28 September, 2007

Menhut: 59,3 Juta Hektare Hutan Indonesia Rusak dan Kritis

[Sumber : republika.co.id 09/08/07]
http://penataanruang.pu.go.id/BERITA/file/20070809_republika_hutan.htm

Sibolga, Sumut-RoL-- Menteri Kehutanan MS Kaban mengatakan sumber daya hutan Indonesia terus tergederasi dimana kerusakan hutan sejak tahun 2000 hingga 2005 tercatat mencapai 1,08 juta hektare pertahun yang mengakibatkan luasan hutan kritis terus bertambah.

"Kerusakan itu hingga kini telah mencapai 59,3 juta hektare dan hutan-hutan yang berada dalam kondisi kritis itu tersebar di seluruh pelosok tanah air," katanya di sela pelantikan 269 siswa baru SMA Negeri I Plus Matauli Pandan, di Sibolga, Sumatera Utara, Kamis.



Turut hadir dalam acara itu mantan Ketua DPR RI Akbar Tandjung, Kepala Dinas Kehutanan Sumut JB Siringoringo beserta unsur muspida Kota Sibolga.

Padahal, kata Kaban, selama tiga dekade terakhir kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan nasional menunjukkan angka yang cukup signifikan

Namun akibat pengelolaan yang tidak mengindahkan kaidah kelestarian dan pemanfaatan sumber daya yang berlebihan mengakibatkan kerusakan yang sangat memprihatinkan.

Untuk memperbaiki hutan dan lahan kritis yang luasnya puluhan juta hektare itu, pihaknya telah mengambil langkah-langkah dengan menggelar operasi hutan lestari.

Kemudian juga memberantas pencurian kayu dan perdagangan kayu ilegal serta menanami lahan-lahan kritis melalui gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) yang telah dicanangkan pada tahun 2003.

Upaya penanaman pohon melalui Gerhan ditargetkan dapat menanam lahan kritis seluas lima juta hektare sampai tahun 2009, pembangunan hutan tanaman industri seluas lima juta hektare hingga tahun 2009 dan hutan tanaman rakyat seluas 5,4 juta hektare sampai tahun 2010, ujarnya.

Sementara Kepala Dinas Kehutanan Sumut JB Siringoringo mengatakan berbagai gerakan yang dicanangkan tersebut merupakan tindakan nyata dalam upaya memperbaiki kualitas lingkungan hidup. "Program Gerhan ditujukan untuk memperbaiki hulu daerah aliran sungai yang telah rusak," katanya.

Perbaikan DAS sangat penting, mengingat berbagai kejadian bencana alam yang terjadi bencana longsor, disebabkan kerusakan pada hulu DAS, selain itu faktor alam juga menjadi penyebab yang menonjol dalam berbagai kejadian bencana alam, ujarnya. antara

Read More......

50% Bangunan Langgar IMB

[Sumber : seputar-indonesia.com | 19/07/07]
http://penataanruang.pu.go.id/BERITA/file/20070719_sindo.htm

BINJAI (SINDO) – Sebanyak 50% bangunan di Kota Binjai menyalahi IMB.Pemilik bangunan tersebut kebanyakan oknum pemerintahan dan instansi pemerintah sendiri.

Kasubdis Pengawasan Tata Kota Binjai Hendri mengatakan, di lapangan pihaknya menemukan dari 600 lebih jenis bangunan milik masyarakat, 300 di antaranya cenderung mencoba menghindar mengurus IMB. Ke-300 pemilik bangunan itu telah diberikan surat penindakan. ”Sampai dengan Juni kemarin, sekitar 300-an bangunan yang kita tindak, di antaranya ada bangunan milik oknum polisi yang kedapatan tidak mempunyai IMB,” ujarnya. Sampai saat ini,pihaknya telah membongkar tiga unit bangunan yang melanggar Perda No 23/1998 tentang Ketentuan Mendirikan Bangunan.



Namun, untuk bangunan yang kita tilang saat ini, baru pada tahap II yang surat bukti pelanggaran yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Tata Kota dan Tahap ”Biasanya pemilik bangunan yang membandel terhadap ketentuan yang ditetapkan Pemko Binjai, maka kita tidak segansegan untuk membongkar paksa bangunan liar itu,”katanya. Sementara itu, pihaknya juga berencana akan mengajukan ketentuan baru sebagai revisi dari Perda Nomor 23/1998.Pasalnya dalam ketentuan tersebut dinilai lemah dan tidak diatur tentang IMB bagi bangunan milik pemerintah dan milik BUMN, dalam hal ini PTPN dan KAI.

Selama ini pihak PTPN dan KAI selalu mendirikan bangunan di atas tanahnya, tetapi tidak pernah memberikan kontribusi berupa pendapatan asli daerah (PAD) kepada Pemko Kota Binjai. Untuk itu,melalui pembahasan perubahan perda nanti diharapkan mampu menarik PAD dari bangunan milik pemerintah. Begitu pula halnya dengan pemasangan papan reklame akan dikenakan IMB dari izin konstruksi bangunannya. ”Kita telah bahas mengenai IMB aset pemerintah dengan sekda dan akan dimasukkan pada perubahan perda. Jadi, dari sana diharapkan dapat membantu meningkatkan PAD,” ujarnya.

Sekretaris Komisi A DPRD Binjai Raiderta Sitepu menilai kinerja Dinas Tata Kota kurang optimal.Sebab,hingga kini perda sudah berubah sebanyak tiga kali.Pihaknya juga meminta Dinas Tata Kota transparan terhadap biaya pengurusan IMB. Dengan begitu, masyarakat sudah mengetahui jumlah biaya dalam mengurus IMB. Selain itu, pihaknya juga meminta agar Dinas Tata Kota segera mengajukan perubahan revisi perda apabila revisi sangat dibutuhkan. ”Kalau memang perda yang membuat terhambatnya kinerja Dinas Tata Kota, ya silakan diubah.

Tapi kalaupun mau diubah, segera saja mengajukan revisinya kepada DPRD,” katanya. Mengenai biaya mengurus IMB,terang Raiderta,sudah seharusnya instansi terkait menyosialisasikan berapa besar biayanya. Dengan demikian, masyarakat mengetahuinya. ”Karena selama ini, jangankan mengurus IMB, membangun rumah saja mereka sudah kesulitan,” ujarnya lagi. (eko agustyo fb


Read More......

Terjadi Perampasan Ruang Publik

[Sumber : kompas.co.id 28/06/07]
http://penataanruang.pu.go.id/BERITA/file/20070628_kompas.htm
Laporan Wartawan Kompas Ambrosius Harto

SAMARINDA, KOMPAS – Pemanfaatan kawasan yang tidak tepat mengakibatkan kerusakan dan bencana alam. Kawasan lindung atau yang ditujukan bagi masyarakat ternyata dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Kondisi itu harus dihentikan.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Abdullah Azwar Anas mengemukakan demikian di sela Sosialisasi Undang-Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang di Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis (28/6).

Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa itu menyontohkan sekitar 700 hektar sawah di Bali tiap tahun beralih fungsi menjadi perhotelan dan industri. Hutan lindung ataupun kawasan resapan air diubah menjadi permukiman seperti di Puncak, Jawa Barat. Akibatnya, Jakarta kebanjiran.


Padahal, keberadaan sawah atau kawasan resapan air penting bagi masyarakat. Ketika kawasan-kawasan tersebut beralih fungsi, Azwar menegaskan dengan berkata, “Terjadi perampasan ruang publik,” katanya.

