30 Oktober, 2008

Solusi Dalam Menghambat Laju Deforestasi Dan Degradasi Hutan di Indonesia

Keakuratan, Ketersediaan Dan Keterbukaan Data Serta Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Untuk Perencanaan Tata Ruang Wilayah Sebagai Solusi Dalam Menghambat Laju Deforestasi Dan Degradasi Hutan di Indonesia

Jakarta, 28 Oktober 2008. Forest Watch Indonesia bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Global Forest Coalition dan Ikatan Cendekiawan Tanimbar Indonesia mengadakan pertemuan dengan tema 'Laju dan Penyebab Deforestasi dan Degradasi hutan di Indonesia' pada tanggal 27 dan 28 Oktober 2008. Pertemuan ini dihadiri oleh ornop lingkungan, Departemen Kehutanan, organisasi masyarakat adat, akademisi dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.

Ada beragam data yang menunjukkan rata-rata laju deforestasi di Indonesia dari tahun ke tahun. Forest Watch Indonesia mengungkapkan bahwa laju deforestasi selama periode 1989 – 2003 adalah 1,9 juta hektar. Sementara Badan Planologi Departemen Kehutanan membagi dalam tiga periode yaitu, 1985 – 1997 sebesar 1,87 juta hektar, 1997 – 2000 sebesar 2,83 juta hektar dan 1,08 juta hektar pada periode tahun 2000 – 2005. FAO mencatat laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,87 juta hektar selama 2000 – 2005. Berapa pun angka yang ditampilkan, menunjukkan bahwa laju deforestasi dan degradasi di Indonesia sangat tinggi dari waktu ke waktu.

Tingginya permintaan pasar global akan komoditi berbasis sumber daya alam seperti: kayu, minyak sawit, pulp, tambang, dan kertas mendorong sikap reaktif dan oportunis pemerintah untuk mengeluarkan banyak kebijakan sektoral yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan, eksploitatif dan tidak berkelanjutan. Di sisi lain, perencanaan dan pengawasan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan oleh pemerintah tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang berarti. Misalnya sampai saat ini dari 120,35 juta hektar kawasan hutan yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan baru sekitar 12% yang dikukuhkan atau di tata batas (temu gelang).

Deforestasi dan degradasi hutan menyebabkan dampak lingkungan seperti: hilangnya keanekaragaman hayati, bencana alam, dan hilangnya sumber-sumber penghidupan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Dalam konteks perubahan iklim global, kebakaran hutan dan lahan menjadikan Indonesia negara ke-3 penyumbang emisi CO2 terbesar di dunia.

Pertemuan ini merumuskan bahwa akar masalah dari deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia, antara lain:
- Lemahnya perencanaan tata ruang wilayah dan sinkronisasi antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan (pusat, daerah tingkat I dan daerah tingkat II) mengakibatkan inkonsistensi kebijakan terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan.
- Lemahnya akomodasi dan perlindungan negara terhadap hak-hak masyarakat adat.
- Lemahnya keakuratan, ketersediaan dan keterbukaan data dari para pihak yang memiliki kewenangan terhadap isu pengelolaan sumberdaya hutan.
Informasi lebih lanjut,
kontak:Wirendro Sumargo
Public Campaign And Policy Dialogue Coordinator
Forest Watch Indonesia,
HP: +62 8159280585,email: rendro@fwi.or.id
Sekretariat Forest Watch Indonesia Jalan Sempur Kaler No.26 Bogor,
Telp: +62 251 8323664,
Fax: +62 251 8317926,
website www.fwi.or.id

Read More......

28 Oktober, 2008

Ketika Kelapa Sawit Menjadi Primadona

Lembar Informasi

Ketika Kelapa Sawit Menjadi Primadona

Sejak tahun 2000-an kelapa sawit menjadi komoditas yang terus berkilau, kebutuhan pasar di Eropa yang terus meningkat dari tahun ketahun tak hanya untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan dan kosmetik tapi minyak sawit mampu menggantikan minyak bumi sebagai bahan bakar alternatif. Kondisi ini kemudian menjadi pemantik bagi terus meluasnya perkebunan kelapa sawit. hingga tahun 2007 luas perkebunan kelapa sawit mencapai 7,4 juta ton dan terus akan meningkat, akibat rencana pemerintah untuk menambah areal perkebunan kelapa sawit hingga mencapai 24 juta hektar di tahun 2010. Di Indonesia, hampir seluruh propinsi meletakkan sektor kelapa sawit menjadi sumber pendapatan daerah, tak heran jika seluruh propinsi mencanangkan pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam program pembangunan didaerahnya, termasuk propinsi Jambi.

