15 Agustus, 2008

[ac-i] kota jawa menelan lingkungan

JAWA POS -opini-Kamis, 15 Mei 2008,
Mengurangi Dampak Perluasan Kota di Jawa

Oleh Gutomo Bayu Aji
Dalam State of World Population 2007 dinyatakan, pada 2008 ini, lebih dari separo penduduk dunia (3,3 miliar) tinggal di daerah urban. Pada tahun ini juga, IPADI (Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia) memperkirakan tingkat urbanisasi di Indonesia mencapai 50 persen.

Perubahan desa-desa menjadi kota di Indonesia, khususnya di Jawa, sekarang jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan. Selama tiga dekade terakhir, banyak desa di Jawa yang direklasifikasi statusnya menjadi
kota. Penduduk kota, khususnya di Jawa, mengalami lonjakan dengan rata-rata tingkat pertumbuhan lebih dari 3,5 persen.

Fenomena perluasan kota telah menjadi wacana dominan pembangunan di Indonesia saat ini. Daerah-daerah pinggiran kota (urban fringe) berkembang secara cepat dan khususnya di Jawa cenderung tidak terkendali seperti "katak melompat" (leap frogging development), sehingga mendeformasi struktur sosial dan spasialnya.

Penaklukan
Berbagai dampak perluasan kota yang tidak terkendali sekarang mengingatkan kita pada serbuan kaum migran Eropa ke benua Amerika atas Indian serta tanah Aborigin di Australia abad ke-17. Kaum migran Eropa
itu, antara lain, mempertontonkan pembentukan kota-kota di kedua benua tersebut yang diwarnai penaklukan.

Melalui kartografi, "benua kosong" itu dipetakan secara semena-mena. Hak tradisional penduduk asli diabaikan, bahkan dipandang secara sub-human. Waktu itu, peta telah berubah fungsi menjadi alat eksploitasi sekaligus menegaskan arogansi euro-centrism di kalangan penduduk asli.

Tradisi penaklukan tersebut diwariskan hingga saat ini yang mana melalui citra landsat, sebuah peta bisa disulap dengan mudah menjadi suatu tata ruang kota yang memiliki informasi amat detail. Peta itu kemudian ditetapkan melalui peraturan pemerintah sebagai kodifikasi bagi pengembang.

Tradisi tersebut kini dijustifikasi secara legal. Namun, lemahnya penegakan hukum membuat perluasan kota tetap seperti "katak melompat". Memecah struktur ruang tradisional, menimbulkan fragmentasi dan konversi lahan secara luas yang diwarnai penaklukan terhadap kehidupan masyarakat pinggiran kota.
Marginalisasi

Sebagian ahli demografi percaya bahwa urbanisasi yang cepat akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Pada pola "katak melompat" ini, tidak seluruhnya benar. Penetrasi yang dilakukan di daerah pinggiran kota justru telah menyebabkan penduduk di daerah itu termarginalkan.
Tak ubahnya Indian dan Aborigin pada awal abad ke-17, kebanyakan penduduk di daerah pinggiran kota yang terkena dampak perluasan kota itu justru kehilangan nafkah dan mata pencaharian. Mereka terlempar dari sektor pertanian dan terperangkap dalam kemiskinan perkotaan.

Harapan bagi kaum marginal hanyalah sektor informal perkotaan, khususnya yang berkarakteristik pedagang kaki lima. Walaupun banyak pengamat menyatakan sektor itu merupakan roda perekonomian kota, kenyataannya tidak mendapat tempat di dalam sistem kota. Sering sektor itu terkena imbas kebijakan penertiban atau penggusuran.

Upaya formalisasi sektor informal sering mengalami kegagalan karena dilakukan tanpa memperhitungkan kemampuan daya beli dan akses mereka terhadap infrastruktur yang disediakan pemerintah. Alhasil,
meski menjadi juru selamat krisis ekonomi wong cilik, sektor itu sering diperlakukan seperti anak tiri.
Pengembangan Desa-Kota

Sekarang, perluasan kota dengan dalih apa pun akan terjebak dalam tradisi penaklukan itu. Masalahnya, tata ruang tersebut sering dibuat secara subjektif tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah
pinggiran kota yang berciri desa-kota.

Perluasan kota dengan tanpa memperhatikan kepentingan desa-kota tak ubahnya pengembangan wilayah sepihak yang hanya memperhatikan kepentingan kota. Sementara desa-kota yang berciri agraris dengan kelompok paling rentan, yakni petani kecil serta buruh tani, hanya akan menjadi korban perluasan kota.
Saatnya perluasan kota dilakukan secara lebih terencana dan manusiawi. Yakni, dengan cara merekonstruksi tata ruang kota yang cenderung subjektif ke arah desa-kota yang lebih objektif. Dengan kata lain, meletakkan isu perluasan kota itu dalam perencanaan pengembangan wilayah inter-regional.

Gutomo Bayu Aji, peneliti di Pusat Penelitian
Kependudukan, LIPI, Jakarta
http://artculture-indonesia.blogspot.com/2008/05/ac-i-kota-jawa-menelan-lingkungan.html




Tidak ada komentar:

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]