Menurut Azwar, kondisi tadi terjadi karena lemahnya aturan tentang pemanfaatan ruang. Pemerintah selaku pihak pemberi izin kerap melanggar sendiri rencana pemanfaatan suatu kawasan. ”Dalihnya demi peningkatan PAD (pendapatan asli daerah),” katanya.

Penggunaan kawasan yang melenceng dari rencana jelas merugikan. Apalagi kalau kawasan untuk publik ternyata digunakan untuk kepentingan sekelompok pihak. Kondisi itu harus dihentikan dengan aturan yang ketat.

Azwar mengemukakan bahwa UU Penataan Ruang begitu ketat mengatur norma-
norma perencanaan dan pemanfataan kawasan. Itu dibuktikan dengan keberadaan pasal-pasal yang mencantumkan sanksi berat terhadap pelanggaran tata ruang. Sanksi dijatuhkan kepada masyarakat, pemerintah, atau perusahaan. Sanksi terberat adalah penjara 15 tahun ditambah dengan denda Rp 5 miliar.

Untuk itu, menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Setia Budhy Algamar, penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi, kabupaten, dan kota harus menyesuaikan dengan UU itu. “Untuk provinsi dua tahun, kabupaten dan kota tiga tahun,” kata Setia.

Pemerintah perlu konsisten mengikuti perencanaan yang sudah disusun dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggar. Adapun pemanfaatan ruang berpotensi menimbulkan konflik antardaerah. Konflik bisa diselesaikan di Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional yang sudah terbentuk atau di tingkat daerah yang akan dibentuk.

Ruang Terbuka Hijau
Ketentuan itu juga mengatur bahwa setiap daerah harus menyisakan minimal 30 persen kawasan untuk ruang terbuka hijau (RTH). Keberadaan RTH bisa berupa taman, hutan, dan kawasan lindung.

Daerah yang tak memiliki RTH 30 persen seperti DKI Jakarta, menurut Azwar, berangsur-angsur harus memenuhi. Itu bisa terjadi dengan membebaskan beberapa kawasan untuk dijadikan RTH.

UU itu juga mengatur tentang pemberian insentif dan disinsentif. Misalnya, kalau Jakarta ingin bebas dari banjir, kawasan Puncak di Jawa Barat harus dijaga kelestariannya. Jakarta, menurut Azwar, perlu memberi insentif kepada pemerintah setempat agar kelestarian Puncak terjaga. (BRO)



Read More......

Rencana Tata Ruang Wilayah akan Dipasang di Tiap Kecamatan

[Sumber : republika.co.id | 19/04/07]
http://www.penataanruang.net/BERITA/file/190407_republika.htm

Jakarta-RoL -- Pemerintah akan memasang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di setiap kecamatan sehingga masyarakat dapat ikut mengawasi pelaksanaan tata ruang di daerahnya sehingga kalau terjadi pelanggaran dapat langsung dilaporkan kepada aparat kepolisian.

"Pemasangan RTRW di kecamatan itu wajib hukumnya, apabila tidak dilaksanakan maka aparat bersangkutan dapat kena sanksi," kata Dirjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Hermanto Dardak, di Jakarta, Kamis (19/4).

Dengan demikian masyarakat tahu apa yang akan dibangun di daerahnya karena setiap pembangunan yang dilakukan baik di provinsi/kabupaten/kota harus berdasarkan rencana tata ruang yang disahkan dalam peraturan daerah (perda).


"Masyarakat dapat menuntut untuk dibatalkan izinnya atau dihentikan pembangunannya jika tidak sesuai dengan rencana tata ruang," kata Hermanto.

Selain pembatalan izin dan penghentian pembangunan, masyarakat juga bisa mengajukan gugatan ganti rugi kepada pemerintah maupun swasta jika pembangunan yang tidak sesuai RTR itu menimbulkan kerugian.

Pemberian izin pembangunan sendiri nantinya akan memperhatikan aturan zonasi yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dibangun. Aturan zonasi, jelas Hermanto akan menentukan mana daerah yang menjadi kawasan permukiman, industri maupun kawasan lindung.

Selain masalah sanksi, hal lain yang menonjol diatur dalam UU Penataan yang baru menurut Hermanto diantaranya pemberian kewenangan yang lebih jelas kepada daerah, adanya insentif dan disinsentif, penataan ruang mencakup ruang darat, laut dan udara termasuk yang di dalam bumi, adanya pengaturan kawasan pedesaan dan agropolitan dan lainnya.



Read More......

Pemerintah akan Revisi RUU Tata Ruang Atasi Banjir

[Sumber : antaranew 06/02/07]
http://www.penataanruang.net/BERITA/file/060207_antaranew.htm

Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan merevisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Ruang sebagai langkah jangka menengah mencegah terjadinya banjir terutama di wilayah perkotaan padat penduduk seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Depok, kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto.

"Jika UU itu disahkan maka sanksinya akan sangat berat. Kalau ada situ (danau/telaga-red) yang ditimbun untuk real estate, maka akan mendapatkan sanksi. Bisa juga dibongkar, bisa juga harus bayar denda. Bukan hanya yang memakai yang membayar denda namun juga yang memberi izin," kata Djoko kepada wartawan di Kantor Kepresidenan Jakarta, Senin, setelah menghadiri rapat terbatas dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


Menurut dia, curah hujan yang besar dan pasang purnama merupakan salah satu penyebab banjir besar yang melanda Jakarta sejak akhir pekan lalu.

"Saya tadi mendengar Menristek melaporkan bahwa kala ulang (return period) banjir yang di desain di Jakarta hanya untuk lima tahun, namun banjir kali ini kala ulangnya 30 tahun sehingga curah hujannya sangat besar," katanya.

Selain itu, situ-situ di Bogor banyak yang tertutup, tanaman banyak yang dipotong menjadi villa.

"Kalau ingin mengurangi banjir kita lakukan sebaliknya kita tanam pohon bukan memotong pohon, kita buat situ bukan menutup situ," katanya.

Kalau di perkotaan, lanjut dia, saluran pembuangan yang buntu dan kebiasaan msyarakat untuk membuang sampah tidak pada tempatnya turut memberikan kontribusi pada banjir tahun ini.

Saat ditanya mengenai banjir kanal timur, Djoko mengatakan sekalipun banjir tidak ada yang dapat menjamin namun jika pembangunan banjir kanal timur selesai maka minimal saat terjadi banjir kala ulang 5 tahun, Jakarta tidak akan tergenang banjir.

"Walaupun jika kala ulang 30 tahun mungkin masih akan terjadi banjir," ujarnya.
Pada kesempatan itu dia mengatakan proses pembangunan banjir kanal timur tergantung pada pembebasan tanah.

"Kalau selesai tahun ini, maka 2008 selesai," ujarnya.
Djoko mengatakan adalah tugas pemerintah daerah DKI Jakarta untuk menyelesaikan pembebasan tanah karena pemerintah daerah dapat bersikap lebih tegas.

Saat ini, upaya yang dilakukan untuk mengatasi banjir adalah dengan membuat embung-embung di daerah atas, menghutankan daerah hulu dan menanam pohon.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan bahwa pasca banjir warga Jakarta harus mewaspadai penyakit seperti diare, kolera, disentri, leptospirosis, dan ISPA.

