30 September, 2007

Surat Serikat Tani Riau untuk Panitia Ad Hoc II DPD RI

http://segera.blog.com/
26 September 2007 lalu, tepatnya di Ruang Kenanga Kantor Gubernur Riau, beberapa Organisasi (Ormas, NGo) diundang dalam hearing dengan PAH II DPD RI. Adapun pokok pembahasannya adalah seputar konflik agraria dan illegal loging di Riau. berikut kami publikasikan surat KPP-STR yang ditujukan kepada PAH II DPD RI untuk menyikapi persoalan agraria di Riau.



Kepada Yth;
Panitia Ad Hoc II
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Di –
Tempat


Assalamu’alikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Setelah membaca Kerangka Acuan Kunjungan Kerja Panitia AD HOC II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ke Propinsi Riau yang akan membahas beberapa permasalahan menyangkut Pertanahan serta illegal loging di Riau bersama Ngo beserta organisasi rakyat lainnya. Beberapa pokok pembahasan dari dua soalan besar diatas tersebut, diantaranya kami garis bawahi untuk pokok tema kunjungan DPD RI kali ini adalah:

1. Point B, tentang rumitnya kasus pertanahan yang disebabkan sengketa tanah bersifat social sehingga penyelesaiannya harus ditanagni tidak parsial melainkan sistematik antara aturan dan kelembagaan. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang telah dilakukan selama ini di Propinsi Riau
2. Point C, tentang Tindaklanjut kasus sengketa tanah antara masyarakat dengan perusahaan Negara dan swasta di Propinsi Riau yang sampai saat ini tidak kunjung selesai
3. Point D, tentang MoU antara Badan Pertanahan Nasional dan Polri tentang aplikasi di lapangan

Maka, Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Riau (KPP-STR) berpendapat:

Serikat Tani Riau memandang bahwa kenyataan-kenyataan ekonomi secara nasional, negara kita masih terbelenggu oleh ketergantungan yang sangat besar dari pemodal asing yang bahkan secara kasat mata bisa kita lihat bersama dengan adanya penguasaan besar-besaran seluruh aset kekayaan alam negara kita –terutama di sektor tambang, oleh perusahaan-perusahaan asing yang jelas berkepentingan mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan dari hasil kekayaan alam kita yang besar ini. Misalnya saja Exxon Mobil Oil, Freeport, Petro China, Rio Tinto, Newmont dan beberapa perusahaan asing lain yang menguasai hampir 80% industri hulu pertambangan dan migas di Indonesia dengan hak eksploitasi (kontrak karya) yang waktunya puluhan tahun –bahkan ada yang mencapai 100 tahun dan mengambil keuntungan 90% dari total keuntungan bersih US$ 10 Milyar per tahunnya atau sekitar US$ 9 milyar dibandingkan dengan sisa US$ 1 Milyar per tahun untuk jatah dalam negeri yang masih harus dibagi antara Pemerintah dan Industri Tambang-Migas Dalam Negeri. Inilah jawaban dari kecilnya pendapatan sektor tambang dan migas dalam APBN (ataupun APBD) yang hanya berkisar US$ 1,2 – 1,7 Juta per tahunnya. Dari kecilnya pendapatan inilah, pemerintah selalu menggunakan alasan ini untuk terus mengambil hutang luar negeri sebanyak-banyaknya untuk menutup anggaran belanja negara (atau daerah) yang jumlahnya mencapai US$ 162 Milyar dan akan bertambah dengan rencana pemerintah untuk kembali mengambil hutang sebesar Rp. 2,8 Trilyun atau sekitar US$ 210 juta pada APBN-P 2007. Hal inilah yang kemudian berakibat pada sedikitnya alokasi pembiayaan subsidi bagi kebutuhan rakyat banyak (Pendidikan, Kesehatan, Pertanian –kredit usaha tani, pupuk, bibit, teknologi produksi dll, Perumahan dll) karena alokasi pembiayaan yang paling besar hanyalah untuk membayar bunga dan cicilan pokok hutang yang rata-rata mencapai hampir 30% dari APBN. Konsesi hutang ini biasanya diberikan dengan perjanjian investasi industri asing yang menghancurkan industri dalam negeri kita karena kalah dalam persaingan modal. Hancurnya industri dalam negeri inilah yang kemudian berakibat pada semakin banyaknya perusahaan-perusahaan dalam negeri yang tutup, dan menambah deretan panjang jumlah pengangguran serta menyempitnya lapangan pekerjaan. Hal inilah yang kemudian memicu jumlah ekspor TKI ke luar negeri, tingginya angka kriminalitas, konflik sosial horizontal. Daerah pedesaan yang didominasi oleh basis produksi pertanian juga semakin tidak berkembang (kalau bisa dikatakan semakin hancur) yang dilihat dari penurunan angka pertumbuhan sektor produksi pertanian dari 6,4% pada triwulan I tahun 2006, menjadi 5,9% pada triwulan I tahun 2007 (atau minus 0,5% dalam setahun). Walaupun menurut BPS, indikator makro ekonomi pertumbuhan sektor pertanian kita menunjukkan hal yang menggembirakan dengan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) tahun 2006 tumbuh 4,12%, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian naik 2,97% pada tahun 2005, serta angka ekspor hasil produk pertanian meningkat 20,41% pada tahun 2006 melalui program LUEP (Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan), ternyata tidak mempengaruhi tingkat kesejahteraan kaum tani secara umum. Data BPS tersebut secara makro ekonomi mungkin memberikan gambaran yang menggembirakan bagi kita –kaum tani Indonesia, akan tetapi ternyata gambaran makro ekonomi tersebut tidak berpengaruh pada NTP (Nilai Tukar Petani) yang juga menurut BPS malah menurun pada tahun 2006 hingga sebesar 15,55% yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi pertanian yang semakin besar setiap tahunnya (mulai lahan –yang terus menyempit karena konversi lahan produksi pertanian menjadi lahan rekreasi, perdagangan dan jasa yang bisa dilihat dari data jumlah petani tak bertanah menjadi 49,5% dari 48,6% dari tahun 1995 hingga 1999 di Jawa dan 18,7% dari 12,7% di luar Jawa—yang menyebabkan banyak konflik tanah antara masyarakat dengan perusahaan-pemerintah, kredit usaha tani, pupuk, bibit, harga pasar, dll) hampir 200% kelipatannya dari biaya produksi sebelumnya dengan indeks harga yang dibayar petani lebih tinggi 1,17% dibanding indeks harga yang diterima petani sebesar 0,86% pada tahun 2006 yang disebabkan naiknya harga BBM dan Gas yang telah dijual pada perusahaan asing (privatisasi). Angka-angka inilah yang membuktikan bahwa tingkat kesejahteraan kaum tani Indonesia terus merosot dari tahun ke tahun. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 8 juta hektar lebih dalam Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) atau Landreform Plus juga masih samar-samar dan belum jelas arahnya, apakah prioritas utamanya adalah menyelesaikan sengketa pertanahan untuk kepentingan kaum tani ataukah hanya siasat baru dalam me-legalkan penjualan tanah/lahan bagi kepentingan perusahaan-perusahaan modal asing? Atau hanyalah sekedar memindah kaum tani tak bertanah menuju daerah2 transmigrasi baru? Karena ketidak jelasan inilah, maka kita harus mengawal dan mendorong maju PPAN agar dijalankan secara benar untuk kepentingan kesejahteraan kaum tani –utamanya dalam arah penyelesaiaan sengketa agraria selama ini.