Hukum pasar pun berlaku, dimana ketika kebutuhan meningkat maka akan menaikkan harga. Ini juga terjadi bagi kelapa sawit, sejak tahun 2006 hingga pertengahan 2008, petani kelapa sawit menjadi pihak yang paling diuntungkan dengan naiknya harga bahan baku. Betapa tidak harga yang semula hanya berkisar Rp 600-700/Kg, di awal tahun 2008 harga Tandan Buah Segar (Fresh Fruit Brunch) ditingkat petani kelapa sawit tembus pada level Rp 2.000/Kg, kenaikan harga kelapa sawit mencapai 250 persen! Walau sebenarnya keuntungan tersebut harus dibayar dengan turut naiknya harga pupuk.

Melihat kondisi harga Tandan Buah Segar (TBS) yang menjanjikan, tak hanya program pemerintah saja yang berubah haluan untuk terus mempromosikan kelapa sawit sebagai sektor unggulan, pihak perbankan juga demikian, sektor kelapa sawit adalah sektor yang paling diminati untuk didukung dengan pendanaannya1.

Keuntungan yang berlipat ditingkat petani kelapa sawit telah melahirkan budaya konsumtif ditingkat petani. Jika dulu petani kelapa sawit hanya memiliki 1 kavling
kebun sawit, karena dianggap menjanjikan, petani pun memperluas kebunnya dengan dukungan dari perbankan, petani yang dulu bertani pangan lokal, kini berubah profesi menjadi petani sawit, petani sawit yang dulu hanya bisa jalan kaki, kini sudah punya sepeda motor, dan bahkan sangat jarang petani kelapa sawit yang tidak membeli kendaraan roda dua. Ini adalah akibat "booming" kelapa sawit. Tapi siapa sangka, jika krisis di Amerika yang dimulai dari kredit macet perumahan dampaknya sampai di indonesia? sampai di propinsi Jambi? Siapa sangka krisis di Amerika itu telah merontokkan harga Tandan Buah Segar (TBS) milik petani di Propinsi Jambi?

Krisis Amerika, Krisis Global : Korban Lokal

Jika sepanjang tahun 2006-2008 adalah saat-saat keemasan bagi kelapa sawit dan petaninya, di penghujung tahun 2008, krisis di Amerika telah mengubahnya menjadi bencana yang menghancurkan. Harga Tandan Buah Segar (TBS) yang turun akibat rendahnya permintaan pasar ekspor 2 akan CPO telah memporak-porandakan perekonomian petani kelapa sawit di Indonesia. Betapa tidak harga Tandan Buah Segar

(TBS) yang sempat menyentuh level Rp 2.100/Kg kini hanya bertahan pada kisaran harga Rp 200 – Rp 300/Kg, bahkan disalah satu kabupaten di Propinsi Jambi melorot ke harga Rp 80/Kg 3.

Di propinsi Jambi, krisis di Amerika yang telah berkembang menjadi krisis global, menyebabkan peningkatkan jumlah penderita di Rumah Sakit Jiwa di Propinsi Jambi, di bulan Oktober 2008 ini tercatat 140 jiwa pasien baru akibat depresi dan berprofesi sebagai petani kelapa sawit 4 , penyebabnya adalah hutang yang menumpuk dan tidak mampu membayar karena harga Tandan Buah Segar (TBS) yang rendah. Tak hanya itu, informasi dari aktivis Yayasan SETARA Jambi yang menjadi pendamping petani kelapa sawit, di wilayah Hitam Ulu, Kabupaten Merangin, 1 orang petani kelapa sawit bunuh diri karena tidak mampu lagi membayar hutang di bank.

Krisis Amerika telah memberikan pukulan telak bagi komunitas petani di pelosok pedalaman perkebunan di Jambi!