Dia juga mengatakan Departemen Kesehatan telah mempersiapkan cara mengatasi penyakit-penyakit itu dan menerjunkan dokter ke lokasi pengungsian.
Dia juga mengimbau agar masyarakat menjaga kebersihan meskipun tidak mudah menjaga kebersihan di saat banjir.(*)



Read More......

Terjadi 135 Bencana Ekologis di Indonesia Selama 2006

[Sumber : antaranew 08/01/07]
http://www.penataanruang.net/BERITA/file/080107_antaranew.htm

Denpasar (ANTARA News) - Bencana ekologis yang disebabkan oleh kerusakan kawasan hutan dan lingkungan di Indonesia sebanyak 135 kejadian selama 2006.
"Bencana ekologis itu diawali dengan banjir dan tanah longsor di Jember, Jawa Timur pada 1 Januari 2006 dan di penghujung tahun itu ditutup dengan pengungsian lebih dari 70.000 jiwa di Aceh utara akibat banjir dan tanah longsor," kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), Chalid Muhammad, di Sanur, Senin.



Ketika tampil sebagai pembicara dalam seminar berkaitan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), ia mengatakan musibah akibat kerusakan lingkungan di Indonesia dalam lima tahun terakhir meningkat tiga kali lebih besar.

Bencana ekologis yang menimbulkan kerugian besar, baik material maupun korban jiwa, menurut Chalid Muhammad, akibat faktor alam dan kesalahan dalam pengurusan alam.
Kesalahan tersebut membuat 83 persen wilayah Indonesia rawan bencana, serta 90 persen masyarakatnya rentan menjadi korban bencana.

"Tingginya persentase rakyat yang menghadapi risiko bencana tidak disertai dengan tersedianya alat pendeteksian dini, meskipun hal itu baru dirintis di sejumlah pantai di Bali," ujar Chalid Muhammad.

Bencana ekologis yang dihadapi Indonesia secara silih berganti, salah satu penyebabnya adalah eksploitasi hutan secara berlebihan terhadap alam.
"Eksploitasi tersebut baik yang diizinkan oleh negara maupun secara ilegal mengantarkan Indonesia pada kerusakan hutan dan lingkungan hidup yang sangat serius," katanya.

Read More......

Hutan Alam Riau Kini Tinggal 5 Persen

[Sumber : kompas.com 03/01/07]
http://www.penataanruang.net/BERITA/file/030107_kompas.htm

Laporan Wartawan Kompas Andy Riza HidayatMEDAN,
PEKANBARU, KOMPAS - Akibat maraknya perambahan hutan dan alih fungsi lahan, luas hutan alam di Riau diperkirakan tinggal 5 persen. Kondisi hutan ini akan memperburuk banjir di masa-masa mendatang serta menambah ongkos sosial untuk pemulihan pascabanjir.

"Kami perlu segera mempunyai tata ruang berbasis ekosistem, terutama di sekitar daerah aliran sungai. Tata ruang ini harus sinergis dengan daerah sekitar atau antarprovinsi," kata Direktur Pusat Kajian Rona Lingkungan dan Sumber Daya Alam Universitas Riau Tengku Ariful Amri, Selasa (2/1).


Ia menambahkan, sejumlah peraturan tata ruang yang mengatur peruntukan lahan saat ini tidak tepat lagi karena kondisi di lapangan sudah jauh berbeda.

Karena itu, ia mengusulkan revisi atau perubahan atas UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang Nasional maupun Peraturan Daerah Riau Nomor 10 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Riau. Dalam revisi, pelestarian hutan dan alam harus diperhatikan.

Dalam pemantauan Kompas dari pesawat Twin Pack TNI Angkatan Udara Pekanbaru bersama tim Departemen Kehutanan, sebagian hutan lindung Bukit Suligi dan Tanaman Hutan Rakyat di Riau telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, rumah penduduk, dan sebagian ditinggalkan dalam kondisi rusak setelah pohon-pohon ditebangi.

Hutan lindung Bukit Suligi merupakan hulu Sungai Siak. Sungai Siak yang meluap dan menyebabkan banjir di Kota Pekanbaru merupakan satu-satunya sungai di Riau yang berhulu di Provinsi Riau.

Sungai-sungai lain yang melintasi Riau mempunyai hulu di provinsi tetangga, yakni Sungai Kampar dan Sungai Indragiri, yang berhulu di Sumatera Barat, serta Sungai Rokan yang berhulu di Sumatera Utara.

Menteri Kehutanan MS Kaban mengakui adanya perencanaan tata ruang yang tidak sinkron dengan kondisi sebenarnya. Di kawasan hulu sungai, misalnya, tanaman perkebunan lebih banyak. Padahal, seharusnya mempunyai banyak hutan. "Perlu ada program yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah karena bagaimanapun pembangunan di daerah harus tetap terlaksana, tetapi kawasan hutan juga tetap berfungsi," kata Kaban.

Tentang penanganan banjir di Riau, Kaban berjanji mengundang Gubernur Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Riau untuk duduk bersama.

Hutan bakau kritis
Sementara itu, di Lampung kesalahan pengelolaan wilayah menyebabkan sekitar 80 persen dari 270 km hutan bakau di pesisir pantai Timur Lampung rusak.

Demikian diutarakan Kepala Dinas Kehutanan Lampung Arinal Djunaedi di Lampung, Selasa (2/1). Dia mengatakan, dalam lima tahun mendatang, diharapkan hutan bakau yang direhabilitasi mencapai 7.000 hektar.

Hutan bakau yang rusak mulai dari Kabupaten Tulang Bawang melewati Kabupaten Lampung Timur dan berakhir di Kabupaten Lampung Selatan. Rata-rata ketebalannya 100 meter-200 meter.
Untuk itu, dinas kehutanan akan bekerja sama dengan pemerintah kabupaten memperbaiki rencana tata ruang wilayah (RTRW) pesisir timur.

"Supaya perbedaan kepentingan antara ekonomi dan konservasi tetap seimbang," katanya.
Kepala Subdinas Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan Dinas Kehutanan Lampung Guntur Hariyanto mengatakan, selain itu, ditargetkan dalam lima tahun ke depan hutan bakau seluas 7.000 hektar bisa direhabilitasi.

Data Atlas Sumber Daya Wilayah Pesisir Lampung 2002 menyebutkan, luasan hutan bakau 20.000 hektar. Namun, yang tersisa hanya sekitar 2.000 hektar. Rama Zakaria, Direktur Eksekutif Watala Lampung, mengatakan, sebaiknya Dinas Kehutanan Lampung mengajak masyarakat mengonservasi hutan bakau.

Warga selain mengonservasi juga dapat berpenghasilan karena hutan bakau menjadi habitat ikan kecil dan kepiting yang dapat mereka tangkap. (ART/HLN)



Read More......

Rencana Tata Ruang Ancam Hilangkan 3,1 Juta Ha Lahan Sawah

[Sumber : mediaindo.co.id | 27/06/06]
http://www.penataanruang.net/BERITA/file/270606_mediaindo.htm

Penulis: Muhammad Fauzi
BOGOR--MIOL: Departemen Pertanian mendesak dilakukannya perubahan terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten/kota yang ada saat ini.
Desakan perubahan itu didasarkan pada potensi RTRW tersebut memicu peralihan fungsi 3,1 juta hektare dari 7,2 juta ha lahan sawah beririgrasi menjadi lahan non-pertanian.

Menteri Pertanian Anton Apriantono mengatakan hal itu menjawab Media Indonesia usai membuka seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian, di Balitbang Deptan, Bogor, Selasa.



Anton menyebutkan alih fungsi (konversi) lahan pertanian merupakan ancaman utama terhadap pembangunan pertanian di masa yang akan datang, khususnya ketahanan pangan nasional.

Menurut dia, konversi lahan sawah itu dipicu oleh berbagai faktor seperti, rendahnya keuntungan serta daya tarik bertani.

"RTRW provinsi dan kabupaten/kota yang ada saat ini, misalnya menunjukkan bahwa sekitar 3,1 juta ha dari 7,2 ha luas sawah beririgrasi direncanakan beralih fungsi ke lahan non pertanian. Karena itu kami mendesak agar pemprov dan kabupaten/kota meninjau kembali RTRW tersebut," kata Anton.

Untuk itu, katanya, ke depan pihaknya berupaya mencegah laju konversi lahan dengan terlibat aktif dalam perumusan RUU Agraria, misalnya dengan memasukkan klausul izin konversi lahan dengan rekomendasi pemerintah pusat.

Ia mengakui bahwa selama ini sektor pertanian dianggap hanya sebagai penghasil pangan. Sementara fungsinya sebagai pengatur/penyumbang udara sehat bagi lingkungan, sosial budaya, agroturisme, penyedia lapangan kerja dan fungsi ketahanan pangan belum dipahami. "Atau malah diabaikan sebagian besar pemangku kepentingan," katanya.
Menurut dia, konversi lahan pertanian yang dilakukan individual sulit dikendalikan. Sebab didorong kebutuhan individu petani untuk mendapatkan uang atau sebagainya.
"Namun itu jumlahnya kecil. Hal yang bisa dilakukan adalah mencegah konversi lahan secara massal sebagai konsekuensi akselerasi pembangunan ekonomi. Misalnya dengan menegakkan hukum. Selama ini banyak yang melanggar tapi tidak jelas hukumannya," kata Anton.

Anton menegaskan pihaknya bukan menghalangi pembangunan ekonomi, namun ia hanya ingin mengajak pemangku kepentingan untuk berpikir jangka panjang dalam pengelolaan lahan pertanian.

Ia mencontohkan pada saat terjadi krisis ekonomi dan moneter di Indonesia pada 1998, di mana sektor pertanian membuktikan kelenturannya dengan tetap bertahan di tengah keterpurukan ekonomi, sementara tidak dengan sektor industri, yang langsung tergilas oleh krisis itu.

"Penduduk yang bermata pencarian bertani paling tidak terpengaruh oleh krisis tersebut," katanya.(Faw/OL-03)


Read More......

PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM HARUS PERHATIKAN LANSKAP EKOLOGI

[Sumber : antaraNew 02/05/06]
http://www.penataanruang.net/BERITA/file/020506_antaranew.htm

Yogyakarta, (ANTARA News) - Pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan kehidupan manusia harus memperhatikan lanskap ekologi agar tidak menimbulkan kerusakan alam.

"Sebenarnya semua sumber daya alam dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia. Namun yang penting adalah pemanfaatannya tidak menimbulkan kerusakan alam," kata pakar ekologi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ir Muhammad Iftironi MLA di Yogyakarta, Selasa (2/5).


Menurut dia, timbulnya berbagai kerusakan alam seperti tanah longsor, kekeringan, dan banjir sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh perilaku manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam yang tidak sesuai dengan prinsip keteraturan. "Secara alamiah, makhluk hidup dan lingkungan selalu membentuk hubungan timbal balik yang dinamis dalam sebuah ekosistem. Materi dan energi dalam ekosistem mengalami perpindahan yang membentuk suatu siklus," katanya. Ia mengatakan, tanpa adanya campur tangan manusia semua komponen yang ada di alam membentuk suatu keteraturan sehingga mempunyai tingkat kelestarian dan keberlanjutan yang tinggi. "Jika dalam sebuah ekosistem terjadi perubahan pada salah satu komponen tersebut akan menyebabkan perubahan pada komponen yang lain, bahkan siklus atau rantai yang ada mengalami kerusakan.

Kondisi itu jika terjadi dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kerusakan alam," katanya. Ia menambahkan, keragaman ekosistem merupakan karunia yang tinggi dari Sang Pencipta. Karakter lingkungan alam berpengaruh terhadap karakter makhluk hidup yang ada di dalamnya sehingga beragamnya ekosistem menyebabkan karakter makhluk hidup menjadi bermacam-macam. "Itu adalah karunia yang luar biasa karena menjadikan alam memiliki warna yang bermacam-macam. Keanekaragaman itu pula yang menjadikan alam mempunyai berbagai penyangga sehingga tingkat stabilitasnya tinggi," katanya. (*)

Read More......

24 September, 2007

Indonesia Bawa Tujuh Agenda dalam Konferensi UNFCCC

[Sumber : republika.co.id | 10/09/07]
http://penataanruang.pu.go.id/BERITA/file/20070910_republika.htm

Jakarta-RoL-- Indonesia yang akan menjadi tuan rumah konferensi ke-13 Negara Pihak dari Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (Conference of Parties of the United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) akan membawa tujuh agenda dalam pertemuan tersebut.

"Yang jelas ada tujuh point yang akan dibicarakan di UNFCC yaitu mengenai adaptasi, migitasi, CDM (Clean Development Mechanism), mekanisme finansial, pengembangan teknologi dan kapasitas, pengurangan deforestasi (perusakan hutan), serta pasca 2012 atau pasca Kyoto Protocol," kata Editor Review dari laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change)WG2 Daniel Murdiyarso di Jakarta, Senin. Menurut dia, sudah saatnya para pembuat kebijakan mengagendakan masalah adaptasi terhadap perubahan iklim yang sudah terjadi kepada masing-masing warganya.

"Setelah melakukan proses adaptasi, kita harus melakukan sebuah mekanisme mitigasi yang merupakan respon ataupun penanggulangan pada masalah perubahan iklim itu," kata dia. Ia menganalogikan proses adaptasi dan mitigasi itu dalam sebuah gambar mengenai seorang pengendara mobil yang bersiap-siap menjalankan kendaraannya.

"Memakai sabuk pengaman adalah proses adaptasi dari pengendara itu terhadap kondisi jalan, dan mengendalikan kendaraan dengan mengatur kopling ataupun gas serta rem adalah proses mitigasi pengendara mobil itu," ujar dia. Pembicaraan mengenai pengembangan teknologi dan kapasitas, ujarnya dalam konferensi tersebut bertujuan agar negara-negara maju yang dapat mengembangkan teknologi ramah lingkungan dapat mentransfer teknologi itu kepada negara berkembang lainnya.

"Negara-negara peserta konferensi UNFCC yang mampu mengembangkan teknologi ataupun memberi bantuan pengembangan kapasitas berkewajiban untuk mendistribusikannya," kata dia. Tetapi tentu, lanjutnya, ada mekanisme untuk melakukan hal tersebut, karena untuk melakukannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

"Mekanisme pendistribusian teknologi termasuk peningkatan kapasitas itu kemudian akan dilihat dan dianalisis oleh sebuah "expert group" atau kelompok ahli agar benar-benar efektif untuk mengatasi masalah perubahan iklim itu," kata dia. Yang paling penting adalah, ujarnya, bukan hanya pada agenda pembicaraan itu, tetapi bagaimana menyampaikan isi pembicaraan itu kepada forum UNFCC.

