepat, sehingga menambah laju proses perubahan iklim.

Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia


Dampak perubabahan iklim dimana suhu rata-rata di permukaan bumi semakin meningkat menyebabkan es dan gletser di daerah Kutub Utara dan Selatan mencair sehingga menimbulkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Kondisi ini akan mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai di Indonesia dan akan menenggelamkan ribuan pulau kecil di Indoensia. Menurut Studi ALGAS (1997), jika di Indonesia dan juga negara lainnya tidak melakukan upaya apapun untuk mengurangi emisi GRK, maka diperkirakan pada tahun 2070 akan terjadi kenaikan permukaan air laut setinggi 60 cm. Jika permukaan pantai landai, maka garis pantai akan mundur dari 60 cm ke arah darat. Hal ini diperkirakan akan mengancam tempat tinggal ribuan bahkan jutaan penduduk yang tinggal di pesisir pantai. Tahun 2070 diperkirakan sebanyak 800 ribu rumah di tepi pantai harus dipindahkan atau diperbaiki. Untuk itu dana yang dibutuhkan sekitar 30 milyar rupiah.

Di samping itu akibat naiknya permukaan air laut akan mengancam sumber mata pencaharian masyarakat pesisir dan nelayan karena tambak ikan akan kebanjiran sehingga semakin menurunkan produksi tambak ikan dan udang, serta terjadinya kenaikan suhu air laut menyebabkan perubahan kehidupan di bawah laut, seperti pemutihan terumbu karang (coral bleaching) dan semakin punahnya berbagai jenis ikan. Padahal kepulauan Indonesia saat ini memiliki 14.000 unti terumbu karang dengan luas total sekitar 85.700 km² atau sekitar 14% dari terumbu karang dunia dan lebih dari 25% spesies ikan di seluruh dunia (WRI, 2002). Kondisi ini bakal diperparah dengan meningkatnya penguapan, intrusi dan salinitas air laut ke daerah permukiman dan perkotaan yang dapat menimbulkan hilangnya sumber air minum dan mudah rusaknya infrakstruktur di daerah tersebut.

Di sisi lain terjadinya pergeseran musim serta perubahan pola curah hujan memberikan dampak yang merugikan di berbagai sektor, terutama pertanian dan perikanan. Intensitas hutan yang tinggi walaupun dengan periode yang lebih pendek berpotensi menyebabkan banjir dan longsor. Sementara itu musim panas terjadi dalam masa yang lebih panjang, sehingga menyebabkan kekeringan. Kondisi musim yang tidak menentu tersebut menyebabkan meningkatknya peristiwa gagal panen, sehingga dapat menimbulkan krisis pangan secara nasional. Sudah banyak peristiwa banjir dan longsor di berbagai daerah di Indonesia, serta peristiwa puso puluhan ribu hektar lahan padi sawah dan palawija akibat kekeringan maupun kebanjiran. Kondisi ini diperparah dengan dampak El Nino dan La Nina yang menambah berbagai rentetan peristiwa bencana di Indoensia.

Dampak lainnya dari perubahan iklim tersebut di Indonesia adalah meningkatnya frekuensi penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah. Hal ini disebabkan oleh naiknya suhu udara yang menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek sehingga naymuk malaria dan demam berdarah akan berkembang biak dengan cepat. Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995, diperkirakan 15 juta penduduk Indoensia menderita malaria dan 30 ribu di antaranya telah meninggal dunia (WHO, 1996). Dan serangan penyakit malaria dan demam berdarah ini terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir, seperti beberapa kasus terkahir di berbagai daerah di Indonesia.

Pada musim kekeringan dan terjadi kebakaran hutan, dimana kebakaran hutan dan lahan terbesar terjadi pada tahun 1997, maka akibat paparan asap dan debu dimana-mana telah menimbulkan berbagai gangguan kesehatan pada manusia, seperti ISPA, asma bronchial, bronchitis, radang paru, iritasi mata dan kulit. Selain itu kebakaran hutan diduga juga menghasilkan racun dioksin yang dapat menyebabkan kanker dan kemandulan pada wanita (Tempo, 27 Juni 1999) dan menyebkan kematian sebanyak 527 kasus (KLH, 1988). Selain itu juga terjadinya krisis air bersih dimana-mana, sehingga berdampak pada timbulnya penyakit diare dan penyakit kulit. Sementara itu, pada musim penghujan dan terjadi banjir maka menimbulkan penyakit diare dan leptospirosis yang biasanya muncul pasca banjir.

Jadi, belajar dari berbagai peristiwa yang ditimbulkan akibat dampak perubahan iklim tersebut sungguh sangat merugikan bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi ini. Tidak terhitung kerugian yang bisa ditimbulkannya, baik secara finansial, materi atau harta benda, terhadap kesehatan, bahkan korban jiwa, serta hilangnya keanekaragaman hayati yang tinggi. Karena perubahan iklim bersifat global dan berdampak luas tersebut maka mari kita bersama-sama untuk mengkampanyekan dan juga berupaya nyata untuk menyelamatkan dan melestarikan hutan alam tersisa. (Dikutip dari berbagai sumber, Diki Kurniawan, dicky@warsi.or.id).






Read More......

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]