Penguasaan yang sangat besar kekayaan alam negara kita oleh industri-industri modal asing, hingga berakibat pada ketergantungan yang sangat besar terhadap hutang luar negeri menyebabkan kecilnya pembiayaan ekonomi negara pada kebutuhan masyarakat secara umum –dan kaum tani khususnya, dalam sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian dan lainnya yang membuat kompetisi/persaingan sumber daya manusia terdidik dan produktifitas nasional menjadi lemah dan tidak seimbang dihadapan para penjajah modal asing ini. Semua hal ini bisa terjadi dengan peran pemerintah dan elit-elit politik di parlemen yang dengan sadar membuat aturan-aturan (seperti UU PMA tahun 1967, ditambah UU Migas 2001, Perjanjian Perdagangan Bebas –ternasuk hasil produksi pertanian di WTO yang berakibat pada membanjirnya produk hasil pertanian impor, hingga yang terakhir UU Penanaman Modal 2007) yang memberikan jalan mulus bagi penjajah modal asing ini untuk semakin masuk hingga langsung ke desa-desa melalui UU Otonomi Daerah Tahun 1999 untuk lebih bebas dan brutal mengeruk kekayaan alam negara kita dan memperbudak rakyat Indonesia di bumi pertiwi-nya sendiri. Kemerdekaan bangsa kita yang belum lama ini kita peringati, menjadi tidak lebih hanya upacara formal yang dilakukan setiap tahun tanpa kesadaran yang memperlihatkan bahwa kita saat ini lebih terjajah oleh modal asing dibandingkan dengan penjajahan fisik-kolonial sebelumnya dan bersama-sama merumuskan bagaimana jalan keluar mengatasi penjajahan modal asing selama ini.

Mengenai konflik Agraria di Indonesia diketahui bahwa, Permasalahan yang bermula dari rapuhnya pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, hingga kepada pemberian tanpa batas hak pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada pemilik modal atau kasarnya, Negara tidak mampu menegaskan batas maksimal penguasaan lahan – tanah – yang boleh dikuasai atau dikelola. Ketidakjelasan tersebut didukung dengan buramnya sistem administrasi pertanahan sehingga sebidang tanah pun bisa dimiliki oleh 2 hingga 3 orang. Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria, mereka merekam sekitar 1.753 kasus konflik agraria struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural dapat dinyatakan sebagai konflik kelompok masyarakat sipil "melawan" dua kekuatan lain di masyarakat, yakni: sektor bisnis dan/atau negara.
Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK.

Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus). Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukkan, terdapat 2.810 kasus skala besar (nasional), 1.065 di antaranya masih ditangani pengadilan dan 1.432 kasus masih berstatus sengketa. Sekitar 322 kasus berpotensi memicu konflik kekerasan. Menurut Sri HartatiSamhadi dalam focus Kompas 30 Juni 2007, Di perkotaan, sengketa tanah umumnya dipicu oleh meningkatnya arus urbanisasi, pembangunan proyek-proyek infrastruktur skala besar, politik pertanahan (seperti menggusur warga miskin perkotaan dari tanah berlokasi strategis untuk kepentingan pembangunan proyek- proyek komersial) banyak berakhir pada penggusuran paksa masyarakat miskin perkotaan. Di daerah kaya mineral, konflik terus terjadi antara masyarakat adat dan pemerintah atau perusahaan swasta pemegang konsesi, contohnya yang terjadi di Freeport (Papua) dan Caltex (Riau). Di wilayah transmigrasi, antara transmigran dan masyarakat lokal. Di kawasan kehutanan, antara BUMN atau perusahaan perkebunan besar dan masyarakat adat. Di pedesaan, alih fungsi lahan untuk proyek-proyek seperti waduk dan tempat latihan militer.