"Posisi politis Indonesia harus benar-benar disampaikan kepada UNFCC dengan tenggat waktu tertentu," ucapnya. Sesudah disampaikan, ucap dia, tentu saja harus terus diperjuangkan sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditentukan. "Semua negara peserta konferensi UNFCC yang berjumlah 180 itu hrus sama-sama memiliki prinsip konvensi. Artinya semua punya tanggung jawab yang berbeda-beda atau dengan kata lain ada keseimbangan ('burden sharing')," tambahnya.

Konferensi UNFCC itu akan diadakan di Bali pada tanggal dua hingga 14 Desember 2007 mendatang yang juga diikuti oleh berbagai pengamat dari organisasi pemerintah ataupun nonpemerintah serta media. Pertemuan tingkat menteri rencananya akan diadakan pada minggu kedua dari konferensi tersebut yang akan menutup seluruh konferensi UNFCC itu. antara/mim


Read More......

Penghancuran Lingkungan Berlanjut

[Sumber : kompas.co.id | 24/09/07]

Jakarta, Kompas - Ancaman pemanasan global telah menjadi isu internasional, tetapi di Indonesia penghancuran lingkungan terus terjadi. Perambahan hutan dan perusakan ekosistem pesisir terus berlanjut, sementara reboisasi yang dilakukan berjalan sangat lambat.

Pemantauan Kompas di sejumlah daerah dalam sepekan terakhir menunjukkan, di Kalimantan Timur, misalnya, perambahan hutan sangat mencolok di Taman Nasional Kutai, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Ratusan orang menebangi hutan, meratakan tanah, dan kemudian membakar serasahnya dengan alasan untuk perladangan.


Di Kalimantan Barat, Cagar Alam Mandor yang sebelumnya sudah rusak parah akibat perambahan kini makin hancur akibat penambangan emas tanpa izin. Di kawasan itu setidaknya ada 12 kelompok penambang yang setiap hari melubangi tanah dan melarutkan air raksa untuk proses penyatuan butiran emas.

Perambahan hutan juga masih terjadi di Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat, yang mestinya dilindungi.

Di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, perusakan lingkungan juga masih terjadi, baik oleh praktik pembalakan liar maupun penambangan ilegal. Di sepanjang sisi kanan-kiri jalan penghubung Palangkaraya-Buntok, misalnya, sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah semak belukar.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalteng mencatat, kerusakan hutan di Kalteng setiap tahun mencapai 255.918 hektar (ha). Sementara itu, Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai Kahayan mencatat, dari 4,7 ha lahan kritis di wilayah kerjanya, baru 60.000-70.000 ha yang dapat direboisasi sejak tahun 2004.

Secara nasional, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar menyebut angka kerusakan hutan dan lahan di Indonesia sudah mencapai 59,2 juta ha (2006), dengan laju kerusakan 1,19 juta ha per tahun.

"Tren deforestasi (perusakan hutan) memang menurun setiap tahun dalam enam tahun terakhir, tetapi itu lebih disebabkan hutan yang kian habis," katanya.

Menurut Rachmat, selain deforestasi, kerusakan lahan dan hutan juga disebabkan konversi lahan yang di perkotaan juga memprihatinkan. "Tata ruang tak diperhatikan lagi." katanya.

Mengutip data Departemen Kehutanan, Rachmat menyatakan, tahun 2002-2003 luas lahan berhutan di Indonesia masih 92,9 juta ha. Akan tetapi, pada tahun 2005 tinggal 70,8 juta ha.

Pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengeluarkan izin konsesi hutan hingga 100 ha diyakini Rachmat sebagai salah satu penyebab makin hancurnya hutan Indonesia. "Atas nama pendapatan asli daerah, lingkungan sering dikorbankan. Pembangunan wilayah kabupaten/kota menunjukkan makin maraknya alih fungsi lahan," kata Rachmat.

Salah satu contoh adalah konversi lahan di kawasan Bandung Utara, Jawa Barat, yang mengubah kawasan resapan menjadi permukiman elite.

Pesisir juga hancur
Selain kawasan hutan, penghancuran lingkungan juga terjadi di kawasan pesisir. Di Jawa Timur, misalnya, dari 53.000 ha hutan mangrove yang ada, 13.000 ha di antaranya rusak berat. Selain untuk membuka tambak, banyak areal mangrove yang rusak akibat tercemar limbah industri.

Salah satu contoh yang nyata adalah kondisi hutan mangrove di muara Bengawan Solo yang kini tersisa 250-an ha. Itu pun kondisinya memprihatinkan.

Abrasi pantai, endapan lumpur, dan pencemaran juga menimpa hampir sepanjang pantai utara Jawa Barat-Jawa Tengah, dari Indramayu, Cirebon, hingga Tegal dan Pekalongan.

Di Kalimantan Barat, dari 850 mil panjang pantainya, 40 persen diperkirakan hancur. Di Kalimantan Timur, 370.000 ha lebih hutan bakau sudah dikonversi menjadi tambak udang. Saat ini, menurut catatan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), hutan bakau yang tersisa tinggal 512.000 ha.

Secara nasional, Departemen Pekerjaan Umum mencatat, 40 persen dari panjang pantai Indonesia yang totalnya 30.000 kilometer saat ini dalam kondisi rusak. Untuk merehabilitasi seluruh pantai, kata Direktur Sumber Daya Air Departemen PU Iwan Nusyirwan, pihaknya kekurangan dana.

Dalam rencana strategis Departemen PU 2004-2009, misalnya, pemerintah hanya menargetkan untuk penanganan bibir pantai sepanjang 250 kilometer, sedangkan tahun 2007 anggaran yang tersedia bahkan hanya cukup untuk merehabilitasi 70 kilometer bibir pantai. (CAS/WHY/NIT/INA/BRO/GSA/RYO)


Read More......

Bantuan Program Reforestasi Indonesia Bagian Kesadaran Global

[Sumber : republika.co.id | 11/09/07]
http://penataanruang.pu.go.id/BERITA/file/20070911_republika.htm

Bogor-RoL-- Komitmen Amerika Serikat (AS) untuk membantu program reforestasi di Indonesia senilai 20 juta dolar AS dan kemudian bantuan kemitraan hutan dan iklim dari Australia senilai 100 juta dolar Australia perlu disambut baik, sebagai kesadaran global penyelamatan hutan dan ancaman perubahan iklim.


"Ini bagian kesadaran global yang tumbuh sejak suara-suara tentang bahaya iklim, di mana banyak negara-negara yang merasa bahwa perubahan iklim mengancam kita sekarang. Mereka kemudian melihat bahwa Indonesia adalah sedikit dari negara itu (yang perlu dibantu) untuk menjaga hutannya secara lestari," kata Direktur Eksekutif Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Taufik Alimi di Bogor, Selasa pagi. LEI adalah lembaga independen yang mengembangkan sistem sertifikasi hutan lestari di Indonesia.


Taufik Alimi mengemukakan hal itu saat diwawancarai ANTARA sehubungan dengan komitmen dua negara itu untuk membantu program-program reforestasi di Indonesia, yang disampaikan AS dan Australia, disela-sela kegiatan pertemuan KTT ke-15 Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Sydney, Australia, pekan ini.

Presiden AS George W.Bush (8/9) menyampaikan komitmennya untuk membantu program "reforestasi" di Indonesia senilai 20 juta dolar dalam pertemuannya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan sehari (9/9) kemudian, Presiden Yudhoyono hadir dalam acara penandatanganan nota kemitraan senilai 100 juta dolar Australia, yang dihadiri Menteri Lingkungan Hidup Air Australia, Malcolm Turnbull.

Dengan adanya nota "Kemitraan Hutan-Hutan Kalimantan dan Iklim Pemerintah Indonesia dan Australia" senilai 100 juta dolar Australia itu, diperkirakan selama 30 tahun, jumlah emisi gas rumah kaca yang dapat dikurangi mencapai 700 juta ton.

Menurut Taufik Alimi, argumentasi perlunya komitmen itu disambut baik --yang diterjemahkan dalam bentuk bantuan finansial--bukan karena Indonesia mendapatkan uang, namun yang lebih esensial adalah tumbuhnya kesadaran global tersebut.

"(Kesadaran global) itu adalah dalam arti Indonesia tidak dibiarkan lama mengelola hutannya sendiri, yang menjadi salah satu unsur penting perubahan iklim, sehingga perlu bersama-sama untuk tetap menjaga kelestarian hutan yang ada," katanya.

Berkaitan dengan pertanyaan penting selanjutnya, yakni kenapa harus Indonesia yang mesti dibantu, ia menegaskan bahwa memang hutan tropis yang ada di dunia, termasuk di Indonesia tinggal sedikit, dan kemudian pemahaman itu muncul di dalam mitigasi perubahan iklim.

"Inilah yang perlu kita sambut baik tadi," katanya.


Perlu kecerdasan

Taufik Alimi mengatakan, makna mendasar lainnya bila kemudian komitmen janji bantuan itu terwujud, maka Indonesia disebutnya "harus cerdas" untuk mengelolanya dalam bentuk program-program strategis bagi kepentingan reforestasi itu.

Alasannya, selama ini pemahaman yang dominan adalah hutan hanya sebagai produsen kayu atau hutan sebagai asal bahan kayu, padahal banyak sekali yang bisa dimanfaatkan dari sekedar produksi kayu, tapi juga dari jasa lingkungan yang penting dan sebenarnya makin langka.

Mengikuti hukum ekonomi, kata dia, sesuatu yang langka itu memerlukan biaya untuk jasa-jasa lingkungan, yang dimiliki oleh hutan-hutan di Indonesia. "Karena itu, pemerintah harus cerdas menyusun program dan aktivitas agar jasa lingkungan dihargai secara tepat oleh negara lain," katanya.

Kemudian, kata dia, "Uang (bantuan) itu pasti mekanismenya tidak nggelontor (mengalir, red) terus terserah pemerintah (untuk mengelolanya), dan kita tahu 'tidak ada makan siang gratis' (dari bantuan itu). Disinilah kaitan kecerdasan kita semua bagaimana bantuan itu datang dan pas dengan agenda nasional," katanya.

Dikemukakannya bahwa hendaknya jangan sampai bantuan itu disebutnya "mengikat kita untuk tidak memotong pohon kita", tapi nilai ekonomisnya rendah, dan kemudian dana tersebut justru dilarikan pada proyek-proyek yang secara substansi tidak berhubungan pada pelestarian hutan.

Ia memberi rujukan seperti dana reboisasi (DR), yang kini pelaksanaannya perlu dipertanyakan karena dilihatnya tidak dikembalikan peruntukannya kepada program yang berkaitan dengan pelestarian hutan itu.

"Jadi, hal ini bukan hanya soal hutan saja, tapi juga masalah publik, sehingga jangan sampai (bantuan) itu menguap," katanya.

Ketika ditanya masih kuatnya opini publik bahwa bantuan semacam itu rentan terhadap korupsi dan penyalahgunaannya, Taufik Alimi melihat bahwa saat ini, khususnya dua tahun terakhir di era Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban, Dephut adalah satu dari sedikit departemen yang membuka proses inklusif dalam proses pekerjaannya, yakni melibatkan masyarat dan LSM dalam proses pengambilan keputusan.

"Sepanjang berkarir di LSM dan organisasi sipil lainnya hingga saat ini, Dephut adalah satu dari sedikit departemen yang membuka proses pekerjaan inklusif, dengan melibatkan masyarakat dan LSM dalam proses pengambilan keputusan. Artinya, ada unsur dari pemerintah yang 'legowo' pada skema pelibatan publik itu," katanya.

Ia memberikan perbandingan bagaimana kepercayaan itu tumbuh, yakni dalam perundingan Indonesia-Eropa, yang sering dibandingkan dengan Malaysia. "Eropa angkat topi (pada Indonesia) karena masyarakat sipil diberi ruang (dalam proses pengambilan keputusan) itu," katanya.

Guna menepis opini publik terkait dengan tingginya korupsi di Indonesia, dikemukakannya lagi bahwa kecerdasan dalam kaitan penerimaan dan pengelolaan uang benar-benar dijadikan patokan. "Kalau tidak, bisa jatuh pada tangan yang tidak seharusnya menerima seperti dana reboisasi itu," katanya.

Untuk itu, dibutuhkan standar legalitas yakni perlu adanya sebuah komite untuk penerapan hal itu, dan kemudian pemerintah legowo ketika para pihak sudah memutuskan sistem itu yang dipakai, sehingga pada akhirnya kepercayan publik dunia di sektor kehutanan cukup tinggi, demikian Taufik Alimi. ant/fif


Read More......

Perencanaan Pembangunan Harus Disesuaikan dengan Perubahan Iklim

[Sumber : mediaindonesia.com | 06/09/07]
http://penataanruang.pu.go.id/BERITA/file/20070906_mediaindonesia.htm

MEDAN—MIOL: Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Masnellyarti Hilman menilai, sudah saatnya dilakukan perubahan yang mendasar dalam sistem perencanaan pembangunan yang disesuaikan dengan perubahan iklim.

"Masalah variabilitas iklim saat ini dan mendatang harus dijadikan sebagai salah satu peubah penting dalam menentukan dasar-dasar perencanaan pembangunan nasional baik jangka pendek, menengah maupun panjang," katanya di Medan, Kamis (6/9).


Berbicara pada seminar bertema Strategi dan Antisipasi Pemanasan Global ia mengatakan, penanganan perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan pemahaman variabilitas iklim dengan baik dan pada saat bersamaan mengantisipasi dampak perubahan iklim global jangka panjang secara komprehensif.

Selain itu juga dibutuhkan pendekatan lintas sektor baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal.

Dalam menghadapi perubahan iklim, peningkatan ketahanan sistem dalam masyarakat sangat diperlukan untuk mengurangi resiko bahaya perubahan iklim dilakukan melalui upaya adaptasi dan migitasi, katanya.

Pada bagian lain ia mengatakan penurunan dan peningkatan curah hujan juga telah menimbulkan dampak yang sangat signifikan terhadap cadangan air.

Pada tahun-tahun kejadian El-Nino, volume air di tempat-tempat penampungan turun jauh di bawah normal, khususnya selama musim kering pada Juni-September. Akibatnya, banyak pembangkit listrik terpaksa memproduksi listrik di bawah produksi normal akibat penurunan cadangan air.

