16 Agustus, 2008

Implementasi Tata Ruang Daerah Aliran Sungai Untuk Mencegah Terjadinya Banjir Dan Tanah Longsor

Dalam lima tahun terakhir, bencana banjir dan longsor terjadi hampir di seluruh Indonesia. Bencana tersebut dari tahun ke tahun bukannya menurun malahan semakin meningkat. Kerugian materiil jika dihitung mencapai trilyunan rupiah, belum lagi korban jiwa yang meninggal. Dan, pada akhirnya, bencana banjir dan tanah longsor selalu menyisakan duka bagi rakyat.

Dalam hal masalah banjir dan tanah longsor, siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab? Apakah tidak ada institusi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap Daerah Aliran Sungai? Bagaimana mengatasi bahaya banjir dan tanah lonsor yang dari tahun ke tahun semakin meningkat?


Daerah Aliran Sungai (DAS)
Banjir bandang dan kekeringan di musim kemarau menunjukkan fenomena perubahan tata air sebagai bentuk respon alam atas interaksi alam dan manusia dalam sistem pengelolaan. Hal ini dapat ditangkap sebagai suatu fenomena pengelolaan sumber daya alam telah menimbulkan kerusakan siklus air. Air hujan yang jatuh di atas bumi cepat menjadi aliran permukaan dan langsung ke sungai, sangat sedikit yang meresap ke dalam tanah. Analisis kerusakan siklus air tersebut harus menggunakan satuan DAS, karena perubahan tata air yang terjadi dalam suatu DAS merupakan resultante dari interaksi pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerah tangkapannya (catchment area). DAS sudah tidak mampu lagi menampung dan menyimpan curah hujan, karena daya dukung lingkungannya telah rusak.

DAS didefinisikan sebagai "a geographic area that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to conserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for crop production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each other's interests". (IFPRI, 2002). DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Pengelolaan DAS adalah bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai dapat merata sepanjang tahun.

Dalam suatu sistem DAS, hujan adalah faktor input, DAS itu sendiri sebagai prosesor, dan tata air di hilir sebagai output. Apabila hujan sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan, maka kondisi tata air kemudian akan sangat tergantung pada kondisi DAS. Di dalam DAS terdapat bermacam-macam penggunaan lahan, antara lain hutan, pertanian lahan kering, persawahan, pemukiman, kawasan industri, perkebunan, dan lain sebagainya. Mekanisme air hujan sampai menjadi air sungai di outlet mengikuti proses siklus air. Dengan demikian, maka jalannya air hujan sampai menjadi aliran air di sungai akan tergantung pada seluruh penggunaan lahan di DAS.

Selama ini penggunaan lahan hutan dianggap paling berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan. Secara tradisional hutan memang mempunyai kemampuan tinggi dalam mengatur tata air, tetapi menurut penelitian, pada curah hujan tertentu (ekstrim), hutan menjadi tidak efektif dalam mengendalikan tata air. Dengan gambaran tersebut, maka dapat dipahami bahwa penanganan masalah lingkungan, terutama banjir dan kekeringan akan sangat tergantung pada pengelolaan setiap jenis penggunaan lahan di DAS. Sementara itu, setiap jenis penggunaan lahan akan terkait pada banyak institusi. Hal ini berarti penanganan masalah lingkungan akan menyangkut banyak pihak terkait dalam suatu tatanan kelembagaan.

Susahnya Koordinasi
Semakin meningkatnya bencana banjir dan tanah lonsor menunjukkan bahwa pengelolaan DAS telah gagal. Banyak intitusi yang berada di DAS, namun mereka berjalan sendiri-sendiri, tidak ada yang mengkoordinir. Departemen Pekerjaan Umum (PU) melakukan pendekatan pembangunan dan pengelolaan DAS (River Basin Management) dengan konsep "satu wilayah sungai satu pengelolaan" (one river one management). Untuk implementasinya dibentuk lembaga yang bertanggung jawab terhadap keseimbangan hidrologi DAS yang disebut Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BP-SDA). Sementara Departemen Kehutanan mempunyai Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) yang mempunyai tugas dalam perencanaan pengelolaan daerah aliran sungai dan pengembangan model pengelolaan daerah aliran sungai. Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota mempunyai Bappeda dan Dinas Lingkungan Hidup, yang mempunyai tugas dalam perencanaan suatu daerah yang dapat memberikan suatu kondisi lingkungan yang semakin baik serta dinas dinas teknis lainnya.

Dalam era otonomi, pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Daerah Provinsi harus mampu mengkoordinir seluruh institusi berada di daerahnya untuk bersama sama menyusun suatu tata ruang dalam suatu DAS. Mengingat DAS tidak mengenal batas administrasi, dan pada umumnya melalui berbagai daerah kabupaten/kota, maka harus ada kerja sama antara kabupaten/kota untuk bersama sama menyusun tata ruang dengan pendekatan DAS. Tata ruang yang selama ini membedakan ruang atas dua kawasan, yakni kawasan lindung dan kawasan budidaya, harus ditempatkan dalam suatu DAS. Pemda membuat tata ruang mikro sebagai penjabaran lebih lanjut dari kawasan lindung dan kawasan budidaya dalam kesatuan DAS. Data dari BP-DAS dan BP-SDA harus dimanfaatkan secara maksimal untuk satu tujuan, yakni bagaimana mencegah atau mengurangi bahaya banjir dan tanah longsor.

Pada dasarnya ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi focus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan melalui daur hidrologi.
Menyadari ekosistem DAS, maka harus ada pemahaman bersama bagi pemda kabupaten/kota, akan pentingnya daerah hulu dan tengah suatu DAS. Pemerintah harus memberikan suatu reward kepada pemda kabupaten/kota bagian hulu yang melakukan kegiatan-kegiatan pelestarian alam. Bahkan mekanisme reward ini harus dibangun bersama antar pemda kabupaten/kota dalam suatu DAS. Pemda kabupaten/kota bagian hilir memberikan dana kepada pemda kabupaten/kota bagian hulu untuk kegiatan yang dapat mencegah bahaya banjir dan tanah longsor, seperti : penghijauan, reboisasi, pembuatan embung atau bahkan pembuatan bendungan, dan lain sebagainya. Sebaliknya pemda kabupaten/kota bagian hulu dengan dalih apapun tidak diperkenankan mengeksploitasi sumber daya alam yang dapat menyebabkan banjir dan tanah longsor, seperti penebangan hutan, penggalian pasir, dsb.

