28 September, 2007

Terjadi Perampasan Ruang Publik

[Sumber : kompas.co.id 28/06/07]
http://penataanruang.pu.go.id/BERITA/file/20070628_kompas.htm
Laporan Wartawan Kompas Ambrosius Harto

SAMARINDA, KOMPAS – Pemanfaatan kawasan yang tidak tepat mengakibatkan kerusakan dan bencana alam. Kawasan lindung atau yang ditujukan bagi masyarakat ternyata dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Kondisi itu harus dihentikan.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Abdullah Azwar Anas mengemukakan demikian di sela Sosialisasi Undang-Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang di Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis (28/6).

Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa itu menyontohkan sekitar 700 hektar sawah di Bali tiap tahun beralih fungsi menjadi perhotelan dan industri. Hutan lindung ataupun kawasan resapan air diubah menjadi permukiman seperti di Puncak, Jawa Barat. Akibatnya, Jakarta kebanjiran.


Padahal, keberadaan sawah atau kawasan resapan air penting bagi masyarakat. Ketika kawasan-kawasan tersebut beralih fungsi, Azwar menegaskan dengan berkata, “Terjadi perampasan ruang publik,” katanya.

Menurut Azwar, kondisi tadi terjadi karena lemahnya aturan tentang pemanfaatan ruang. Pemerintah selaku pihak pemberi izin kerap melanggar sendiri rencana pemanfaatan suatu kawasan. ”Dalihnya demi peningkatan PAD (pendapatan asli daerah),” katanya.

Penggunaan kawasan yang melenceng dari rencana jelas merugikan. Apalagi kalau kawasan untuk publik ternyata digunakan untuk kepentingan sekelompok pihak. Kondisi itu harus dihentikan dengan aturan yang ketat.

Azwar mengemukakan bahwa UU Penataan Ruang begitu ketat mengatur norma-
norma perencanaan dan pemanfataan kawasan. Itu dibuktikan dengan keberadaan pasal-pasal yang mencantumkan sanksi berat terhadap pelanggaran tata ruang. Sanksi dijatuhkan kepada masyarakat, pemerintah, atau perusahaan. Sanksi terberat adalah penjara 15 tahun ditambah dengan denda Rp 5 miliar.

Untuk itu, menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Setia Budhy Algamar, penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi, kabupaten, dan kota harus menyesuaikan dengan UU itu. “Untuk provinsi dua tahun, kabupaten dan kota tiga tahun,” kata Setia.

Pemerintah perlu konsisten mengikuti perencanaan yang sudah disusun dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggar. Adapun pemanfaatan ruang berpotensi menimbulkan konflik antardaerah. Konflik bisa diselesaikan di Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional yang sudah terbentuk atau di tingkat daerah yang akan dibentuk.

Ruang Terbuka Hijau
Ketentuan itu juga mengatur bahwa setiap daerah harus menyisakan minimal 30 persen kawasan untuk ruang terbuka hijau (RTH). Keberadaan RTH bisa berupa taman, hutan, dan kawasan lindung.

Daerah yang tak memiliki RTH 30 persen seperti DKI Jakarta, menurut Azwar, berangsur-angsur harus memenuhi. Itu bisa terjadi dengan membebaskan beberapa kawasan untuk dijadikan RTH.

UU itu juga mengatur tentang pemberian insentif dan disinsentif. Misalnya, kalau Jakarta ingin bebas dari banjir, kawasan Puncak di Jawa Barat harus dijaga kelestariannya. Jakarta, menurut Azwar, perlu memberi insentif kepada pemerintah setempat agar kelestarian Puncak terjaga. (BRO)



Tidak ada komentar:

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]