Data dari delapan waduk (empat waduk kecil dan empat waduk besar di Pulau Jawa) menunjukkan selama tahun-tahun kejadian El-Nino pada tahun 1994, 1997, 2002, 2003, 2004 dan 2006 kebanyakan pembangkit listrik berproduksi di bawah kapasitas normal.

Sementara itu, peningkatan curah hujan di atas normal terjadi khususnya pada tahun-tahun La-Nina (tahun basah). Kasus demam berdarah juga ditemukan meningkat signifikan pada tahun-tahun itu.

Karenanya, jika tidak ada upaya yang sistematis dan terintegrasi untuk meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim dan perbaikan kondisi lingkungan lokal dan global, maka dampak yang ditimbulkan akibat adanya variabuilitas iklim akan semakin besar.

"Bahkan akan berdampak pada sulitnya mencapai sistem pembangunan yang berkelanjutan," katanya. (Ant/OL-06)

Read More......

Menyiasati Dampak Pemanasan Global

[Sumber : seputar-indonesia.com | 05/09/07]
http://penataanruang.pu.go.id/BERITA/file/20070905_sindo.htm

PEMANASANglobal sedang menjadi isu sentral di berbagai belahan dunia. Lantas,bagaimana dampaknya terhadap bangunan? Selama bumi masih dalam temperatur 16 Celsius, pemanasan bumi adalah hal yang baik.

Namun, ketika terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang melebihi batas normal, maka akan membuat penumpukan gas yang terperangkap efek rumah kaca sehingga menekan jumlah radiasi inframerah yang seharusnya lolos ke ruang angkasa. Bumi akan semakin panas. Itulah penyebab terjadinya pemanasan global (global warming) yang belakangan tengah melanda berbagai belahan dunia. ”Peningkatan efek rumah kaca terutama disebabkan oleh pencemaran udara sehingga menyebabkan terjadinya pemanasan global, yaitu peningkatan suhu di permukaan bumi yang mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut,” ungkap Ir Rana Yusuf Nasir,President Director PT Aircon Pratama.


Namun, selain peningkatan jumlah gas rumah kaca, global warming ini terkait pula dengan kegiatan penebangan pohon di kawasan hutan yang tidak diimbangi dengan penanaman pohon pengganti atau disebut deforestasi. Juga akibat dari pembakaran bahan bakar fosil berupa minyak bumi atau batu bara, serta di bidang pertanian, yaitu penggunaan pupuk kimia. Untuk mencegah pemanasan global,harus dimulai dari hunian sendiri yaitu dengan cara ramah lingkungan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pemilik rumah memikirkan dengan matang mengenai pengelolaan dan pengangkutan sampah organik dan anorganik.

Didukung dengan penempatan beberapa titik sumber resapan yang dibuat mengelilingi hunian. ”Bangunan sangat berkontribusi terhadap global warming yang menimbulkan climate change, mulai dari pemakaian air, green house, sampah, dan pemakaian listrik. Karena itu, yang dibutuhkan kini adalah bangunan yang efisien terhadap pemakaian energi dan air, bangunan yang memakai material lokal, bangunan yang ramah lingkungan, dan ramah lingkungan terhadap konstruksi,” papar Rana Yusuf. Bangunan ramah lingkungan tidak banyak berfungsi baik tanpa didukung taman yang menghadirkan suasana alami yang sejuk dan teduh. Sebuah bangunan yang dikelilingi taman akan menyatukan seluruh ruangan dengan lingkungan di sekitarnya.

Selingan aromatik tanaman dan warna-warni tanaman berbunga dan berdaun indah menambah keceriaan dan kehangatan ketika berada di dalamnya. Pohon produktif di jalur hijau di depan, taman depan dan taman belakang memberi kesegaran udara yang dibutuhkan suatu bangunan dan orang yang ada di dalamnya.Tanaman produktif dan apotek hidup yang ditanam di tanah maupun dalam pot-pot tanaman yang artistik tersebar sejak dari area entrance, ruang dalam,hingga ruang servis, menciptakan suasana alami sejak luar hingga ke dalamnya. Penempatan jendela dan skylight di dalam sebuah bangunan akan menjadi sumber cahaya alami.

Penempatan yang bersilang secara vertikal menciptakan aliran hawa secara alami pula.Karena itu untuk penerangan, di siang hari pemilik menggunakan cahaya alami dengan mengandalkan bukaan yang lebar.Didukung dengan kehadiran sebuah void, sirkulasi udara pun akan terasa lancar dan keluar-masuk dengan bebas. (chaerunnisa)



Read More......

"Isu Pemanasan Global Bisa Kita Hadapi Tanpa Amerika"

Sekretaris Eksekutif UNFCC Yvo de Boer:

[Sumber : tempointeraktif.com | 31/08/07]
http://penataanruang.pu.go.id/BERITA/file/20070831_tempo.htm

TEMPO Interaktif, WINA:Dia salah satu "bintang" Pertemuan Wina 2007, setidaknya di kalangan puluhan wartawan asing yang meliput hajatan besar Perserikatan Bangsa-Bangsa itu.

Digelar di Austria Centre Vienna selama lima hari di bawah payung Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Cuaca PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC), sidang itu berakhir pada Jumat pekan lalu.

Ada seribu lebih anggota delegasi dari 158 negara serta 40 lebih organisasi lingkungan maupun pengamat yang hadir. Dan Yvo de Boer, pimpinan tertinggi UNFCCC, harus memastikan seluruh acara berlangsung sesuai target: memuluskan Sidang Puncak PBB di Bali pada Desember mendatang yang akan membahas isu cuaca global. Hasil dari Wina diharapkan dapat meluaskan agenda Protokol Kyoto.


Ditetapkan pada 11 Desember 1997, Protokol Kyoto disokong oleh mayoritas anggota PBB-kecuali Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara lain. Banyak yang meyakini, selama AS tak menandatangani Protokol Kyoto, upaya meredam pemanasan global di planet bumi tidak akan efektif.

Tapi Yvo punya pendapat sendiri. "Saya bahkan tidak mengharapkan Amerika kembali ke Protokol Kyoto karena sudah amat terlambat," ujarnya kepada Tempo.

Yvo adalah sosok yang populer selama Pertemuan Wina, kendati dia lebih banyak berada di belakang layar. Dari seluruh jumpa pers, "sesi Yvo" yang paling diminati. Ruangan sesak oleh para wartawan, pengamat, perwakilan berbagai organisasi lingkungan yang ingin mendengar penjelasan langsung Sekretaris Eksekutif UNFCCC tersebut.

Kofi Annan, Sekjen PBB terdahulu, menunjuk Yvo, begitu dia biasa disapa, untuk memimpin lembaga ini sejak Agustus 2006. Sebelum menjadi kepala UNFCCC, dia mengisi kursi Direktur Urusan Internasional Kementrian Perumahan, Perencanaan Tata Ruang, dan Lingkungan Belanda.

Selama Pertemuan Wina, dia selalu datang paling pagi dan meninggalkan "kantor sementara"nya di Austria Centre, kantor resmi Yvo ada di Bonn, Jerman, tatkala gedung besar itu sudah sepi pada petang hari dalam wajah yang tetap segar.

Dia "dingin" dalam memberi wawancara, namun menjawab pertanyaan dengan efektif, lugas, dan terus terang. Di sela-sela kegiatan sidang yang menghimpit, Yvo mengaku sedikit meredakan kelelahan dengan merokok dan minum bercangkir-cangkir kopi.