Namun, tata ruang bagaimanapun baiknya, yang lebih penting adalah implementasi dari tata ruang itu sendiri. Pengalaman menunjukkan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah tidak mampu melaksanakan apa yang telah direncanakan. Sebagai contoh adalah implementasi UU Nomor 41 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa luas hutan minimum dalam suatu daerah adalah 30% yang tersebar secara proposional, tidak mungkin dipenuhi khususnya di Pulau Jawa. Jika terjadi bencana banjir dan tanah longsor siapa yang salah?

http://bambangwinarto.blogspot.com/2008/04/implementasi-tata-ruang-daerah-aliran.html



Read More......

Pengenala Model Implementasi Penataan Ruang Kawasan Pesisir

Jakarta, 26/04/07. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) pada Departemen Kelautan dan Perikanan sangat berkepentingan dalam tugas pokok dan fungsinya menyelenggarakan pembinaan pembangunan wilayah pesisir. Berbagai kegiatan selama ini telah dilakukan melalui pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), konservasi, penataan ruang, pemberdayaan pulau-pulau kecil, dan program pengelolaan pesisir lainnya. Upaya untuk dapat meningkatkan pembinaan terus dilakukan. Dalam rangka penataan dan peningkatan kondisi lingkungan pesisir, maka dilakukan kegiatan pengelolaan lingkungan berbasis pemberdayaan masyarakat (PLBPM). Kegiatan PLBPM ini digagas pertama kali oleh Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang pada waktu itu masih dijabat Ir. Widi Agoes Pratikto, Phd.

Esensi PLBPM terutama terletak pada pendekatan pelaksanaannya di lapangan yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat, sejak dari perencanaan sampai kepada pelaksanaannya dengan dibantu melalui kegiatan-kegiatan pembinaan / pembimbingan, pendampingan, dan pengendalian. Pendekatan ini cukup efektif dalam menumbuhkan partisipasi aktif di kalangan masyarakat target group, respon yang positif serta komitmen dukungan dari stake holders, Pemerintah Daerah, dan lembaga / institusi lain terkait

Wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut memiliki keragaman potensi sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan nelayan dan berbagai kepentingan pengembangan. Oleh karena itu wilayah pesisir juga cenderung mengalami tekanan pembangunan yang kadang melampaui dayadukungnya. Kegiatan pemanfaatan ruang berpotensi konflik dan menimbulkan dampak degradasi lingkungan seperti rusaknya kawasan mangrove, karang, dan habitat perikanan lain, proses abrasi pantai, serta pencemaran.
Pada sisi lain, masyarakat pesisir yang sebagian besar terdiri dari para kaum nelayan, pada umumnya memiliki kehidupan ekonomi yang relatif lemah dan kurang tersentuh oleh perhatian pembangunan. Hal tersebut telah menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang menyatu dengan permasalahan lingkungan. Kondisi rumah yang tidak sehat, lingkungan permukiman yang tidak tertata serta tidak didukung oleh prasarana secara memadai tergambar dari buruknya sistem sanitasi (drainase, persampahan, air bersih, MCK), jalan lingkungan, serta terbatasnya prasarana lingkungan dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi setempat.

Kita melihat bagaimana fenomena masalah kemiskinan masyarakat pesisir tersebut sudah menjadi suatu trade mark tersendiri. Berbagai program pembangunan telah banyak dilakukan dalam upaya memajukan kawasan pesisir, tetapi sangat jarang adanya program yang secara langsung menyentuh pada tataran masyarakatnya.
Model kegiatan Pengelolaan Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PLBPM) mungkin akan mengubah paradigma kita dalam pelaksanaan program, dari pendekatan 'proyek' kepada suatu proses pengelolaan dari dan oleh masyarakat sendiri. PLBPM diharapkan dapat menjadi suatu program yang tidak saja manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, tetapi juga masyarakat sendiri yang mengelola dan menentukan keputusan pilihannya, bahkan memberikan sharing dan partisipasi dalam pelaksanaannya. Kita optimis bahwa program yang bertumpu pada masyarakat seperti itu akan memberikan efektifitas serta dampak kemanfaatan yang lebih besar dalam upaya memajukan kawasan pesisir di masa mendatang.

Jiwa PLBPM terletak pada esensinya dalam memberikan pembelajaran secara tidak langsung kepada masyarakat pesisir agar mereka dapat menemukan cara-cara pemecahan permasalahan dan kebutuhannya dari diri mereka sendiri dengan memberdayakan segenap potensi yang ada, sehingga pada saatnya diharapkan terjadi keberlanjutan pengelolaan oleh masyarakat; serta Pemerintah Daerah bersama stake holders terkait lainnya mengambil peran pengembangan keberlanjutan tersebut ke dalam proses pembangunan wilayah Daerahnya. Keberlanjutan seperti itu dapat dicontohkan di Kabupaten Bengkalis, dimana hasil PLBPM telah diakomodir oleh Pemerintah Daerah ke dalam suatu rencana pembangunan kawasan dengan visi yang lebih luas untuk lima tahun ke depan.

Kegiatan PLBPM difokuskan pada hasil (output) fisik yang betul-betul memberikan manfaat riil bagi masyarakat pesisir sesuai dengan permasalahan dan prioritas kebutuhan mereka di lapangan saat pelaksanaan. Kegiatan fisik tersebut meliputi peningkatan / perbaikan ekosistem pesisir; peningkatan / perbaikan / pembangunan infrastruktur lingkungan permukiman; serta peningkatan / perbaikan / pembangunan rumah.
Kelompok sasaran (target group) PLBPM adalah masyarakat pesisir yang sebagian besar meliputi nelayan dan pembudidaya ikan, serta masyarakat pesisir lainnya yang bermukim sebagai satu komunitas di kawasan pesisir dengan taraf ekonomi relatif lemah atau miskin, mempunyai kondisi lingkungan permukiman yang buruk, serta diutamakan berada pada kawasan yang mengalami permasalahan degradasi lingkungan pesisir. Kelompok sasaran tersebut bermukim pada satu kawasan target group yang berskala lingkungan, dengan luasan sekitar satu desa / kelurahan; atau dapat merupakan bagian dari desa / kelurahan.

Dalam mekanisme anggaran program, DIPA PLBPM diturunkan langsung kepada masing-masing Kabupaten / Kota cq. Dinas Kelautan dan Perikanan. Penyaluran anggaran kepada desa / kelurahan lokasi target group dilakukan secara bertahap, dari KPPN ke dalam rekening bank setempat lembaga kemasyarakatan yang merupakan lembaga formal yang betul-betul dekat / mewakili target group serta mempunyai kredibilitas tanggungjawab yang dapat dipercaya. Dalam PP No.72 / 2005 tentang Desa, yang dimaksud dengan Lembaga Kemasyarakatan misalnya RT, RW, PKK, Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat atau sebutan lain.

Lembaga kemasyarakatan tersebut akan bertanggungjawab dalam pencairan / penggunaan / penyaluran dana untuk pelaksanaan kegiatan target group melalui pemberdayaan masyarakat. Mekanisme penyaluran dana dituangkan melalui SPK (Surat Perjanjian Kerja) antara PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dengan lembaga kemasyarakatan.

Pelaksanaan program PLBPM secara keseluruhan dikendalikan agar mencapai esensi tujuannya melalui pembinaan / pembimbingan, pengarahan, pendampingan, pemantauan, dan evaluasi dari Pusat (Ditjen. KP3K) dan Daerah, baik dari Provinsi (melalui pelibatan peran Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi) maupun di Kabupaten / Kota bersangkutan (oleh Forum Koordinasi Teknis Daerah; Tenaga Ahli Pendamping; Tim Teknis Pengendali Daerah).

Pada tahun anggaran 2006, PLBPM telah dilaksanakan di 20 Kabupaten / Kota. Hasilnya menunjukkan adanya respon yang sangat positif dan mencerminkan tercapainya esensi tujuan pemberdayaan masyarakat. Partisipasi aktif masyarakat pesisir telah didorong tumbuh. Berbagai bentuk sharing telah diberikan oleh masyarakat di seluruh daerah lokasi PLBPM, seperti berupa sumbangan material, tenaga kerja yang tidak diupah, dan lahan yang disediakan untuk pembangunan fasilitas umum. Di Kabupaten Serdang Bedagai misalnya, masyarakat secara swadaya membangun MCK dan melakukan renovasi rumah. Hal yang sama dilakukan oleh warga di Kabupaten Bengkalis yang berswadaya membangun jalan. Di Kota Bima warga merelakan tanahnya untuk pelebaran jalan. Di Kabupaten Ciamis, Jepara, dan Tegal masyarakat memberikan sumbangan material berupa semen, batu, dan pasir yang tidak sedikit nilainya, serta banyak lagi bentuk-bentuk sharing masyarakat di lokasi lainnya.
Beberapa Daerah menunjukkan komitmennya terhadap kegiatan PLBPM dengan menyediakan anggaran pendamping. Dukungan juga diperoleh dari instansi lain seperti Kementerian Perumahan Rakyat, beberapa Dinas Teknis, serta lembaga / institusi yang berada di Daerah setempat berupa kolaborasi program yang diintegrasikan pelaksanaannya dengan lokasi PLBPM, seperti di Kab. Nunukan, Kab. Bengkalis, Kab. Ciamis, dan beberapa lagi di Kabupaten lainnya. Adanya berbagai bentuk partisipasi, sharing, kolaborasi, dan bahkan tindaklanjut pengembangan terhadap hasil-hasil PLBPM seperti itulah yang justru kita harapkan, sehingga pada saatnya pemberdayaan pengelolaan berjalan secara berkelanjutan oleh masyarakat dan Pemerintah Daerah.
Kita bersyukur bahwa pada tahun anggaran 2007 ini dapat melaksanakan kembali program PLBPM. Rasanya ada suatu tanggungjawab moril yang melekat, dan ada suatu kepuasan bathin yang tidak dapat dinilai secara materiil pada kita dalam melaksanakan program ini. Untuk tahun anggaran 2007, PLBPM dilaksanakan di 23 Kabupaten / Kota, yaitu 8 (delapan) Kabupaten / Kota merupakan lokasi baru; dan 15 (lima belas) Kabupaten / Kota merupakan lokasi tindaklanjut PLBPM tahun 2006.

Pada Kabupaten / Kota lokasi tindaklanjut PLBPM tahun 2006, kegiatan diarahkan untuk menindaklanjuti komponen fisik yang masih belum selesai atau belum berfungsi atau belum dapat dimanfaatkan. Misalnya, untuk melanjutkan pembangunan jalan lingkungan yang di tahun 2006 baru sebagian dibangun, padahal jalan tersebut semestinya baru dapat berfungsi apabila sudah dibangun seluruhnya. Atau misalnya, untuk melanjutkan kekurangan jumlah pembangunan / rehabilitasi rumah yang sudah dilakukan di tahun 2006. Kegiatan pembangunan fisik yang sifatnya baru juga dapat dipilih sejauh merupakan kebutuhan prioritas yang disepakati bersama oleh masyarakat target group.

Selain diarahkan untuk menindaklanjuti kegiatan fisik, juga dilakukan pembinaan dalam rangka melembagakan keberlangsungan pemberdayaan masyarakat. Misalya, kegiatan yang ditujukan untuk penguatan kelembagaan / kelompok masyarakat, pembinaan motivator, penyuluhan masyarakat, penyusunan / penetapan suatu Peraturan Desa / Kelurahan mengenai pengelolaan PLBPM, dan lain-lainnya.

Sejalan dengan itu, disusun desain tata ruang kawasan target group ke depan, serta bagaimana mengintegrasikannya dengan konsep tata ruang wilayah yang lebih luas, sehingga kawasan target group akan menjadi bagian dari proses pengembangan dan pembangunan wilayah Kabupaten / Kota. Desain atau konsep tersebut perlu dibicarakan bersama sejak penyusunannya pada tataran rembug desa / kelurahan. Bagaimana mengisinya, dibahas dalam Forum Koordinasi Teknis Daerah. Pada kesempatan tersebut diharapkan dapat digalang komitmen mengenai peran dan tanggung jawab masing masing pihak di Daerah Kabupaten / Kota, Provinsi, Kecamatan, Desa / Kelurahan, masyarakat target group, dan stakeholders terkait lain (investor / swasta) dalam pemeliharaan dan pengelolaan hasil PLBPM yang telah dibangun, termasuk pengembangannya. Komitmen dapat berupa sharing program, penganggaran pembangunan di Daerah, ataupun akomodasi hasil PLBPM ke dalam satu konsep / rencana pembangunan kawasan dengan dimensi yang lebih luas.

Pelaksanaan PLBPM diharapkan memberikan dampak kemanfaatan terhadap empat hal, yaitu:
(1) Tersedianya kesempatan kerja alternatif khususnya bagi masyarakat nelayan pesisir yang sementara waktu tidak dapat melaut akibat dampak kenaikan harga BBM ataupun pada saat cuaca buruk. Masyarakat dapat memperoleh upah kerja pada pekerjaan-pekerjaan fisik dalam pelaksanaan kegiatan PLBPM, seperti pembangunan rumah, infrastruktur lingkungan, dan penanaman mangrove;
(2) Terciptanya kondisi lingkungan pesisir yang lebih baik dan mendukung bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan pendapatan dan kegiatan ekonominya, seperti dengan dibangunnya tambatan perahu, jalan lingkungan / jalan poros, sumber air bersih, listrik desa, dan rumah serbaguna.
(3) Pebaikan kondisi ekosistem pesisir yang mengalami degradasi, seperti dengan kegiatan penanaman mangrove, transplantasi karang, dan pembangunan talud untuk mengurangi abrasi pantai;
(4) Kegiatan ekonomi masyarakat pesisir yang meningkat dan secara tidak langsung akan masuk ke dalam mekanisme pertumbuhan ekonomi kawasan / wilayah.
Pada akhirnya yang terpenting dan perlu kita garisbawahi, bahwa dalam membangun kawasan pesisir tentunya PLBPM tidak dapat berdiri sendiri dan perlu bersama-sama dengan kegiatan program sektor lain berintegrasi ke dalam satu kerangka program pembangunan ekonomi wilayah / Daerah. Oleh karena itu pembinaan keberlangsungan terhadap hasil kegiatan PLBPM yang telah dicapai sangat diperlukan. Diharapkan masing-masing pihak dapat mengambil peran dan tanggungjawabnya untuk itu, baik di Pusat maupun Daerah (Provinsi, Kabupaten / Kota, Kecamatan) serta Masyarakat bersangkutan (Desa / Kelurahan, Kelompok Masyarakat, Motivator).

Sumber :

Read More......

Cara Berfikir Sistem dan Penerapannya dalam Analisa Persoalan Sosial

Di awal millenium ini dunia sedang menghadapi beberapa persoalan besar yang saling terkait satu sama lain dalam satu jalinan permasalahan yang kompleks. Persoalan-persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan satu bidang keahlian saja, tanpa mengubah secara mendasar cara kita memandang persoalan tersebut. Cara berpikir sistem adalah salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memandang persoalan secara lebih holistik.

Latar Belakang
Setelah duaribu tahun yang tercatat dalam penanggalan, dunia ini telah mengalami perubahan besar di segala bidang kehidupan. Kemajuan teknologi secara signifikan telah menjadikan dunia terhubung dalam suatu jaringan informasi yang memungkinkan orang berkomunikasi dengan orang di belahan dunia yang lain dalam hitungan detik, memberikan pemahaman bahwa bumi hanyalah setiik air di tengah lautan tata surya yang maha luas, memungkinkan orang tahu bahwa di dalam segenggam tanah di hutan tropis Amazon terkandung beraneka ragam spesies bakteri yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada populasi seluruh umat manusia di dunia ini.


Kemajuan ini bukannya tidak berdampak. Kemiskinan sebagai ekspresi dari kesenjangan dan ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan besar-besaran adalah salah satu potret umum yang terjadi di negara-negara yang melakukan pembangunan. Setelah melakukan pembangunan dengan sukses yang tampak dalam GNP dan GDP, ternyata pembangunan menyisakan berbagai persoalan seperti hutang luar negeri yang tak terbayar, kerusakan hutan, berkurangnya sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui, berkurangnya kualitas sumber daya alam yang dapat diperbaharui, meningkatnya kesenjangan sosial, meningkatnya kemiskinan, pelanggaran HAM, perang, dan akumulasi kapital dunia ke tangan perusahaan-perusahaan multinasional yang tak terjangkau oleh hukum negara.

Ilmu pengetahuan modern telah memecah persoalan-persoalan dunia ini menjadi bagian-bagian kecil, misalnya berdasarkan sektor. Masalah ekonomi dipecahkan oleh ekonom, masalah politik dipecahkan oleh politikus. Masalah lingkungan dipecahkan oleh para ahli Ekologi. Pendekatan ini disebut pendekatan reduksionis.. Padahal semua persoalan ini bukanlah persoalan yang berbeda-beda, melainkan hanyalah sisi-sisi yang berbeda dari bangunan yang sama, realitas dunia ini. Persoalan ini berhubungan satu dengan yang lain dalam satu jaring-jaring permasalahan yang kompleks. Apa yang diputuskan oleh sekelompok elite di sidang PBB akan berpengaruh terhadap kehidupan para petani di Banglades dan sebaliknya. Keputusan untuk berhenti bertani yang dilakukan oleh salah seorang petani di pelosok Irian akan berpengaruh pada persediaan pangan dunia.

Dunia sedang mencari bentuknya. Dunia sedang berevolusi ke satu tingkat peradaban baru yang lebih berkualitas daripada tingkat peradaban sebelumnya. Hal ini berarti harus ada penyelesaian terhadap persoalan-persoalan umum dunia seperti ketidakadilan sosial, kemiskinan dan kerusakan lingkungan tadi. Dengan paradigma yang lama, yakni pendekatan reduksionis, permasalahan-permasalahan tadi tidak mungkin terselesaikan.

Dibutuhkan sebuah paradigma baru mengenai cara manusia memandang persolan dunia ini yang akan menentukan langkah-langkah penyelesaian yang akan diambil. Hal itu dapat terjadi jika segenap umat manusia bekerja-sama ke arah perubahan itu.

Cara berpikir sistem adalah salah satu pendekatan yang diperlukan agar manusia dapat memandang persoalan-persoalan dunia ini dengan lebih menyeluruh dan dengan demikian pengambilan keputusan dan pilihan aksi dapat dibuat lebih terarah kepada sumber-sumber persoalan yang akan mengubah sistem secara efektif.
Pendekatan Sistem

Sistem adalah sekumpulan elemen yang berhubungan satu dengan yang lainnya dan membentuk fungsi tertentu. Sistem dikelompokkan menjadi dua yaitu sistem statis yang tidak berubah terhadap waktu dan sistem dinamis yang sellau berubah dengan berubahnya waktu.

Ilmu pengetahuan modern telah mencapai kemajuannya dengan memecah-mecah sistem menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan mempelajari secara mendalam masing-masing bagian itu. Pendekatan ini tidak berlaku untuk sistem. Sebuah sistem adalah lebih daripada bila seluruh komponennya dijumlahkan. Dan sistem akan bekerja bila seluruh komponennya terletak dan terhubung pada tempatnya.

Termasuk di dalam cara berpikir sistem adalah kemampuan untuk melihat melalui lensa yang berbeda. Lensa-lensa tersebut adalah time horizon (rentang waktu) dan space horizon (rentang tempat).
Pemilihan lensa akan mempengaruhi isu yang diangkat dan cara penanganan masalah. Misalnya masalah banjir di Jakarta. Perspektif waktu beberapa minggu akan menyebabkan orang memandag banjir sebagai persoalan yang memerlukan evakuasi bagi para korban dan pembangunan tanggul darurat. Perspektif waktu 5 sampai 10 tahun menempatkan banjir sebagai isu kebutuhan pembangunan bendungan baru. Perspektif 30 tahun menempatkan banjir sebagai dampak dari kebijakan tata ruang yang salah. Dalam interval 100 tahun, banjir dapat disadari sebagai dinamika pergeseran aliran sungai dan isu yang diangkat adalah kebijakan tata ruang yang disesuaikan dengan dinamika tersebut.

Keseluruhan pengertian dari fenomena banjir tidak berasal dari satu perspektif saja. Dengan kata lain, tidak ada satu pun lensa yang hanya benar sendiri.

Dalam kurun waktu yang lebih panjang, banjir dapat dilihat sebagai salah satu bagian dari fenomena perubahan dunia yang konstan dan bagaimana banjir di sungai Gangga India dapat mempengaruhi pasar pangan global.
Para pemikir sistem mengubah tingkat perhatian (level of perspective) mereka dari masalah kepada sistem yang memuat masalah tersebut. Tingkat ini dapat mencakup paradigma, data, perilaku, struktur sebab akibat (cause-and-effect structure), kebijakan, maupun institusi dan budaya. Pada setiap tingkat diperlukan pemahaman tersendiri akan sistem yang dimaksud.


Hal-hal yang perlu dipahami

Beberapa nilai yang terkandung dalam cara berpikir sistem :
1. Menghargai bagaimana model mental mempengaruhi cara pandang kita
2. Mengubah perspektif untuk melihat leverage point baru
3. Melihat pada kesalingtergantungan (interdependencies)
4. Merasakan dan menghargai kepentingan jangka panjang dan lingkungan
5. Memperkirakan yang biasanya tidak diperkirakan
6. Berfokus pada struktur yang membangun dan menyebabkan perilaku sistem
7. Menyadari bagian yang tersulit tanpa tendensi untuk menyelesaikannya dengan tergesa-gesa
8. Mencari pengalaman
9. Menggunakan bahasa pola dasar dan analogi untuk mengantisipasi perilaku dan kecenderungan untuk berubah.

Ada tiga bentuk representasi yang membantu menjelaskan perilaku sistem:
• Data dalam urutan waktu (time series data): Data ini adalah data perilaku riil sistem yang terjadi pada saat tertentu, misalnya tinggi air di sungai ketika banjir pada saat tertentu. Ini adalah cara paling sederhana untuk mengamati sistem.
• Diagram modus referensi (Reference Mode Diagram): Ini menggambarkan gerakan dari 3 atau 4 variable kunci yang saling berhubungan (sebuah pola perilaku) pada sistem selama jangka waktu tertentu. Diagram ini didasarkan pada rentang waktu yang cukup untuk melihat struktur yang membentuk perilaku.
• Diagram struktural (Structural Diagram): Diagram struktural adalah jaringan hubungan sebab-akibat (cause-and-effect relationships) yang menentukan perilaku sistem. Diagram struktural ini terdiri atas link dan loop yang membentuk pola hubungan sebab akibat. Link adalah hubungan antara dua variabel di dalam sistem. Disebut positif apabila penambahan pada satu variable menyebabkan penambahan juga pada variable yang lain. Loop adalah satu lingkaran sebab akibat yang terdapat di dalam sistem. Loop disebut positif apabila penambahan pada satu variabel menyebabkan penambahan pada sistem tersebut secara global. Sebuah sistem dapat terdiri atas banyak loop. Sebuah loop yang dominan mempengaruhi perilaku sistem disebut dominant loop.

Contoh :
Hubungan antara populasi dan kelahiran adalah sebuah link positif. Semakin banyak populasi akan menyebabkan semakin banyak kelahiran. Hubungan antara kelahiran dan populasi adalah sebuah link yang juga positif. Semakin banyak kelahiran akan menyebabkan semakin banyak populasi. Kedua link positif ini akan membentuk loop positif. Artinya penambahan pada salah satu variabel, baik populasi maupun kelahiran akan menyebabkan penambahan terus menerus pada dua variabel tersebut.
Hubungan antara populasi dengan kematian adalah sebuah link positif. Semakin banyak populasi akan menyebabkan orang yang ami semakin banyak. Sebaliknya hubungan antara kematian dengan populasi adalah link negatif. Semakin banyak kematian maka jumlah populasi akan semakin menurun. Hubungan keseluruhan antara populasi dengan kematian membentuk loop negatif.

Studi kasus
Kasus berikut ini adalah persoalan yang dihadapi oleh para petani di sebuah desa di Bogor. Penduduk desa tersebut rata-rata memiliki lebih dari dua anak meskipun banyak ibu mengaku mengikuti program KB.

Sebagian besar penduduk desa tersebut buta huruf dan sedikit di antaranya pernah sekolah meskipun tidak tamat sekolah dasar. Sebagian dari mereka tingkat keinginan sekolahnya rendah sementara sisanya yang berkeinginan kuat terbentur masalah biaya.

