Secara Hukum SM Balai Raja Masih Suaka MargasatwaKepala BKSDA menyatakan walaupun secara fisik Suaka Margasatwa Balai Raja sudah terjadi pergeseran fungsi, namun secara hukum statusnya masih Suaka Margasatwa.Riauterkini -
PEKANBARU-Dikonfirmasi tentang kondisi akhir Suaka Margasatwa Balai Raja, Kepala BKSDA Riau Walistradanny kepada Riauterkini rabu (17/5) mengakui bahwa kawasan tersebut kini sudah menjadi area pemukiman penduduk dan area perkebunan. Namun demikian, secara hukum area tersebut masih berstatus suaka margasatwa.
Memang telah terjadi perubahan fungsi kawasan SM Balai Raja. Di kawasan tersebut sudah terdapat pemukiman penduduk dan perkebunan kelapa sawit. Namun secara hukum kawasan tersebut masih berstatus suaka margasatwa,†kata Wilistradanny. Dalam catatan Riauterkini, kawasan SM Balai Raja yang dalam keputusan peruntukkan SM seluas 18 ribu Ha, kini kawasan tutupan hutan yang tersisa hanya sebanyak 200 Ha saja. Bukaan seluas 17.800 Ha dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan dan kawasan pemukiman masyarakat.
Namun ketika didesak kondisi tersebut merupakan gambaran lemahnya kinerja BKSDA, ia membantahnya. Menurutnya perubahan fungsi dari SM Balai Raja tersebut bukanlah BKSDA yang merubahnya.
Dalam UU Konversi no.5 tahun 1990 tentang Kelestarian Kawasan Konservasi, disebutkan bahwa tanggung jawan dalam upaya pelestarian kawasan konservasi merupakan tanggung jawab kita bersama. Dalam artian pelestarian kawasan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat,†kilahnya. Dikatakan Wilistradanny, kalau untuk menghutankan kembali kawasan tersebut ia mengakui sangat sulit. Tidak mungkin pemerintah harus menghutankan kembali areal tersebut. Tentu selain memakan biaya yang cukup besar, juga memakan waktu yang tidak sebentar. Lantas bagaimana dengan warga yang sudah bermukim di kawasan tersebut. Apakah harus direlokasi…?. “Kalau dicabut satu persatu pohon sawit tersebut kemudian menanam kembali dengan tanaman pepohonan, sampai kapan kawasan tersebut akan selesai dihutankan kembali,†ungkapnya tanpa memberikan solusi.
http://www.riauterkini.com/lingkungan.php?arr=9681
Kalau Kita Coba merujuk pada UU No 26 tahun 2007, maka ada dua pilihan yang harus dilakukan kalau penertiban pola pemanfaatan ruang harus dilaksanakan. Pilihan pertama adalah Alokasi peruntukan lahan pada wilayah ini harus dirobah dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya, sedangkan Pilihan kedua adalah Memaksa atau mengusir masyarakat untuk keluar dari kawasan ini.
Sementara dalam draft RTRWP 2001-2015 kawasan ini tetap berstatus sebagai kawasan suaka margasatwa, sedangkan kondisi eksisting kawasan ini sudah 95% sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Seharusnya sebelum menetapkan kembali kawasan ini sebagai kawasan lindung atau budidaya harus dilakukan analisis analisis seperti yang disyaratkan dalam pedoman pembuatan rencana tata ruang provinsi.
Berhubung kebijakan ini sangat menyangkut tentang konflik lahan, maka sebelum kebijakan baru dikeluarkan juga harus melalui mekanisme konsultasi publik dengan baik. kalau hal ini tidak dilakukan maka ada 2 kemungkinan: 1. akan terjadi penggusuran masyarakat yang sudah menanamkan investasi di kawasan ini, 2. pelanggaran akan dibiarkan dan hukum yang dibuat tidak pernah bisa ditegakkan secara adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar