21 Agustus, 2008

Pertemuan Rencana Tata Ruang Pulau Sumatra

Pada tanggal 1 Agustus 2008 Direktorat penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum mengadakan pertemuan sosialisasi draft Perpres Rencana Tata Ruang Pulau Sumatra di Balai Sidang Bung Hatta The Bukittinggi Hotel and Convention. Pertemuan ini dihadiri oleh seluruh bappeda se sumatra, akademisi serta NGO. Pembicara pada petemuan ini adalah Direktur Penataan Ruang PU Iman Soedrajat, Kepala Bidang Pengukuhan Kawasan Hutan Badan Planologi Kehutanan Ir. Muhammad Said, MM ; Deputi Tata Lingkungan KLH; SekdaProv Sumatra Barat; Ketua Panitia Adhoc II urusan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi DPD RI; Sarwono Kusumaatmadja; Institiut Pertanian Bogor dan WWF Indonesia. Selain itu juga hadir Purnomo Sucipto/ Sekr. Kabinet; Ir. Srihadi Setiyono, MM/ Dept. Pertanian; Ir. Gunawan MA Dirjen Bangda; Ardinis Arbain/ Unand;



Melihat semangat reformasi regulasi yang ada pada UU 26 2007 dan PP 26 2008 serta peluang yang terbuka untuk memberikan masukan maka disepakati pertemuan untuk membahas revisi Penataan Ruang Pulau Sumatera Berbasis Ekosistim. Pertemuan dihadiri oleh 26 orang yang mewakili 12 lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kegiatan konservasi keanekargaman hayati dan kegiatan terkait lainnya di Sumatera.

Dalam pertemuan tersebut di atas, telah dihasil beberapa kesepakatan, yaitu : :
1. Seluruh perserta diskusi sepakat untuk secara bersama-sama melakukan “intervensi” terhadap draft Penataan Ruang Pulau Sumatera Berbasis Ekosistim sebagai upaya untuk menyelamatkan ekosistim di Pulau Sumatera guna mendukung upaya pembangunan berkelanjutan.
2. Untuk menyatukan langkah dan gerakan dalam upaya memberikan masukan perubahan terhadap draft Penataan Ruang Pulau Sumatera Berbasis Ekosistim, termasuk kegiatan pemantaun implementassi tata ruang pulau Sumatera di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, maka seluruh peserta sepakat untuk membentuk “Forum Penataan Ruang Pulau Sumatera Berbasis Ekosistim”.
3. Dalam pertemuan juga disepakati perwakilan forum di masing-masing propinsi di Sumatera yaitu : 1) Aceh (Sdr. Dede/WWF Indonesia dan Chairul/CI); 2) Sumatera Utara (Redo/OCSP dan Susilo S/YEL-Pan Eco); 3) Sumatera Barat (Arzinis Arbain/Universitas Andalas); 4) Riau dan Kep. Riau (Raflis/Kabut Riau); 5) Jambi dan Bengkulu (Rachmat Hidayat/WARSI dan Dolly Priatna/ZSL); 6) Sumatera Selatan/WBH); 7) Lampung (Rini/Watala). Untuk Bangka Belitung untuk sementara tidak ada perwakilan.
4. Setiap perwakilan forum di tingkat propinsi bertanggung jawab untuk mensosialioasikan tentang ”Forum Penataan Rung Pulau Sumatera Berbasis Ekosistim” ke seluruh LSM terkait di masing-masing propinsi serta mengajak LSM-LSM tersebut untuk bergabung ke dalam forum.
5. Forum memliki 2 agenda utama yaitu; 1. Jangka pendek, memberikan masukan terhadap revisi ”Penataan Ruang Pulau Sumatera Berbasis Ekosistim” dan masukan ini harus sudah diberikan ke tim nasional revisi tata ruang pulau paling lambat bulan Oktober 2008; 2) Jangka Panjang; melakukan ’intervensi’ tehadap revisi tata ruang propinsi dan kabupaten/kota yang mengacu kepada Penataan Ruang Pulau Sumatera Berbasis Ekosistim yang sudah direvisi serta melakukan ’pengawalan’ impelemntasi tata ruang propinsi dan kabupaten/kota..
6.Untuk mewndukung kerja forum, diputuskan bahwa Sdr. Chairul Saleh ditunjuk sebagai moderator komunikasi internal forum dengan melalui ’mailing list’ forum tersebut.
7. Dalam rangka mempersiapkan bahan untuk kebutuhan intervensi, ditetapkan WWF Indonesia sebagai ‘dapur’ data spasial untuk dianalisis guna melengkapi masukan terhadap daraft Penataan Ruang Pulau Sumatera Berbasis Ekosistim.. Seluruh peserta sepakat untuk “sharing” data spasial yang sudah dianalisis untuk digabungkan menjadi sebuah usulan “spatial planning’ yang mengakomodasi kebutuhan pelindungan kenaekargaman hayati serta pembangunan berkelanjutuan. Peserta diskusi juga menetapkan Sdr. Thomas Barano sebagai pengolah data spasial di ‘dapur’.
8. Data akan dikumpulakan mulai tanggal 2 – 25 Agustus 2008 dan tanggal 26 - 27 Agustus 2008 akan dilakukan pertemuan forum di Universitas Andalas untuk membahas hasil kompilasi dan analisis data. Pak Ardinis Arbain dari Universitas Andalas bersedia menjadi ‘host’ pertemuan tersebut.
9. TOR dan Agenda pertemuan tanggal 26-27 Agustus 2008 akan disusun oleh WWF Indonesia dan akan didistribusikan ke seluruh anggota forum sebelum tanggal 11 Agustus 2008 untuk mendapatkan masukan.

Read More......

20 Agustus, 2008

Rapat Keluarga Monyet


Melihat Konversi lahan skala besar yang dilakukan atas nama investasi, empat ekor monyet dalam sebuah keluarga yang terdiri dari Papa monyet, mama monyet dan 2 ekoanak monyet mengadakan pertemuan untuk membahas masalah ini

Anak monyet : kok rumah kita dihancurin sih pa?

Papa monyet : rumah kita mau diganti dengan rumah baru yang lebih modern, menurut info sih mau diganti menjadi perkebunan kelapa sawit dan kebun akasia

Mama monyet : terus apakah rumah baru nanti kita bayar atau dapat gratis pa?

Papa monyet :dengan bijaksana menjelaskan: rumah baru nanti kita bayar nyicil bu kredit gitu loh dengan Bank, tadi papa dapat info dari perusahaan bahwa rumah baru (perkebunan sawit dan kebun akasia) nanti akan lebih modren dan kita bisa hidup berdampingan dengan manusia ini semua diatur oleh traktat HCVF dan RSPO dimana manusia tidak akan mengganggu kita dan kita bisa berdampingan dengan harmonis dengan kita.

mama monyet : Kabarnya sekarang ada aturan baru lagi untuk rumah kita lebih ditegaskan dalam UU no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang yang akan diikuti dengan keluarnya 16 PP yang mengatur tata laksana UU baru itu.

Papa monyet : Papa juga dengar bahwa PP no 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sudah disyahkan, dan disana kabarnya sudah dijelaskan dimana kita boleh membangun rumah dan dimana rumah untuk manusia, bahkan papa dengar juga perpres tentang rencana tata ruang pulau sumatra sedang dibahas di BKTRN, yang kemudian akan diikuti dengan rencana tata ruang provinsi dan kabupaten.

Mama monyet : BKTRN itu apa sih pa?

Papa monyet : BKTRN itu singkatan dari Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional yang bertugas untuk membagi bagi rumah untuk kita atau untuk manusia dan ditingkatan provinsi ada yang namanyan BKPRD (Badan Koordinasi Tata Ruang Wilayah Provinsi.

Mama monyet: emangnya bener seperti itu, apakah manusia-manusia itu sudah berunding dengan kita? terus traktat tadi (HCFV dan RSPO) bener-bener bisa melindungi kita. lah UU untuk melindungi manusia masih dilanggar oleh manusia apalagi UU untuk bangsa kita. terus jika terjadi sesuatu kepada siapa kita mengadu??

Anak-anak monyet: lapar....lapaaaaaaaaaarrr kami lapaarrrrrrrrrrr

Papa dan Mama monyet: sabar sayang untuk sementara kita mengungsi dulu sampai rumah baru kita selesai.

akhirnya diskusi selesai keluarga monyet memandang rumah mereka untuk terakhir kalinya sebelum pergi mencari hutan baru.

Read More......

18 Agustus, 2008

Para Bupati Diminta Tidak Sembarangan Menerbitkan Izin Penggunaan Areal Hutan

Para Bupati diminta tidak sembarangan menerbitkan izin penggunaan areal hutan, apa lagi dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Penerbitan izin kawasan hutan yang melanggar rencana tata ruang wilayah merupakan tindakan pidana.

Hal tersebut disampaikan Sabtu 10 Mei 2008 oleh Forum Hutan Aceh (FoNA) di Banda Aceh. Terkait dengan ramainya investasi di Aceh yang eksplorasinya diperkirakan akan bersinggungan dengan kawasan hutan lindung. Salah satunya adalah izin eksplorasi PT. ARA PET ARON yang dikeluarkan oleh Bupati Kabupaten Aceh Timur, seperti yang diumumkan oleh Komisi Penilaian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Amdalda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Nomor 08/V/AMDAL/2008.

Afrizal Akmal, Koordinator Eksekutif Forum Hutan Aceh (FoNA), menegaskan bahwa penggunaan kawasan hutan harus mengikuti ketentuan rencana umum tata ruang wilayah yag telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang.

Komisi Penilaian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Amdalda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam harus serius mengkaji perusahaan yang melakukan aktivitas didalam kawasan hutan.

Akmal juga menyebutkan bahwa Pemerintah tidak boleh memproses permohonan pelepasan kawasan hutan jika tidak sesuai dengan tata ruang yang telah ditetapkan pemerintah daerah. Peralihan fungsi hutan yang tidak sesuai perencanaan bisa membahayakan ekologi dan juga akan berdampak buruk bagi dampak sosial maupun ekonomi terhadap kehidupan manusia dimasa depan.

Penetapan tata ruang diatur dalam Undang-Undang, Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan tata ruang. Jadi pelanggaran tata ruang itu bisa dipidana, kata Akmal.

PT. ARA PET ARON merencanakan akan melakukan kegiatan penambangan timah hitam di Kabupaten Aceh Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan kuasa penambangan eksplorasi seluas 10.000 hektar dengan perkiraan produksi timah hitam 300.000 ton/tahun. 390 hektar masuk dalam kawasan hutan lindung gunung Sembuang, 6.100 hektar berada pada kawasan hutan produksi terbatas sementara (HPTS), 400 hektar memasuki lahan pemukiman dan tegalan serta 600 hektar masuk dalam kebun campuran/ladang.


Read More......

Pemanasan Global dan Penataan Ruang

PEMANASAN GLOBAL
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.

Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.

Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.

• Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.

• Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih 'buram' apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.

• Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.

• Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang
Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :
• globalisasi ekonomi dan implikasinya,
• otonomi daerah dan implikasinya,
• penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
• pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
• pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
• daur ulang hidrologi,
• penanganan land subsidence,
• pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
• pemanasan global dan berbagai dampaknya.

Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat PapuaUntuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada Lampiran).Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :

• sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250 km).

• beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar.

• Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan Sulawesi bagian Selatan.

• Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang.
Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut :

• Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.

• Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.

• Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip "working with nature".
http://aldyzone.blogspot.com/2008/03/pemanasan-global-pemanasan-global.html

Read More......

Pentingnya pengelolaan Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil

Sumberdaya pesisir dan lautan, merupakan salah satu modal dasar pembangunan Banten saat ini, disamping sumberdaya alam darat. Tetapi sumberdaya alam darat seperti minyak dan gas bumi serta mineral-mineral tertentu, semakin berkurang akibat eksploitasi yang berlangsung sejak lama.

Melihat keterbatasan sumberdaya alam darat, sudah saatnya melirik dan memanfaatkan potensi sumberdaya lautan. Didalam lautan terkandung sumber pangan yang sangat besar yakni ikan dan rumput laut. Sumberdaya laut lainnya adalah bahan tambang lepas pantai yang berperan penting untuk menyuplai energi, serta masih banyak lagi potensi sumberdaya hayati dan non hayati laut lainnya sehingga peranan sumberdaya pesisir dan laut semakin penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.

Propinsi Banten yang terdiri dari 4 kabupaten dan 2 kota, mempunyai 78 pulau-pulau (termasuk Kep.Seribu di Kab. Tangerang), diperkirakan 1/3 bagian wilayahnya terdiri dari lautan dengan luas perairan Propinsi Banten sekitar 11.134,224 km2 dengan panjang pantai sekitar 501 km.



Posisi garis pantai Banten dapat digambarkan sebagai berikut : bagian barat yang menghadap Selat Sunda adalah Kabupaten Pandeglang dengan panjang pantai sekitar 182,8 km, dan yang menghadap Samudera Indonesia sekitar 47,2 km, Kabupaten Serang dengan panjang pantai sekitar 75 km menghadap Laut Jawa dan sekitar 45 km menghadap Selat Sunda, Kabupaten Lebak yang memiliki panjang pantai sekitar 75 km menghadap Samudera Indonesia, Kabupaten Tangerang mempunyai panjang pantai 51 km yang menghadap Laut Jawa dan Kota Cilegon mempunyai panjang pantai sekitar 25 km menghadap Selat Sunda sedangkan satu kota yaitu Kota Tangerang yang tidak mempunyai panjang pantai.

Kekayaan alam kelautan dan sumberdaya pesisir yang dimiliki Banten tersebut antara lain berupa sumberdaya perikanan, sumberdaya hayati seperti mangrove (hutan bakau), terumbu karang, padang lamun, serta sumberdaya mineral seperti minyak bumi dan gas alam (yang masih dalam penelitian) termasuk bahan tambang lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Disamping itu, kini banyak terungkap bahwa wilayah lautan Propinsi Banten memiliki harta karun yang melimpah di dasar laut akibat kapal-kapal pelayaran niaga yang karam pada masa lalu, selain itu juga wilayah pesisir memiliki potensi keindahan dan kenyamanan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata.

Dengan karakteristik wilayah pesisir seperti di atas, maka pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal dan berkesinambungan hanya dapat terwujud jika pengelolaannya dilakukan secara terpadu, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan serta pendekatan pembangunnan secara hati-hati.
Pada sisi lain, luasnya sumberdaya lautan dan pesisir menimbulkan permasalahan, berupa ketidak terpaduan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir. Pada skala tertentu hal ini dapat menyebabkan / memicu konflik antar kepentingan sektor, swasta dan masyarakat. Kegiatan yang tidak terpadu itu selain kurang bersinergi juga sering saling mengganggu dan merugikan antar kepentingan, seperti kegiatan industri yang polutif dengan kegiatan budidaya perikanan yang berdampingan.

Permasalahan lain yang merupakan permasalahan klasik meliputi keterbatasan sumber dana pembangunan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kemiskinan masyarakat pesisir, kurangnya koordinasi antar pelaku pembangunan dan lemahnya penegakan hukum. Untuk mengatasi permasalahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir diperlukan prinsip penataan ruang secara terpadu, termasuk tata ruang pesisir dan lautan.

Prinsip-prinsip penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil

1. Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan

Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunnan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya.

2. Kompensasi

Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.

3. Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Undang-Undang No.22/1999 tentang pemerintah daerah memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua bidang.

Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku secara umum.

4. Penentuan Zona Preservasi, Konservasi dan Pemanfaatan Intensif

Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif. Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan konservasi sebagai berikut :

- Zona preservasi adalah zona yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik baik itu rekreasi, ekonomi, estetika maupun daerah proteksi banjir, namun daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan pembangunan yang dapat merusak ekosistem. Termasuk didalamnya mangrove, rawa yang produktif dan bernilai bagi masyarakat pesisir.

- Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun, daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang kecil.

- Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat kritis untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona preservasi dan daerah pemanfaatan intensif.

5. Penentuan Sektor Unggulan

Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll.

6. Penentuan Struktur Tata Ruang

Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap perubahan bentang alam, dll.

7. Tata Ruang Sistem Wilayah Aliran Sungai

Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam sistem wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan lingkungan bagi pengembangan sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada zona preservasi di wilayah pesisir.

8. Jarak antar Zona Preservasi dengan Eksternalitas Negatif

Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang mengeluarkan eksternalitas negatif ( pencemaran, sedimen, dlll.) ditentukan berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya, yaitu :

St = Vt x t
St = Jarak tempuh pencemardari sumbernya
Vt = Kecepatan sebar pencemar
t = Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut

9. Musyawarah dan Hak Adat/ Tradisional

Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya. Penataan ruang juga memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem tatanan sosial setempat.

Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu.
Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu :

- Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku pembangunnan di dalam penyusunan rencana
- Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada tingkat makro
- Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh semua pelaku pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas)
- Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum
- Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi.

Pemerintah, dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya bukan hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut peranannya sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga perencanaan dapat lebih didekatkan kepada masyarakat ataupun pelaku pembangunan.***
sumber: jchkumaat.wordpress.com


Diposting oleh LANSKAP di 21:45


Read More......

17 Agustus, 2008

Kajian UU rencana tata ruang

Penataan ruang
"Semarang kaline banjir..."Semarang ga afdal kalo enggak banjir
Ketika banjir datang sebagai persoalan, tudingan kerap terarah pada penataan ruang yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dalam Undang-Undang Penataan Ruang, penataan ruang didefinisikan sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Perencanaan tata ruang pada dasarnya mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya.

Kebutuhan akan penataan ruang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari kian banyaknya masalah yang timbul dalam pembangunan. Perkembangan pesat di berbagai sektor perlu diakomodasikan dalam ruang, sehingga pembangunan yang terarah lokasinya diharapkan memberikan hasil yang lebih besar dan lebih baik bagi wilayah secara keseluruhan.

Dalam kaitan dengan tingkatan wilayah, penataan ruang dibedakan atas rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana rata ruang wilayah kabupaten/kota. Semarang sendiri sampai kini belum menggunakan rencana yang pasti.

Walau kemudian rencana induk sudah tersusun, proses pertumbuhan dan perkembangan kota secara nyata tidak selalu berjalan seperti yang direncanakan itu. Rencana kerap hanya sekadar keinginan di atas kertas, dan kenyataan di lapangan tetap berjalan "sekehendak hatinya" sendiri.

Kemampuan pemerintah kota menyediakan prasarana dan sarana, tidak sanggup mengimbangi migrasi penduduk ke Jakarta, misalnya. Maka, timbullah berbagai masalah kota, baik kemacetan lalu lintas, penyediaan perumahan, masalah sampah, maupun penanganan banjir yang bagaikan tak ada kata "selesai"

Hanya saja, segala masalah yang kini membebani Semarang tidak serta-merta dapat digunakan untuk menyatakan bahwa telah terjadi kesalahan dalam perencanaan kota. Memang untuk sebuah rencana tak ada kata "salah" atau "benar"

Jika ada kesalahan, itu mungkin karena ketiadaan sanksi hukum untuk pelanggaran, atau kenyataan di lapangan yang bertentangan dengan perencanaan kota yang dibuat. Terjadinya perubahan fisik kota yang tak sesuai rencana dilakukan secara sadar karena diizinkan oleh pengelola kota.


Hal menarik memang,
Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.

Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.

Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :

* globalisasi ekonomi dan implikasinya,
* otonomi daerah dan implikasinya,
* penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
* pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
* pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
* daur ulang hidrologi,
* penanganan land subsidence,
* pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
* pemanasan global dan berbagai dampaknya.

Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua

Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada Lampiran).

Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).

Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :

* sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250 km).
* beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar.
* Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan Sulawesi bagian Selatan.
* Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang.

Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.

Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut :

* Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
* Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
* Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip "working with nature".

Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.

Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis - perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.

Apakah Mahasiswa akan Berdiam diri Saja ????

silakan liat sendiri dan renungkan dalam hati kita ......

http://politikbemundip.blogspot.com/2008/04/kajian-uu-rencana-tata-ruang-dan-kota.html





Read More......

Proyek PLTU Tangerang salahi Tata Ruang

Jakarta, myRM News. Proyek pembangunan Pembangkit Listrik tenaga Uap (PLTU) yang ada di Desa Lontar, Kec. Kemiri, Kab. Tangerang senilai Rp. 8 Trilyun dinilai bermasalah. pasalnya proyek tersebut dinilai melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini dibenarkan ketua komisi D DPRD Kab. Tangerang, Syarifullah.

Syarifullah mengungkapkan, Ijin Pemanfaatan Ruang (IPR) untuk pembangunan proyek tersebut sudah keluar tahun 2006 lalu. padahal RTRW-nya ketika itu masih dalam pembahasan. "mestinya, IPR dikeluarkan setelah pembahasan RTRW selesai. ini malah kebalikannya" kata Syarifullah, Selasa (4/3).

Politisi asal PKS ini menambahkan, berdasarkan RTRW sebelumnya, lokasi proyek tersebut merupakan lahan pengairan untuk pertanian, bahkan lahan itu milik Perhutani. Karena itu ia berencana menanyakan hal ini ke Pemkab Tangerang.

Wakil Ketua DPRD Kab. Tangerang, Arif Wahyudi menyayangkan sikap Pemkab yang terburu-buru mengeluarkan ijin proyek. Rencananya, DPRD berencana memanggil Bupati Ismet Iskandar untuk meminta penjelasan. "Hampir semua pejabat yang terkait dengan proyek ini telah kami mintai keterangan, yang belum tinggal Bupati" kata Arif.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) saat ini tengah membangun PLTU berkapasitas 3x300 megawatt di Desa Lontar, Kemiri, Tangerang. Pembangunan ini bertujuan untuk percepatan Diversifikasi Energi yang dilaksanakan di 3 Daerah yaitu PLTU Kemiri, Suralaya, dan Labuan.

Awalnya PLTU akan dibangun di Kec. Teluknaga, Tangerang. Namun berdasarkan hasil presentasi tanggal 17 Juli 2007 lalu, disepakati ada perubahan lokasi dan kapasitas terpasang untuk Kab. Tangerang. Sesuai rencana, lahan yang dipakai untuk proyek ini seluas 103 hektar, sedangkan dana yang dipakai dianmbil dari APBN senilai Rp. 8 Trilyun.


sumber:
www.myrmnews.com




Read More......

Jakarta Kebanjiran

Lagi-lagi banjir menggenangi Ibu Kota Jakarta. Masalah yang muncul ga berbeda dengan banjir-banjir sebelumnya, malah semakin bertambah. Dari mulai kemacetan lalu lintas, akses jalan terputus sampai mbolosnya para karyawan dan pegawai negeri dari perusahaan dan instansi tempat mereka bekerja. Alasannya cukup konkrit, jalanan banjir!!.

Jakarta memang kota metropolitan, tapi responnya terhadap banjir akhir-akhir ini kok ndeso banget. Joke pun mulai bermunculan, mulai dari mobil FOKE sampai kepada pengharusan penerapan PERPRES No.36/2005 oleh WAPRES JK. Di salah satu media cetak online FOKE sempat mengutarakan kegagahannya menggunakan mobil sekelas STRADA. Sakit!!!
Tahun demi tahun wilayah sebaran banjir di DKI Jakarta makin meluas. Warga perumahan megah sudah tidak dapat lagi tidur dengan nyenyak ketika hujan turun terus menerus mengguyur kawasannya. Perasaan was-was sambil mengemas-ngemaspun dilakukan. Maklum "warga baru" daerah banjir!!!.

Sepertinya kita sudah lupa dengan pelajaran IPA saat disekolah dasar tentang sifat dan karakter air. Sehingga kita tidak pernah menolak kebijakan-kebijakan pemerintah yang bisa "mendatangkan air" ke rumah-rumah kita.

Alih fungsi lahan dan mudahnya izin pendirian bangunan di DKI Jakarta berimplikasi semakin minimmnya kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai kawasan resapan air dan parkir air. Padahal dalam master plan DKI Jakarta tahun 1965-1985 Ruang Terbuka Hijau masih ada 27,6 persen. Kemudian pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) tahun 1985-2005 pemerintah hanya memproyeksikan RTH 26,1 persen. Dan pada priode ketiga yang dimasukkan dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta tahun 2000-2010, DKI Jakarta hanya memproyeksikan RTH 13,49 persen dari seluruh luasan Kota Jakarta. Dan dari data yang dikeluarkan oleh Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota pada tahun 2001 menyatakan bahwa RTH di DKI Jakarta hanya mencapai 9 persen.

Konversi lahan RTH di DKI Jakarta berupa Hutan Kota, Taman kota dan cagar buah justru terjadi setelah keluarnya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan. Dimana dalam peraturan ini menyatakan bahwa setiap kota harus mengalokasikan Ruang Terbuka Hijau sebesar 40-60 persen dari seluruh luasan kota. Dari periodeisasi pengelolaan ruang/lahan, dapat diketahui bahwa percepatan revisi RUTR tahun 1985-2005 menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta tahun 2000-2010 merupakan bentuk legitimasi pemerintah untuk melakukan pemutihan dan alih fungsi lahan RTH menjadi kawasan komersil. Dari data yang ada dapat diperkirakan bahwa disepanjang tahun 1990 hingga tahun 1997 telah terjadi ekploitasi besar-besaran RTH. Dan mengalami peningkatan tajam disepanjang tahun 1999-2006. Alih fungsi lahan yang tampak kasat mata adalah pembangunan apartemen dan pusat-pusat perbelanjaan di kawasan selatan dan timur Jakarta. Padahal sesuai dengan Perda Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta tahun 2000-2010 menyatakan bahwa kawasan Jakarta Selatan merupakan kawasan konservasi air.

Pada tahun 2006, lebih dari 30 pusat perbelanjaan, apartemen dan perkantoran skala besar dibangun diseluruh Jakarta. Pada periode 2007-2008, diproyeksikan akan dibangun sekitar 80 bangunan sebagai pusat perbelanjaan, apartemen, dan perkantoran baru. Pembangunan gedung-gedung tersebut juga akan menambah beban bagi ekologi karena minimnya lahan yang ada di Jakarta. Dan ditenggarai menyebabkan hilang dan rusaknya banyak situ,danau dan rawa-rawa yang merupakan daerah parkir air.

Konversi lahan basah (wetland) berupa situ (danau kecil) dan kawasan esturia (Hutan Angke Kapuk dan hutan kota di Pademangan) serta di berbagai kawasan di Jakarta menjadi daratan dengan tujuan pemukiman, lapangan golf, kondominium atau sentra bisnis (mall, plaza), telah menghilangkan fungsi kawasan parkir air. Ribuan meter kubik air yang tidak mempunyai tempat parkir, berimplikasi pada terjadinya genangan di mana-mana. Tak pelak lagi, petaka banjir besar terjadi di Jakarta dan sekitarnya.

Minimnya keberpihakan dalam pengelolaan lingkungan hidup telah memicu percepatan bencana ekologis di DKI Jakarta. Hutan Angke Kapuk misalnya sebelum dikonversi menjadi daratan merupakan rawa-rawa hutan bakau dengan kedalaman air rata-rata 0,8 m. Dengan luas rawa alami 1.140,13 Ha atau seluas 11.401.300 M2 maka rawa-rawa tersebut mampu menampung air hingga 9.121.040 M3. Ketika selesai kawasan yang direklamasi luasnya mencapai 831,63 Ha untuk peruntukan komersil, maka akan dikemanakan 6.653.040 M3 air yang selama ini parkir di kawasan tersebut?. Kerusakan yang terjadi pada situ/danau ditandai dengan adanya pendangkalan situ, pengurukan situ dan alih fungsi situ. Sekitar 80 persen situ yang tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi diketahui mengalami kerusakan. Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup, ada 205 situ di Jabodetabek mengalami kerusakan. Dari jumlah tersebut, 115 diantaranya dalam kondisi kritis dan dan sisanya rusak sedang.
Banjir dan kekeringan di Jakarta telah menjadi bagian dari kehidupan bagi rakyat Jakarta, akan tetapi sampai kapan rakyat akan terus menderita dan akan mampu bertahan dengan kondisi seperti ini. Bila melihat data dan fakta yang ada jelas-jelas bahwa banjir yang terjadi di Jakarta merupakan murni bencana ekologis. Bencana yang terjadi akibat keserakahan dan salah urusnya sumber daya alam yang ada di kota Jakarta maupun dikawasan peyangggah Jakarta.


Tegal Parang, 3 Februari 2008 00.33 WIB


Beruang Bangor
http://bencanaindonesia.blogspot.com/2008/03/jakarta-kebanjiran.html

Read More......

Lansekap, sustainable Development dan MDGs

I.Pengertian Lansekap, sustainable development, dan millenium Development Goals

Menurut Zonneveld (1979) lansekap adalah ruang yang terdapat di permukaan bumi yang terdiri dari sistem yang kompleks, terbentuk dari aktifitas batuan, air, udara, tumbuhan, hewan, dan manusia serta melalui fisiognominya membentuk suatu kesatuan yang dapat dikenali (diidentifikasi). Sedangkan Menurut Forman & Godron lansekap adalah Suatu lahan heterogen dengan luasan tertentu yang terdiri dari sekelompok/kumpulan (cluster) ekosistem yang saling berinteraksi; kumpulan tersebut dapat ditemukan secara berulang dalam suatu wilayah dengan bentuk yang sama Didalam bahasa inggris tua dan ke-sinoniman batasan kata "landscape" mempunyai arti Wilayah/Region. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa lansekap adalah Kesatuan wilayah di permukaan bumi yang terdiri dari kesatuan ekosistem yang saling berinteraksi(batuan, air, udara, tumbuhan, hewan, dan manusia).

Sustainable Development adalah proses pembangunan yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (Brundtland Report dari PBB, 1987). Dengan kata lain pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep untuk membangun kebuuhan ekonomi tanpa mengorbankan kepentingan lingkungan dan keadilan sosial. Dengan konsep tersebut maka pembangunan yang tidak hanya berpihak pada satu kepentingan saja, tetapi mengintegrasikan kepentingan ekonomi, lingkungan dan sosial untuk mencapai kesejahteraan saat ini dan yang akan datang.

Millenium Development Goals (MDGs)adalah tujuan pembangunan yang harus dicapai pada tahun 2015. Tujuan dari MDGs adalah bahwa negara-negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa berikrar bahwa pada tahun 2015 akan:
1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan.
2. Mewujudkan pendidikan dasar bagi semua.
3. Mendorong kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan.
4. Mengurangi tingkat kematian Anak.
5. Meningkatkan kesehatan Ibu.
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain.
7. Menjamin kelestarian lingkungan.
8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.


II.Keterkaitan antara Perencanaan Tata Ruang, Perencanaan Lansekap, sustainable development, dan millenium Development Goals
Perencanaan lansekap adalah cara - cara atau langkah yang dilakukan secara sistematik untuk mencapai sasaran atau tujuan untuk mencapai lanskap yang ideal, yaitu menciptakan lansekap yang multi fungsi, yang mampu menyediakan dan memelihara kondisi yang diperlukan untuk berbagai kepentingan (tujuan) baik untuk manusia maupun mahluk hidup lain dan terciptanya keberlanjutan ekosistem di dalam wilayah tersebut.

Perencanaan Lansekap menjadi penting karena perencanaan lansekap mengkaji keberlanjutan dari tataguna lahan saat ini dan yang diusulkan dalam hubungannya dengan kapasitas lingkungan dan karakter lansekapnya. Perubahan bentuk lansekap akan berpengaruh dan dipengaruhi oleh aspek – aspek sosial, budaya, ekonomi maupun lingkungan. Misalnya saja kebutuhan ekonomi akan menyebabkan perubahan bentuk lansekap yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketersediaan lahan dan air.

Perencanaan lansekap berifat spasial atau spesifik misalnya perencanaan untuk lansekap pertanian akan berbeda dengan lansekap perkotaan. Hal ini terkait pendekatan ekosistem dalam pekotaan dan pedesaan yang dianggap sehingga perencanaannya tidak bisa disamakan.
Perencanaan lansekap bersifat holistik karena dalam perencanaannya harus mengintegrasikan aspek sosial, budaya, ekonomi, lingkungan dan estetika. Menurut Nohl (1997),apabila faktor sosial dan emosi tidak diintegrasikan dalam perencanaan lansekap, maka sasaran yang akan tercapai tidak akan lebih dari "setengah jalan". .

Kemampuan perencanaan lansekap dalam mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan, bahwa perencanaan lansekap mampu melakukan pengelolaan sumbar daya lahan secara berkelanjutan. Dengan terciptanya keberlanjutan pembangunan dalam perencanaan lansekap maka diharapkan MDGs akan tercapai terutama dengan salah satu tujuannya yaitu tercapainya jaminan pembangunan lingkungan hidup pada tahun 2015.

Perencanaan tata ruang memiliki arti sebagai perencanaan alokasi pemanfaatan ruang/wilayah bagi pembangunan. Dari pengertian ini ada dua kata kunci yang dan dapat menjelaskan keterkaitan antara perencanaan tata ruang, perencanaan lansekap, sustainable development serta MDGs. Kata kunci tersebut adalah pemanfaatan ruang dan pembangunan.
Dari pengertian tentang Perencanaan lansekap diatas maka dapat disimpulkan bahwa perencanaan tata ruang dan lansekap sama- sama mengatur suatu wilayah atau ruang untuk mencapai sasaran tertentu. Tetapi perencanaan lansekap sifatnya spasial dan spesifik maka perencaaan lansekap dapat dijadikan instrumen atau analisis dalam perencanaan tata ruang wilayah yang lebih luas.

Dengan menggunakan analisis perencanaan lansekap maka diharapkan akan tercipta perancanaan tata ruang yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan. Denngan terciptanya penataan ruang yang baik maka akan tercipta pula pembangunan berkelanjutan dan MDGs.

dari berbagai sumber
http://ariadarma.blogspot.com/2008/05/lansekap-sustainable-development-dan.html




Read More......

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]