Mata pencaharian utama mereka adalah bertani. Selama dua puluh tahun terakhir pola budidaya yang dominan berlangsung di desa tersebut adalah pola revolusi hijau, tampak dari cirinya yang intensif menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Saat ini para petani mengeluh harga pupuk dan benih bertambah tinggi, sementara harga jual produk di tingkat petani sangat rendah. Ditambah lagi dengan hama tanaman yang makin parah, kualitas benih yang terus menurun dan kualitas tanah yang makin tidak subur.

Selain bertani penduduk juga mencari penghasilan tambahan di kota, misalnya dengan menjadi buruh atau berjualan kecil-kecilan dalam skala yang sangat kecil. Manajemen keuangan mereka masih sangat lemah terbukti dengan bercampurnya uang untuk kebutuhan usaha dengan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Ini juga disebabkan oleh modal dan penghasilan yang mereka peroleh sangat kecil.

Dalam sepuluh tahun terakhir tingkat kepemilikan tanah para petani terus menurun seiring dengan tumbuhnya real-estate mewah di sekitar desa tersebut. Di tambah lagi desa tersebut terletak perbukitan yang sangat cocok untuk membangun kuburan Cina. Saat ini rata-rata penduduk memiliki kurang dari seperempat hektar.

Para pemuda di desa tersebut sebagian besar adalah penganggur yang menggantungkan hidupnya pada orang tua mereka atau pada pekerjaan-pekerjaan sesaat seperti menjadi tukang bangunan, kuli angkut, pedagang dan buruh pabrik musiman. Sebagian lagi hidup dalam sulitnya hidup sebagai preman dan tukang palag, menghabiskan waktu untuk minum dan judi.

Gadis-gadis desa itu terjebak pada ritual hidup mulai dari anak-anak menjadi kemudian menunggu seseorang untuk menikahinya. Sebagian dari mereka terjebak pada masalah kawin cerai dalam usia muda. Suami mereka menikah dengan orang lain, meninggalkannya bersama anak-anak mereka yang masih kecil.

Penduduk desa tersebut menganut agama Islam yang taat dan sangat tunduk kepada para kiyai. Tiga kali seminggu ibu-ibu mengikuti acara pengajian di rumah-rumahanggota kelompok secara bergantian. Naik haji adalah suatu prestise tersendiri dan dianggap lebih penting ketimbang penggunaan uang untuk keperluan lain. Syukuran adalah budaya yang dilakukan setiap ada peringatan hari-hari yang dianggap penting, misalnya perkawinan, kelahran, sunatan, serta berbagai peringatan hari raya agama. Pengeluaran untuk sosial penduduk desa ini seringkali lebih besar daripada pengeluaran pribadi mereka.

Bagaimana anda memandang masalah desa tersebut dengan pendekatan sistem ?
Apa usulan anda untuk penyelesaian masalah tersebut ?

disadur dr file bid hikmah dan advokasi
PP IRM Jakarta
(masmul)

http://chengxplore.blogspot.com/2008/07/cara-berfikir-sistem-dan-penerapannya.html





Read More......

Arsitektur Dan Kota Tampa Etika

Perkembangan arsitektur dan kota dewasa ini telah menimbulkan kesemrawutan baru dalam kehidupan berarsitektur. Kota-kota di Indonesia telah dijadikan sebagai tempat kompetisi para arsitek-perencana dalam menentukan bentukan dan suasana kebaruan arsitektur. Di era yang disebut sebagai globalisasi ini perkembangan kota dan arsitektur menjadi salah kaprah dalam penerjemahanya. Ruang publik dan terbuka hijau yang terdapat dalam kota mulai tergeser oleh pembangunan kota yang tidak terkendali. Tatanan papan-papan reklame, bergesernya ruang publik dan terbuka hijau menjadi fungsi baru, serta munculnya bangunan-bangunan ruko dan mall, telah menandai terjadinya perubahan peradaban dalam budaya berarsitektur. Kota menjadi tempat permainan baru untuk meletakkan bangunan dengan desain dan wacana komersial yang menyilaukan. Para arsitek yang mengatasnamakan bisnis-kreatif telah menjadikan lahan 'ruang publik' dan 'ruang terbuka hijau' sebagai ajang permainannya. Peraturan perundangan maupun Perda tergeser oleh perubahan tata ruang telah bergeser menjadi "tata uang". Nuansa kearifan lokal pun dimunculkan, diharapkan agar dapat mengantisipasi keganasan arsitektur-kota yang sedang berkembang di Indonesia saat ini. Dalam Great Disruption, Fukuyama (2002:11) menegaskan, bahwa kebiasaan, adat-istiadat yang telah menjadi ciri khas kehidupan desa dan kampung telah digantikan oleh ritme perusahaan dan kota. Tak hanya itu, kawasan bersejarah pun tak luput dari ekspansi arsitektur pasca post-modern ini, bahkan bangunan-bangunan lama yang mepunyai nilai sejarah tinggi pun ikut dihancurkan. Charles Jencks dalam The Post-Modern Agenda mejelaskan, ekspansi arsitektur pasca post-modern sering menghancurkan struktur bangunan tradisional. Ia hampir meratakan semua bangunan tradisional dengan bulldozer. Bulldozer adalah alat cetusan jiwa modern untuk "maju" (progress). (Grenz 2001:39) Sekarang kita sedang merasakan perubahan budaya yang berlawanan dengan ciri khas budaya setempat, yakni inovasi yang lahir sebagai reaksi terhadap kemandulan dan kelumpuhan budaya arsitektur di Indonesia. Arsitektur yang diilhami oleh logos mekanistis telah terbukti membuat kita gagal. Menanggapi hal di atas, Skolimowski (2004:122-123) pun melakukan pembelaan, bahwa kekurangan-kekurangan arsitektur yang sekarang dan ketakmampuannya memberi tempat perlindungan yang memadai pada kita dan memberi ruang yang meningkatkan mutu kehidupan terutama bukanlah kesalahan para arsitek dan para pembangun, tetapi lebih berupa kesalahan konsepsi-konsepsi yang lebih besar yang mendasari arsitektur dan kebudayaan kita. Hal yang paling penting adalah, bagaimana para arsitek mencari cara pandang universal untuk melihat ekspresi budaya melalui dimensi kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaannya. Ada sesuatu yang tersembunyi dan membahayakan di dalam pertunjukan para arsitek yang berbakti, tekun, dan berbakat yang bisa, dan ingin, membangun lebih baik daripada yang diizinkan untuk mereka hasilkan di dalam konteks masa kini.