Lahan Luas untuk Pemilik Modal dan Konflik Agraria di Riau

Secara kepemilikan tanah di Indonesia, Menurut Serikat Tani Nasional (STN) mengatakan bahwa, peruntukan lahan bagi perkebunan skala besar jelas-jelas menumbuhkan penindasan struktural serta menjauhkan kaum tani dari kesejahteraan. Kita bisa melihat, betapa luasnya pemerintahan memberikan tanah-tanah yang mereka sebut dengan Hutan/Perkebunan Negara kepada perusahaan-perusahaan seperti; PT Freeport Indonesia yang mendapatkan jatah 202.380 ha areal hutan lindung di Papua, PT Inco Tbk menguasai 218.828 ha di Sulawesi Tengah, Tenggara dan Selatan, PT Aneka Tambang seluas 39.040 ha di Maluku dan 14.570 ha di Sulawesi Utara, PT Indominco Mandiri seluas 25,121 ha di Kalimantan Timur, PT Natarang Mining seluas 12.790 di Lampung, PT Nusa Halmahera Minerals di Maluku Utara seluas 29.622 ha, PT Pelsart Tambang Kencana seluas 201.000 ha di Kalimantan Selatan, PT Interex Sacra Raya seluas 13.650 ha di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, PT Weda Bay Nickel seluas 76.280 ha di Maluku Utara, PT Gag Nickel di Papua seluas 12.138 ha, dan PT Sorikmas Mining seluas 66.200 ha di Sumatera Utara, dan lain-lain.

Sementara itu di Riau, rezim Orde Baru membangun jaringan kekuasaan ekonominya di bawah kangkangan kapitalisme global dengan memberikan + 580.000 ha (Separuhnya diperuntukkan bagi HPH/TI PT. Arara Abadi, seluas hampir 300.000 ha) perkebunan pulp kepada 2 perusahaan dan diperkirakan memboyong 20 juta meter kubik kayu per tahunnya, atau setara dengan 91% dari total penebangan semua industri berbasis kayu di Indonesia. Sementara itu, menurut laporan Human Rigth Wacth tahun 2003 lalu, untuk PT. Caltex Pasifix Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) saja mendapatkan jatah seluas + 3,2 juta ha atau sekitar 32.000 KM. Lalu, 6 juta ha HPH di Riau merupakan milik kaum elit di luar Riau. Jika ditotalkan keseluruhannya, maka peruntukan lahan bagi perkebunan/industri kehutanan skala besar di Riau seluas 9,5 juta ha.

Kebijakan inilah kemudian yang ditengarai menyebabkan bencana dimana-mana, mulai dari bencana asap, banjir, konflik tanah, kemiskinan, dan lain sebagainya. Bencana asap misalnya, menurut Walhi Riau bersama LSM lingkungan lainnya bahwa periode Juli-Agustus 2006 telah teridentifikasi bahwa kebakaran terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi (HPH), dan perkebunan Sawit di seluruh Riau, dengan rincian luasan terbakar HTI 47.186 ha, perkebunan Sawit 42.094 ha, HPH 39.055 ha, kawasan Gambut 91.198 ha, dan kawasan non-Gambut 82.503 ha. Inilah kemudian yang menjadi indikasi penyebab 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan), 3.000 orang terkena iritasi mata, 10.000 orang terkena diare dan mencret (Catatan Akhir Tahun 2006 JIKALAHARI). Ini tentunya belum termasuk kepada kerugian yang diderita oleh rakyat akibat banjir – diantaranya disebebkan oleh terlampau luasnya tanaman monokultur skala besar - yang menurut buku hitam WALHI Riau, pada tahun 2003 saja sebesar Rp. 793,3 milyar. Dan di tahun 2006, menurut Riau Pos dari akibat banjir yang melanda 3 kecamatan di kabupaten Kampar; Tambang, Tapung Hilir, dan Kampar Kiri mendera 3.000 jiwa lebih dan sedikitnya 50 orang meninggal dunia. Sementara itu belum lagi tanaman rakyat yang rusak. Ini tentunya tidak termasuk data kerugian akibat banjir yang menjarahi daerah Rokan Hulu, Pekanbaru, Kuansing, Bengkalis, dan lain-lain

Kendati Kondisi Hutan Alam Riau sudah dalam keadaan kritis tahun 2004, namun ternyata eksploitasi hutan alam tetap berlangsung pesat sepanjang tahun 2005, baik yang dilakukan oleh Penebang liar (Illegal Logging) maupun oleh pemegang izin konsesi (Legal Logging). Keduanya sama-sama memberikan andil besar terhadap hilangnya tutupan hutan alam di Riau yang mengakibatkan Bencana Banjir dan Kabut Asap terjadi secara rutin pada tahun 2005. Pada akhir Tahun 2004 JIKALAHARI mencatat tutupan hutan alam Riau hanya tersisa seluas 3,21 juta hektar atau 35 % dari 8,98 juta hektar total luas daratan Provinsi Riau. Penurunan Luas Hutan Alam di Riau terjadi secara Drastis dari tahun 1984 ke tahun 2005 yaitu seluas 3 juta hektar, penurunan tertinggi terjadi antara tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu seluas 840 ribu hektar. Berarti jika dirata-ratakan per tahun hutan alam Riau hilang seluas 150 ribu hektar.