Pemerintah Indonesia : Subdisi Bagi Orang Kaya

Ketika kelapa sawit "Booming", pemerintah selalu berkampanye tentang keunggulan kelapa sawit, salah satu contohnya, program Gubernur Propinsi Jambi tentang
pembangunan "Kelapa Sawit Sejuta Hektar". Tapi, ketika petani terpuruk dengan harga Tandan Buah Segar (TBS) yang rendah, pemerintah bersikap tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya mendorong petani kelapa sawit untuk tetap bersabar menghadapi krisis. Tapi betulkah demikian, betulkah pemerintah Indonesia tidak melakukan tindakan apa-apa, kemana sebenarnya keberpihakan pemerintah di saat krisis ini?

Untuk mencegah agar krisis di Amerika tidak terus menghantam sektor lainnya, pemerintahan Goerge W Bush mengeluarkan kebijakan "Bailout" yang disetujui oleh Parlemen Amerika. Isi paket "Bailout" memuat tiga hal yakni ; pemerintah diperbolehkan mengucurkan dana sebesar 700 miliar dollar AS untuk membeli utang kredit perumahan yang bermasalah, menaikkan jaminan simpanan di Bank sebesar 100.000 dollar AS menjadi 250.000 dollar AS/orang, dan membolehkan lembaga penjamin simpanan untuk meminjam dana talangan sebesar apapun kepada negera. Untuk mencegah krisis ekonomi yang diakibatkan oleh para spekulan di pasar saham, pemerintah Amerika mengorbankan rakyatnya, karena jelas dana talangan tersebut adalah dana rakyat Amerika yang diperoleh dari pajak.

"Ramai-ramai menyelamatkan kalangan berduit atau Orang Kaya!", mungkin ini pantas di ucapkan, bagi langkah yang ditempuh pemerintah Amerika, yang kemudian diikuti oleh pemerintah Negara Eropa juga menular ke pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia "mencetak kilat" Perpu Nomor 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, dimana Perpu ini membantu Bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan persoalan perbankan lainnya akibat krisis ini. Pemerintah Indonesia juga mengambil kebijakan "Buy Back" untuk saham-saham BUMN, juga menaikkan jaminan tabungan sampai ke jumlah 2 Milyar Rupiah (siapa yang bisa punya tabungan sebesar ini? bukan rakyat miskin, tapi orang kaya!). "Paket" penanggulangan krisis ini menggambar jelas bahwa pemerintah Indonesia dan pemerintah global lebih berpihak

pada kaum berduit ketimbang berpihak kepada rakyat, termasuk petani yang saat ini sedang sengsara akibat krisis ekonomi global. Paket penyelamatan di Indonesia yang memberikan privelege kepada kelompok berduit telah mengiris hati rakyat terutama petani kelapa sawit. Disaat petani terperosok akibat kebijakan pemerintah dan pasar global, sehingga ada yang bunuh diri, karena tidak bisa membayar cicilan kredit akibat harga Tandan Buah Segar (TBS) yang rendah, pada saat yang sama pemerintah memberikan insentif bagi kelompok berduit. Petani kelapa sawit di minta untuk terus bersabar jika bangkrut, disaat yang sama, pemerintah Indonesia memberikan jaminan dan perlindungan perbankan bagi kelompok berduit tidak bangkrut. Tak Adil!

Lembar Informasi ini merupakan "Inisiatif Cepat" dari beberapa Organisasi Masyarakat Sipil yang berbasis di Jambi untuk merespon persoalan krisis global dan dampaknya bagi komunitas lokal, terutama petani dan buruh.

Organisasi Masyarakat Sipil yang terlibat diawal adalah Yayasan SETARA Jambi, Komite Kerja Perjuangan Buruh (KKPB) Jambi, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Jambi dan Yayasan CAPPA. Keempat organisasi terus mencoba memperluas dan mendorong koalisi dan masyarakat sipil di propinsi Jambi terkait persoalan krisis global dan dampaknya bagi komunitas lokal.


Alamat Kontak :
Yayasan SETARA (uki@setarajambi.org )
KKPB Jambi (sga_07@yahoo.com )
Yayasan CAPPA (rivani@cappa.or.id )


1 Investor daily, 28 Februari 2008
2 Amerika menjadi pasar CPO dari Indonesia, baru kemudian Negara-negara Eropa lainnya.
3 Jambi Ekspres, 24 Oktober 2008
4 TVRI Jambi dalam BERITA Jambi, 26 Oktober 2008

Read More......

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]