Di tengah jadwalnya yang amat padat sepanjang pekan lalu, dia menyempatkan diri menerima wartawan Tempo Hermien Y. Kleden untuk sebuah wawancara khusus dalam dua kali perbincangan.

Berikut ini, petikannya:

Tolong rumuskan dalam dua poin hasil Pertemuan Wina yang paling Anda harapkan.
Saya berharap ada pemahaman bersama yang mendasar tentang perubahan cuaca global di kalangan pemerintahan (negara-negara peserta). Dan saya menantikan sinyal optimistis bahwa para negosiator (yang ada di Wina sekarang) kelak akan ke Bali dengan tekad membuat suatu sidang puncak yang berhasil.

Kami mendengar UNFCCC serta sejumlah negara industri akan memberi kompensasi-melalui Clean Development Management, CDM- kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang melakukan pemulihan hutan dan lingkungan. Kira-kira seperti apa skema bantuan itu?
Saya kira masih sulit. Sampai sekarang program kompensasi (dana) itu belum dilaksanakan di negara-negara berkembang-termasuk di India dan Indonesia. Kami harapkan hal ini dapat dibahas bersama-sama di Bali kelak. Tentu diperlukan pula sokongan kebijakan dari pemerintah di negara yang bersangkutan agar program CDM dapat dilaksanakan segera.

Kebijakan apa saja yang diperlukan agar Indonesia, serta negara berkembang lain, dapat masuk dalam akses program bantuan CDM?
Diperlukan kebijakan pemerintah yang menyokong pengembangan berbagai proyek yang bermuara pada reduksi emisi karbon. Dan harus ada kebijakan ada kepastian tentang kontribusi terhadap kelanjutan pengembangan (proyek-proyek tersebut) di negaranya masing-masing.

Indonesia sering dikecam karena pemerintahnya dianggap lemah dalam mengontrol pembalakan liar. Tapi mengapa negara-negara industri maju yang mengimpor kayu-kayu haram dari Indonesia tak pernah ditegur dan diberi sanksi apa pun?
Menurut saya, negara industri bukan tanpa usaha sama sekali. Ada upaya mereka untuk melaksanakan program pengontrolan walau harus kita akui prosesnya tidak mudah. Pertama soal membedakan kayu legal dan ilegal. Kedua, kerap kali impor dilakukan dalam bentuk produk kayu yang telah diproses. Umpamanya, furnitur. Jadi pengontrolan, dalam hemat saya, memerlukan sokongan dari kedua belah pihak (negara berkembang dan negara maju).


Teks lengkap wawancara lihat di Tempo edisi Senin, 3 September 2007….




Read More......

Lahan Gambut Berperan Kurangi Pemanasan Global

[Sumber : republika.co.id | 27/08/07]
http://penataanruang.pu.go.id/BERITA/file/20070827_republika.htm

Yogyakarta-RoL-- Hutan lahan gambut berperan penting dalam mengurangi pemanasan global, karena lahan ini mampu menyimpan 30 persen kapasitas penyimpanan karbon global di dalam tanah.

"Lahan gambut punya peran ganda, di dalam tanah lahan gambut mampu menyimpan karbon dalam jumlah besar, sedangkan di atas tanah menyimpan karbon dalam bentuk vegetasi hutan," kata pakar ilmu tanah Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Bostang Radjagukguk, M.Agr.Sc di sela-sela Simposium dan Workshop Internasional tentang pemanfaatan lahan gambut di Yogyakarta, Senin.



Ia mengatakan, Indonesia memiliki 20 juta hektare lahan gambut yang terletak di pulau Sumatera dan Kalimantan, empat juta hektare di antaranya berada di Riau. Lahan gambut di Indonesia merupakan yang terluas di kawasan tropika dunia.

"Lebih dari 50 persen lahan gambut tropika di Asia berada di Indonesia, sedangkan Malaysia hanya memiliki sekitar 2,5 juta hektar yang saat ini sudah dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan tanaman kelapa sawit," katanya. Selain berperan dalam penyimpanan karbon dalam tanah, lahan gambut juga bermanfaat untuk memperkaya keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat.

Indonesia memiliki peran yang cukup besar dalam pelepasan karbon ke atmosfer terutama dari sumber kebakaran lahan gambut, namun di sisi lain lahan gambut juga bermanfaat untuk menyimpan karbon di dalam tanah.

"Berbeda dengan lahan mineral, lahan gambut memiliki kemampuan yang besar untuk menyimpan karbon sehingga secara tidak langsung berperan mengurangi pemanasan global akibat gas rumah kaca, terutama gas karbon," katanya.

Radjagukguk menyesalkan kebiasaan petani dan pengusaha di Indonesia yang masih membuka lahan gambut dengan cara dibakar karena karbon hasil pembakaran hutan memicu meluasnya pemanasan global.



Read More......

Masyarakat Harus Diberitahu Soal Perubahan Iklim

Sumber: www.republika.co.id

Senin, 13 Agustus 2007 16:29:00

Jakarta-RoL-- Seiring dengan perubahan iklim yang kian terasa dampak negatifnya, menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar mendesak agar fenomena alam ini disosialisasikan kepada masyarakat.

"Pemanasan global dan perubahan iklim sangat penting disosialisasikan, karena efeknya sangat besar bagi masyarakat," kata Rachmat saat membuka lokakarya dan kompetisi iklan layanan masyarakat, film dokumenter, poster, dan foto tentang pemanasan global bertema "Merdeka dari Kerusakan Lingkungan", di Jakarta, Senin.


Fenomena perubahan iklim, lanjut Rachmat, patut diberitahukan ke masyarakat sesegera mungkin. "Lebih cepat, lebih baik. Karena fenomena perubahan iklim tidak bisa dihindari lagi, kita hanya bisa mengurangi dampak negatifnya (mitigasi) atau menghambat laju prosesnya," kata dia.

Sementara itu masyarakat harus menyesuaikan diri atau adaptasi dengan keadaan ini, tambah Rachmat. "Masyarakat harus diberitahu soal perubahan iklim supaya mereka siap-siap. Dan penyampaian informasi tidak bisa cuma lewat pidato, tapi harus lewat iklan di media massa," ujarnya. Intinya adalah mempersiapkan masyarakat terhadap perubahan iklim," kata dia.

Rachmat menjelaskan, bila sudah diberitahu soal perubahan iklim, psikologi masyarakat tidak akan kaget lagi menyikapi perubahan suhu dan kenaikan air muka laut. Mengutip informasi yang disampaikan oleh pakar iklan RTS Masli, industri iklan di seluruh media massa di Indonesia menyerap uang sekitar Rp32 triliun per tahun. Dari porsi pangsa pasar yang demikian besar, iklan konsumsi merupakan yang dominan.

"Iklan perubahan iklim buat Indonesia harus menyesuaikan dengan budaya dan nuansa yang khas lokal, supaya bisa dipahami dengan baik oleh khalayak Indonesia," kata Masli. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap perubahan iklim.

Salah satu dampak negatif perubahan iklim di ekosistem Indonesia adalah kenaikan air laut serta pola intensitas hujan. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menyebutkan banjir di Jakarta pada awal tahun 2007 lalu terjadi akibat pola hujan yang berubah. Walaupun terjadi dalam durasi yang normal, tapi intensitas curah hujan tiga kali lipat lebih tinggi, sehingga banjir tidak bisa dihindari. antara
mim


Read More......

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]