Aktifitas Eksploitasi ini dipastikan akan terus berlanjut sepanjang tahun 2006 karena di atas Hutan Alam yang tersisa sebagian besar sudah dikuasai Perusahaan besar swasta bidang Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hasil analisis JIKALAHARI menemukan bahwa seluas 789.703 hektar dari Hutan Alam yang tersisa tahun 2004 sudah dikuasai untuk dieksplotasi oleh 2 group Perusahaan Bubur Kertas Riau yaitu APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd.) Induk PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) seluas 278.371 hektar dan APP (Asia Pulp And Paper) Induk PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper) seluas 511.331 hektar beserta Perusahaan mitranya, dan seluas 390.471 hektar telah dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan. Ini belum termasuk 19 Perusahaan HPH yang sekarang masih menguasai 834.249 hektar Hutan Alam dan Aktifitas Penebangan Liar yang sudah masuk dalam Kawasan Lindung

Pada tanggal 14 Juni 2005 Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban telah membuat target pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia hingga mencapai 5 Juta hektar HTI pada tahun 2009. Sementara hingga saat ini telah ada seluas 2,16 juta Hektar HTI yang sudah dibangun, berarti masih akan ada seluas 2,84 juta Hektar lagi HTI yang akan dibangun hingga tahun 2009. Untuk kontek Riau, Kebijakan ini patut dipertanyakan signifikansinya terhadap upaya penyelamatan Hutan Alam yang tersisa, karena keberadaan 2 Pabrik bubur Kertas (APRIL/RAPP dan APP/IKPP Group) di Riau yang mempunyai kapasitas produksi 4 Juta Ton per tahun dalam prakteknya tidak pernah serius menanam HTI untuk memenuhi kebutuhan Bahan Baku yang telah mencapai 18 juta meter kubik per tahun. Saat ini saja kedua Perusahaan Bubur Kertas dan mitranya telah mengantongi izin seluas masing-masing 1.137.028 Hektar untuk APP dan 681.778 Hektar untuk APRIL, sementara operasional kedua perusahaan ini sudah begitu lama (23 tahun IKPP dan 12 tahun RAPP) namun anehnya HTI yang berhasil mereka bangun baru mampu 30 % dari total kebutuhan kapasitas Industri terpasangnya 4 juta ton per tahun. Hal ini berarti kedua perusahaan ini bisa dikatakan gagal/tidak serius, dan hanya mau mengeksploitasi Hutan Alam untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Tidak hanya itu, kedua perusahaan ini juga kerap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kayu alam, dan terus mengajukan izin perluasan konsesi di atas Hutan Alam. APRIL misalnya, saat ini masih terus giat melobby Pemerintah untuk dapat menguasai Hutan Alam Gambut Dalam di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang seluas 215.790 ha untuk dieksploitasi Kayu Alamnya

Menurut JIKALAHARI pada tahun 2001-2003 APP dan APRIL juga memanfaatkan secara maksimal kewenangan Kepala Daerah dalam mengeluarkan izin HTI atau IUPHHK-HT dengan menggunakan mitra-mitranya untuk mendapatkan izin eksploitasi Hutan Alam. Bahkan hingga dicabutnya kewenangan Kepala Daerah pada awal 2002 melalui Kepmenhut 541/KPTS-II/2002 tanggal 21 Februari dan diperkuat dengan PP 34 tahun 2002 tanggal 8 juni 2002, mitra-mitra APP dan APRIL tetap mendapatkan izin-izin baru di atas Hutan Alam. JIKALAHARI mencatat ada 34 IUPHHK-HT yang masih dikeluarkan 4 bupati (Inhil, Inhu, Siak dan Pelalawan) dan Gubernur Riau sampai awal 2003. Izin ini jelas telah cacat Hukum, namun baik APP dan APRIL yang menerima kayunya maupun Kepala Daerah yang mengeluarkan Izin seolah-olah tutup mata, penebangan kayu alam terus berlanjut. Hingga pada tanggal 15 Januari 2005 Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 dan diteruskan dengan surat edaran ke Gubernur se Indonesia tanggal 25 Februari 2005 yang pada intinya menegaskan bahwa semua IPHHK-HT yang pernah dikeluarkan Kepala Daerah akan dilakukan Verifikasi mengingat kewenangan Kepala Daerah telah dicabut. Menjelang akhir tahun 2005 tim verifikasi bentukan Menteri Kehutanan ini dikabarkan telah turun ke kabupaten Pelalawan, namun apakah hasil verifikasinya menyatakan 21 IUPHHK-HT cacat hukum atau tidak hingga kini belum jelas.

Secara logis, sempitnya lahan produksi, yang mengakibatkan rakyat tidak sanggup lagi mempertahankan hidup secara layak. Rakyat Sialang Rimbun misalnya, hanya mampu mengonsumsi Ubi untuk makanan sehari-harinya, dan sedikit saja dari mereka yang sanggup membeli beras. Inilah hasil dari istilah Pembangunanisme kapitalisme-neoliberal yang dikoar-koarkan pemerintahan SBY-Kalla serta ditindaklanjuti oleh Rusli Zainal. Program-program palsu, lips servis, entah apalagi namanya. Pembangunan yang bisa dikatakan tidak mampu mengaliri sebagian desa di kecamatan Pinggir dengan listrik.

Sempitnya lahan pertanian yang mengakibatkan rendahnya pendapatan rakyat, seperti yang sudah kami tegaskan diatas, adalah hasil perasan dari kebijakan pemberian izin pengelolaan hutan/perkebunan secara besar-besaran, seperti PT. Arara Abadi, yang dalam catatan Human Rigth Wacth sudah banyak memakan korban. Mulai di kabupaten Pelalawan, Kampar, Siak, hingga Bengkalis.

Inilah kemudian yang melahirkan bentuk-bentuk perlawanan rakyat petani berbagai tempat di Riau. Untuk kasus PT. Arara abadi misalnya, sudah banyak korban yang berjatuhan seperti bentrokan antara rakyat angkasa, Balam Merah di Kabupaten Pelalawan dengan perusahaan yang merupakan bagian dari Sinar Mas Group (SMG) itu tahun 2001, kasus Mandiangin (Kab. Siak) tahun 2003, kasus kec. Pinggir (kab. Bengkalis) tahun 2005-2006, kasus Tapung (kab. Kampar) 2006, terbaru adalah kasus di Pinang Sebatang dan sei. Mandau (Akhir tahun 2006). Hal yang paling memiriskan dari kesimpulan pemerintahan di propinsi Riau adalah, selalu mengambil kebijakan stanvas bagi setiap kasus yang ada, bukan malah mengumpulkan data-data tersebut bagi alasan pencabutan SK Gubernur yang pernah dikeluarkan pada 9 Februari 1990. Dan kemudian, tahun 1996 Menteri Kehutanan pada tanggal 25 November 1996 mengeluarkan surat Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri seluas 299.975 ha di Riau kepada PT. Arara Abadi. Surat tersebut bernomor 743/kpts-II/1996 - di Jakarta, isinya menyebutkan bahwa, surat tersebut merupakan surat balasan perusahaan tersebut mengenai permohonan penyediaan lahan untuk perkebunan yang dikirimkan kepada Gubernur Riau pada 7 Oktober 1989 bernomor 57/AIP/UM/-DL/X/89. Hal inilah kemudian yang menjadi dasar konflik agraria antara rakyat dengan perusahaan. Konflik yang memakan tanah adat, ulayat, perkebunan rakyat, bahkan hingga kepada samarnya batas desa, kampong, pekuburan, dan lain sebagainya.

Konflik Antara Masyarakat Riau di beberapa Kabupaten dengan PT. Arara Abadi; Sebuah Catatan Penting

Menurut data yang disampaikan oleh Human Rigth Watch pada 20 Februari 2001 lalu, bahwa Asia Pulp & Paper dari Sinar Mas Group telah memimpin pertumbuhan yang luar biasa ini sebagai produsen terbesar di Indonesia, menghasilkan setengah dari seluruh produksi pulp dan seperempat dari kertas di negara ini. Dengan total kapasitas pulp saat ini sebesar 2,3 juta metrik ton dan kapasitas pengemasan sebesar 5,7 juta metrik ton, Indonesia menempati urutan pertama di antara negara-negara Asia selain Jepang, dan urutan kesepuluh dalam produksi dunia, setelah raksasa-raksasa seperti International Paper, Enso, Georgia Pacific dan UPM Kymmene. Berkantor pusat di Singapura, saat ini APP memiliki 16 fasilitas pabrik di Indonesia dan Cina dan memasarkan produknya di lebih dari 65 negara di enam benua. Pabrik APP Indah Kiat di Perawang, Riau, adalah salah satu dari dua pabrik kertas terbesar di dunia. Indah Kiat sendiri memiliki kapasitas produksi sebesar 2 juta ton pulp dan 1,5 juta ton kertas per tahun, yang telah meningkat pesat dari hanya 120.000 ton pada tahun 1989.

Serat kayu untuk pabrik Indah Kiat dipasok oleh Arara Abadi, yang adalah anak perusahaan Sinar Mas Group, konglomerat yang memiliki APP. Arara Abadi adalah salah satu perkebunan kayu pulp terbesar di Indonesia, yang menguasai konsesi 300.000 hektar di Riau. Peralihan hak atas lahan masyarakat tanpa proses seharusnya atau tanpa ganti rugi yang adil dan tepat waktu merupakan faktor utama yang mendorong perselisihan dan kekerasan antara Arara Abadi dan masyarakat sekitarnya.

Peraturan pemerintah provinsi yang dibuat bahkan pada saat awal pengembangan konsesi perkebunan mengharuskan lahan yang digunakan untuk usahatani masyarakat dan produksi karet dikeluarkan dari areal kerja HTI. Tahun lalu, sebuah survei telah dilaksanakan di kecamatan Bunut (Kabupaten Pelalawan, di mana desa Betung, Angkasa dan Belam Merah berada. Lihat Peta B) oleh tim gabungan yang terdiri dari berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk perwakilan dari pemerintah lokal, berbagai LSM, para pemimpin masyarakat lokal, dan Arara Abadi, untuk menentukan luas lahan di dalam kawasan HTI yang diklaim oleh masyarakat lokal. Meskipun areal yang diteliti hanya sebagian kecil saja dari kawasan milik Arara Abadi, survei tersebut menemukan kira-kira 20.000 hektar lahan yang diklaim oleh masyarakat. Fakta bahwa survei kepemilikan lahan secara sistematis dan menyeluruh belum pernah dilakukan merupakan indikasi kegagalan pemerintah dalam menegakkan hak-hak asasi: hukum Indonesia mengharuskan lahan yang diklaim pihak ketiga dikeluarkan dari konsesi hutan.

Catatan Arara Abadi menunjukkan bahwa 113.595 hektar lahan konsesinya telah dikalim oleh masyarakat lokal. Walaupun perusahaan ini menegaskan bahwa setengah dari kasus-kasus ini telah diselesaikan, mereka mengakui bahwa 57.000 hektar masih dalam sengketa. Akan tetapi, perusahaan ini tidak memberi rincian yang terkait dengan penyelesaian yang dilakukan atau lokasi lahan yang dituntut, sehingga tidak mungkin melakukan pemeriksaan silang tentang kemungkinan klaim-klaim ini saling tumpang tindih dengan yang ditemukan oleh tim gabungan tersebut.
Seperti polisi provinsi, para pejabat APP bersikeras bahwa Arara Abadi telah menerima konsesi yang sah dari pemerintah Indonesia. Selain itu karena penduduk lokal tidak memiliki surat kepemilikan resmi atas lahan tersebut, maka mereka tidak mempunyai hak yang sah. Direktur Arara Abadi mengakui bahwa hampir semua masalah keamanan mereka bukan bersumber dari "penebangan liar" seperti yang berulang-ulang ditegaskan oleh berbagai perwakilan, tetapi dari berbagai tuntutan hak atas lahan tradisional oleh masyarakat lokal.

Sebenarnya, hampir semua masalah keamanan kami berasal dari masyarakat lokal. Mereka memiliki hak ulayat. Reformasi telah membangkitkan rasa kepemilikan dan keberanian masyarakat dalam mengajukan tuntutan meskipun mereka tidak mempunyai dokumen resmi. Kadang-kadang pemerintah mengirim seorang penengah (mediator), tetapi ganti ruginya sering terlalu mahal.

Komentar ini mengungkapkan beberapa hal. Pertama, mereka menjelaskan bahwa istilah "penebangan liar" yang tidak tepat sering digunakan untuk mengaburkan tuntutan hak atas lahan masyarakat dan membuat keluhan-keluhan sah dan perlu dinegoisasikan menjadi seperti kegiatan kriminal. Hal ini merupakan faktor yang mendorong konflik-konflik di Angkasa/Belam Merah dan Mandiangin yang diuraikan di bawa. Kedua, pengamatan bahwa reformasi telah membuat masyarakat menjadi "lebih berani" dalam mendesakkan tuntutan mereka merupakan tanda betapa besarnya rasa takut masyarakat akibat diintimidasi di masa lampau. Ketiga, komentar pejabat tersebut menegaskan status kelas dua hak masyarakat asli, meskipun diakui oleh undang-undang. Pejabat Arara Abadi tersebut jelas menyadari bahwa masyarakat mempunyai hak ulayat, tetapi secara tidak langsung menyatakan bahwa akhirnya biaya ganti rugilah yang menentukan apakah hak-hak ini akan diakui atau tidak.

Walaupun Indonesia mengakui hak ulayat dalam undang-undangnya, proses resmi bagi masyarakat lokal untuk mengajukan tuntutan atas lahan belum ada. Berhadapan dengan staf perusahaan dan pegawai pemerintahan lokal yang tidak responsif dan tidak dapat diminta pertanggung gugatannya, masyarakat mungkin mencoba mengajukan kasusnya ke pengadilan. Namuan praktik korupsi dan penyuapan yang harus dilakukan menyebabkan cara ini menjadi tidak praktis bagi masyarakat lokal yang miskin dalam usaha mencari keadilan. Bahkan, perusahaan-perusahaan mengeluh bahwa pengadilan yang korup kadang-kadang meminta mereka memberi ganti rugi kepada penuntut yang tidak sah. Dalam ulasannya pada bulan Juni tahun 2002 mengenai sistem pengadilan di Indonesia, seorang Utusan Khusus tentang Kemandirian Hakim dan Pengacara (Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers) dengan terkejut menyimpulkan bahwa ia "tidak menyadari betapa korupsi sudah sedemikian merasuk ke semua sendi." Penilaian ini dikuatkan oleh laporan penelitian yang rinci tentang sistem pengadilan yang disusun oleh Indonesian Corruption Watch. LSM independen ini mendokumentasikan korupsi dan penerimaan suap di semua tingkat proses pengadilan

Karena tidak memperoleh surat kepemilikan dan sistem peradilan yang ada tidak menolong mereka, masyarakat lokal mempunyai beberapa cara untuk membuat pengaduan mereka didengar, dan pengaduan secara informal yang disampaikan ke para pejabat lokal sering dibubarkan oleh pihak yang berwajib, sehingga masyarakat lokal menjadi lebih tersingkir. Seperti yang dikatakan secara terbuka oleh pejabat polisi provinsi,

OK, mungkin kadang-kadang lahan disita tanpa diberi ganti rugi. Tetapi jika mereka tidak mempunyai surat-surat bukti kepemilikan, maka mereka tidak mempunyai hak sama sekali. Kebanyakan mereka tidak mempunyai surat bukti kepemilikan. Apa bukti tuntutan mereka? Jadi mereka tidak berhak atas apapun.
Lahan Arara Abadi yang luas tidak saja dirampas dari penguasaan lokal. Hutan alamnya juga dibabat habis, yang sebelumnya digunakan secara tradisional oleh masyarakat sekitar untuk usahatani lokal dan pengumpulan hasil hutan, termasuk pohon madu yang berharga secara ekonomi dan budaya yang terdapat di hutan alam, yang kepemilikannya diwariskan dari generasi ke generasi. Kebun buah-buahan dan pohon karet masyarakat juga dibabat. Lahan luas yang dikuasai untuk HTI pulp, digabung dengan konsesi-konsesi yang luas milik perkebunan pulp terbesar kedua di Indonesia, ditambah dengan konsesi-konsesi penebangan dan perkebunan kelapa sawit-menyisakan sedikit lahan yang dapat digunakan untuk memperoleh sumber penghidupan tradisional yang bergantung pada hutan (Peta B menunjukkan seluruh wilayah konsesi). Peraturan pemerintah mengharuskan semua lokasi dan ladang desa dihilangkan dari wilayah kerja HTI, dan penanaman tidak diizinkan dalam jarak 1,5 km dari desa-desa atau jalan. Namun demikian, pohon-pohon akasia sudah biasa ditanam hingga ke pinggir jalan, dan di beberapa desa, hingga ke pintu dapur rumah-rumah penduduk desa. Seorang pria mengeluh, "Kalau kami ingin membangun kakus, kami harus menebang pohon akasia."

Kenyataannya, perluasan APP/Sinar Mas Group yang dibiayai dari hutang telah menghasilkan pasokan serat kayu yang melampaui pasokan kayu dari perkebunan akasia dan hutan alam yang tersedia dalam konsesi Arara Abadi. Akibatnya APP/SMG harus membeli dari hutan alam tebang habis di luar wilayah konsesinya yang sudah sangat luas. APP/SMG mengakui ketergantungannya pada pembukaan hutan alam untuk memenuhi kebutuhan pabrik: angka-angka yang dilaporkan APP/SMG kepada Human Rights Watch menunjukkan bahwa saat ini pabrik APP, PT Indah Kiat, di Perawang mengunakan kayu seperti itu untuk memenuhi 65 persen dari kebutuhan kayunya-dari total 9,8 juta ton per tahun-saat ini, dari jumlah itu, 25 persen berasal dari luar wilayah konsesinya (meskipun kritikus menyatakan angka itu mendekati 50 persen).

Saat ini, konsesi Arara Abadi meliputi 6 kabupaten. Pada saat dikeluarkan di akhir tahun 1980-an, HTI ini merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Akan tetapi, pada bulan Oktober tahun 2001, Arara Abadi mengumumkan keinginannya untuk memperluas areal operasinya sebesar dua-pertiga, yang berarti tambahan penebangan seluas 190.000 hektar hutan alam dalam lima tahun berikutnya untuk memasok kapasitas pabrik Indah Kiat Riau yang diperbesar. Perluasan ini akan dilaksanakan melalui "usaha bersama" dengan rekan-rekan yang tidak ditentukan dan di bawah persyaratan yang tidak ditentukan. Lagipula, untuk memenuhi peningkatan kebutuhan akibat peningkatan kapasitas produksi, APP/Sinar Mas Group berencana untuk melipatduakan luas hutan alam yang akan dibabat dalam lima tahun mendatang.

Sekarang ini, insentif ekonomi menjadi tidak layak bagi APP dan pabrik-pabrik pulp di seluruh Indonesia untuk melanjutkan perluasan kapasitas yang berlebihan dan ketergantungan terhadap pembabatan hutan alam, dan tekanan keuangan yang kuat akibat biaya pabrik yang sangat besar dan hutang yang berasal dari kelompok kreditor (saat ini sebagian di antaranya menuntut APP untuk membayar kembali melalui proses litigasi) untuk melanjutkan penghematan dan meningkatkan produksi, tanpa memperhatikan konsekuensi terhadap hak-hak asasi dan lingkungan. Insentif seperti ini, terutama di saat peraturan yang efektif masih tetap tidak ada, akan tetap mengancam hak-hak asasi anggota masyarakat lokal. (untuk lebih jelas mengenai data-data sementara sengketa agraria antara rakyat dengan PT. Arara Abadi, silahkan melihat bundle yang telah kami siapkan. Bahan ini terdapat pada daerah Siak, Bengkalis, dan Kampar).

Dari itu, upaya penangan konflik agrarian yang kami usalkan adalah:

1. Ukur ulang seluruh areal HPH/TI, HGU milik perusahaan swasta/pemerintah yang berkonflik dengan rakyat. Pengukuran ulang ini mesti melibatkan masyarakat korban konflik. Untuk Riau, pada tanggal 1 Mei 2007 lalu, Pemerintahan Riau melalui asistennya – Nasrun Efendi – telah mengatakan menganggarkan dana 9 Milyar Rupiah untuk pelaksanaan pengukuran ulang tersebut dan berjanji akan menyeleaikannya hingga akhir tahun 2007
2. Cabut – minimal tinjau ulang – Izin HPH/TI, HGU bagi perusahaan yang melakkan pelanggaran (seperti illegal loging, tidak menepati batas waktu inclaving, dl). Karena ditengarai, hal inilah yang menyebabkan konflik berkepanjangan. Misalnya saja, PT. Arara Abdi menurut SK Menhut 743/kpts-II/1996 diberikan waktu untuk melakuakan penyelesaian inclaving 2 tahun setelah SK dikeluarkan. Namun hingga sekarang masih diindikasikan banyak wilayah yang belum mereka inclav, sehinga menyebabkan terjadinya sengketa agraria
3. Pemerintah Daerah segera membuat Perda tentang Hak Ulayat dan Adat di Riau. Hal ini dikarekan masyarakat Riau mengakui Lembaga Adat Melayu Riau sebagai sandaran adat di Bumi Lancang Kuning ini
4. Tunda Revisi RTRWP Riau sebelum konflik agraria diselesaikan


Sementara itu,menyikapi MoU antara BPN dengan Polri (No. 3/SKB/BPN/2007 da No. Pol: B/576/III/2007 tentang Penanganan Masalah Pertanahan. Tertanggal 14 Maret 2007), Komite Pimpinan Pusat-Serikat Tani Riau (KPP-STR) menegaskan bahwa:

1. Pasal 1 dari ayat 1-3 dalam MoU tersebut merupakan langkah yang semata-mata menguatkan sisi normative dari kedua belah pihak. Sehingga mengancam petani yang telah melakukan pendudukan pada tanah-tanah perkebunan dan tanah lainnya yang belum mendapatkan status hukum untuk dikriminalisasi. Dalam penyelesaiannya juga menutup peran masyarakat. Sebab MoU ini hanya mengembangkan komunikasi dua arah dalam menyelesaikan konflik.
2. Pasal 4: BPN akan mengembangkan pengamanan swakarsa dibantu oleh Polri. Belum jelas apa yang dimaksud dengan pengamanan ini. Namun dipercaya bahwa yang dimaksud dengan Pengamanan Swakarsa ini adalah dukungan BPN dalam mengembangkan pengamanan swakarsa dalam tubuh perkebunan.
3. Pasal 5 ayat 3: BPN menjalankan MoU ini adalah bentuk persiapan legal BPN untuk mendorong lahirnya UU Pertanahan. Sehingga kebijakan nasional BPN sesungguhnya adalah mendorong lahirnya UU Pertanahan
4. Pasal 5 ayat 4: Dalam opesrasional MoU ini akan menyelesaikan sertifikasi tanah yang merupakan aset Polri. Padahal selama ini konflik antara masyarakat dengan institusi Polri bukan sedkit. Sehingga konflik rakyat yang selama ini tanahnya dirampas untuk pembangunan aset Polri sudah pasti akan mengalami kekalahan.
5. Pasal 6 ayat 1-3: Laporan-laporan masyarakat kepada BPN dilanjutkan oleh BPN kepada Polri. Sehingga Polri dapat mengambil tindakan hukum. Tentu saja BPN dipandang telah menyiapkan upaya-upaya menyelesaikan sengketa tanah dengan melihat aspek hukum normative saja. Sementara BPN juga membantu aspek penyidikan. Padahal dalam setiap kasus-kasus tanah BPN juga adalah lembaga yang selama ini menjadi bagian atau pihak yang turut menyumbang dalam setipa konflik. Sehingga, usaha-usaha ini akan menyulitkan pihak korban dalam mengungkap kasus sebenarnya.
6. Pasal 8 ayat 1: BPN dan Polri akan membentukteam Adhoc Penyelesaian Tanah di tingkat pusat hingga Kota/Kabupaten. Aturan pembentukan ini secara teknis akan diatur oleh Kepala BPN. Namun melihat telah dibentuknya team tersebut di wilayah-wilayah seperti telah dirilis media massa. maka sesungguhnya Kepala BPN telah membuat team tersebut yang dalam aplikasinya tidak melibatkan masyarakat. Padahal, konflik tanah selama ini telah dipahami sebagai sebuah konflik yang harus dilihat dalam multi-aspek.
7. Pasal 8 ayat 2: Dalam menentukan ketentuan-ketentuan tersebut akan dibentuk forum komunikasi pertanahan dari tingkat pusat dan daerah. Ini adalah forum yang cenderung menguatkan pihak BPN dan Polri dalam menjalankan fungsi-fungsi dalam pasal 6 semata.
8. MoU ini adalah kelanjutan dari MoU 3 tahun sebelumnya. Sehingga perlu diketahui laporan-laporan dan keberhasilan dari proses sebelumnya. Karena selama ini tidak Nampak keberhasilan penyelesaian sengketa tanah yang mengedepankan hak-hak korban khususnya rakyat dan kaum tani tak bertanah. Jadi sebenarnya MoU ini tidak layak dilanjutkan. Dengan demikian, hal tersebut dinilain menjauhkan proses penyelesaian konflik agraria sebagai bagian utama proses dari Pembaharuan Agraria.

Demikianlah hal ini kami sampaikan. Atas perhatian dan konsistensi Bapak/ibu dalam perjuangan rakyat kami mengucapkan terimakasih.
Wabillahi Taufiq Walhidayah
BANGUN PERSATUAN GERAKAN RAKYAT,
LAWAN IMPERIALISME-NEO LIBERAL!!

Komite Pimpinan Pusat – Serikat Tani Riau
(KPP-STR)

Ketua Umum, Riza Zuhelmy Sekretaris Jenderal, Muhammad Hambali



Tidak ada komentar:

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]