Masyarakat kita berada dalam pergolakan dan pergeseran kebudayaan yang didominasi oleh kekuatan ekonomi dan teknologi. Arsitek dan karya arsitekturnya pun dalam perkembangannya selalui dipengaruhi oleh kedua hal tersebut. Kadang-kadang arsitektur membuat kegelisahan, kemegahan, bukan hanya kekokohan dan komoditi, tetapi juga kegembiraan. Ketika kebudayaan sedang runtuh, dan tak mampu mempertahankan corak khasnya, arsitektur mendapat bagian yang banyak dipersalahkan karena kekurangan-kekurangannya. Peran kebudayaan sebagai sumber informasi untuk memecahkan persoalan-persoalan arsitektur sebenarnya dapat menjelaskan alasan mengapa ekonomi muncul melampaui batas-batas kultural. Kalau kita lihat, seperti proyek Pruitt-Igoe di St. Louis, Missouri dianggap sebagai lambang arsitektur modern. Rumah itu berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia untuk kesejahteraan manusia. Akan tetapi, para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja (Grenz 2001:26). Pembrontakan sosial masyarakat masa kini terhadap arsitektur modern, post-modern, dan pasca post-modern adalah suatu ungkapan dari pertimbangan-pertimbangan atas kehidupan ini.

Hilangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau
Perjalanan yang dilakukan oleh para arsitek-perencana kota dalam menentukan kehidupan berarsitektur telah 'menjamah' bagian inti dari paru-paru kota, yaitu ruang publik dan ruang terbuka hijaunya. Kehancuran tatanan kota-kota besar di Indoensia saat ini, terjadi sebagian besar akibat hilangnya ruang terbuka hijau (RTH) maupun ruang publik. Semakin terdesak dan hilang tergusur oleh budaya konsumerisme baru, datangnya dari penentu kebijakan akibat desakan globalisasi ekonomi yang tak terkendali. Ruang publik dan terbuka hijau beralih dan mungkin berubah menjadi 'kerajaan' baru, yaitu bangunan mall atau ruko. Hal ini menandakan telah terjadi ekspansi fungsi dan guna lahan dan perubahan tata ruangnya. Suasana keruangpublikan sebagai tempat masyarakat beraktifitas sudah tidak ada lagi. Dalam bahasa arsitektur aspek-aspek ruang manusia yang mencakup sosial-psikologis-estetis (ruang eksistensial) menjadi hilang. Arsitektur dan kota yang memiliki kualitas kehidupan adalak arsitektur dan kota yang mempunyai kebranian untuk mengakui dimensi spiritual dan transendental manusia. Skolimowski (2004:135) menegaskan, bahwa kualitas bersemayam di dalam ruang-ruang yang dengan bebas dan bertujuan diaugerahi dengan karakteristik-karakteristik dan sifat-sifat yang transfisik. Kesejahteraan fisik bukanlah suatu suasana fisik, tetapi suatu suasana psikologis. Habermas (2007:5) menegaskan, bahwa di dalam penafsiran-diri Yunani kuno, ruang publik menjadi sebuah alam kebebasan dan kekekalan. Hanya di dalam terang cahaya ruang publik saja, apa yang eksis menjadi benar-benar tersingkap, karena segala sesuatu menjadi terlihat bagi semua orang. Malapetaka-malapetaka ruang publik dan sosial yang utama telah terjadi di masa kini karena masyarakat menerima dengan sikap yang tidak kritis terhadap kota sebagai basis merancang yang mereka lakukan.
Peran arsitek dalam berarsitektur
Kembali pada masalah 'berarsitektur', arsitek-arsitek modern mendirikan bangunan sesuai dengan prinsip kesatuan (unity). Frank Llyod Wright menjadi contoh bagi arsitek lainnya. Ia mengatakan bahwa bangunan modern harus merupakan sebuah kesatuan organis. Bangunan harus merupakan "kesatuan yang agung" (one great thing) dan bukan kumpulan "bahan yang tidak agung" (little things). Sebuah bangunan harus mengekspresikan makna tunggal (Grenz 2001:39). Kalau disimak dengan cermat bahasa modern adalah bahasa kekuasaan. Paolo Portoghesi dalam After Modern Architecture mengatakan bangunan-bangunan modern menggunakan bahan-bahan industri dan mereka melayani sistem industri (Grenz 2001:41). Jelaslah bahwa modernisasi itu telah terasa sampai ke segala penjuru tanah air, sampai ke pelosok-pelosok yang paling terpencil. Tak ada demensi kehidupan yang tidak terkena. Kehidupan dalam kota-kota kita sekarang lebih berbeda dari kota-kota kita seratus tahun yang lalu. (Magnis-Suseno 1987:16) Pada bagian lain Skolimowski (2004:124-125) mengatakan, jika kita melihat dengan mata yang arif pada aneka ragam apa yang disebut tren-tren dan kecenderungan-kecenderungan baru, kita tidak bisa tidak mengatakan bahwa hampir semuanya adalah ungkapan etos teknologis; episilus dari sistem teknologi. Brutalisme atau Venturisme, Archigram atau arsitektur rasional operasionalisme baru-semuanya mengandung kesan teknologi. Kesatuan dan keseragaman (uniformity) arsitektur ternyata sangat tidak manusiawi. Arsitektur demikian berbicara dengan bahasa produksi massal dan standar. Akan tetapi, ada sebagian yang menolak secara tegas konsep dan bahasa demikian. Mereka ingin menemukan sebuah bahasa baru yang menghargai kenekaragaman dan pluralisme. Charles Moore dalam Conversation with Architects mengatakan, bahwa sebuah bangunan mempunyai kekuatan untuk menjadi apa yang diinginkan, mengatakan apa yang ingin dikatakan sehingga telinga kita mulai mendengar apa yang ingin disampaikan oleh bangunan tersebut (Grenz 2001:42). Tujuan sejati arsitektur ialah, melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan kehidupan. Frasa "melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan kehidupan" harus dilihat di dalam konteks yang tepat. Para penipu industrial yang menghancurkan habitat-habitat kita demi keuntungan dan sering memaksa para arsitek untuk merancang lingkungan-lingkungan yang anti kehidupan dapat mengklaim melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan kehidupan mereka sendiri (Skolimowski 2004:136).
Bentuk mengikuti kebudayaan
Relativisme kultural adalah kepercayaan bahwa aturan-aturan kultural bersifat arbitrer, merupakan artefak-artefak yang dikonstruksi secara sosial dari berbagai masyarakat yang berbeda dan bahwa tidak ada standar moralitas universal dan tidak ada cara yang bisa kita gunakan untuk menilai norma dan aturan-aturan dari kebudayaan lain. (Fukuyama 2002:253). Bahkan Eco (2004:369) mengatakan, kita dapat memberikan sebuah interpretasi yang berkaitan dengan sejarah budaya, arsitektur atau bahkan dalam sudut pandang visual, oral, maupun komunikasi tulisan. Ditegaskan lagi oleh Skolimowski (2004:127) yang mengatakan, dengan kemampuan apa yang harus dilakukan setelah pasca peristiwa, kini kita dapat menyarankan suatu karakterisasi arsitektur yang jauh lebih memadai: bentuk mengikuti kebudayaan. Sebagai kemungkinan lain kita dapat mengatakan: kulit mengikhtisarkan jiwa (yakni sebagaimana diungkapkan ole kebudayaan tertentu), atau bahkan kulit menampung jiwa. Keyakinan Skolimowski ini, di dasari bahwa dogma arsitektur dari bagian pertama abad ke-20 ialah: bentuk mengikuti fungsi. Ketika fungsi dibatasi pada parameter-parameter fisik dan ekonominya, kita, sebagai manusia menemukan bentuk yang dihasilkan bersifat memaksa dan mencekik. Jadi slogan itu sama sekali telah dibuang. Dengan demikian, bukan bentuk mengikuti fungsi, bukan kulit yang mendahului pelaksanaan, tetapi bentuk yang cocok menampung jiwa kebudayaan. Singkatnya, bentuk mengikuti kebudayaan. Bahkan van Peursen (1976:85) menegaskan, bahwa "fungsionil" diperuntukkan bagi kebudayaan modern, karena sifat kebudayaan yang istimewa dalam menonjolkan diri. Masyarakatlah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu; ia menerimanya, menolaknya atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada. Perubahan-perubahan yang signifikan di dalam arsitektur tidak dicapai dengan cara memperkenalkan teknologi-teknologi yang lebih efisien atau hanya dengan memanipulasikan teori arsitektur. Jika kita hendak mengubah arsitektur kita tidak dapat membatasi diri pada arsitektur atau memulainya dari arsitektur saja. Ditegaskan oleh Skolimowski (2004:128), kita harus memulai bersama―atau secara serentak mengarahkan perhatian kita pada―level yang lain, level kebudayaan umum yang mendasari pemikiran dan perilaku zaman yang tengah kita jalani.
Etika berarsitektur
Dalam transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya yang tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi ini etika mau membantu agar arsitek jangan kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh saja berubah dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam masyarakat modern bukan "apa" yang pertama-tama dipentingkan melainkan "bagaimana", yaitu bagaimana ketiga bidang (arsitek/arsitektur, budaya, dan etika) dapat diintegrasikan dalam satu sikap yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada dulu; etika bukan sejumlah kaidah bagi orang perorangan, mengenai apa yang halal atau haram, tetapi berkembang menjadi etika-makro, yaitu merencanakan masyarakat kita sedemikian rupa sehingga kita belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang telah kita bangkitkan sendiri (van Peursen 1976:192). Bahwa etika itu harus diterapkan dalam situasi konkrit, janganlah tenggelam dalam daya kekuatan arsitektur dan kota yang tak berwajah itu. Setiap bentuk "arsitektur" dan "tata ruang kota" hendaknya menghasilkan etika, tetapi untuk menumbuhkan etika itu diperlukan suatu "counter play" juga. Yang bersifat normatif, itulah counter partner sejati bagi masyarakat.
Pemandangan kita terhadap arsitektur dan kota menjadi kabur, dan mereka kehilangan identitas mereka sendiri. Secara fungsional mereka baru menjadi seorang pribadi, bila mereka terbuka untuk sesuatu yang lain atau seorang arsitek-kota yang lain. Jalur-jalur baru dirintis dan dibuka sehingga terbentanglah sejumlah kemungkinan baru, tetapi itu semua lalu tersumbat; alternatif-alternatif makin jauh dari pandangan kita. Identitas kita sendiri tak dapat ditemukan lagi. Masyarakat dan arsitek-kota memudar dalam denah perbuatan-perbuatan di mana keontentikan kita hilang. Maka dari itu, sikap "berbudaya-beretika-berarsitektur" lebih menunjukkan suatu tanggung jawab dari pada suatu tahap yang telah tercapai.
Sumber Pustaka
Eco, U. 1987. Tamasya Dalam Hiperialitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Fukuyama, F. 2002. The Great Disruption. Hakikat Manusia dan Rekonstruksi Tatanan Sosial. Yogyakarta: Qalam.
Grenz, S.J. 2001. A Primer on Postmodernism. Pengantar Untuk Memahami Postmodrnisme. Yogyakarta: Yayasan ANDI.
Habermas, J. 2007. Ruang Publik. Sebuah Kajian tentang kategori Masyarakat Borjuis. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Magnis-Suseno, F. 1987. Etika Dasar. Masalah-Masalah Pokok Filsafat Dasar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Skolimowski, H. 2004. Filsafat Lingkungan. Jogjakarta: Bentang Budaya.
Van Peursen, C.A. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
http://antariksaarticle.blogspot.com/2008/07/arsitektur-dan-kota-tanpa-etika.html

Read More......

15 Agustus, 2008

Antisipasi Dampak Pemanasan Global Dari Aspek Teknis Penataan Ruang

I. Pengertian tentang Penataan Ruang, Wilayah Pesisir, dan Pemanasan Global, serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya.

1. Berdasarkan UU No.24/1992, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada proses perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk proses pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi : Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Propinsi, Kabupaten dan Kota, serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci ; pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW-nya. Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah.
2. Rencana tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).
3. Aspek teknis penataan ruang dibedakan berdasarkan hirarki rencana. RTRWN merupakan perencanaan makro strategis jangka panjang dengan horizon waktu hingga 25 - 50 tahun ke depan dengan menggunakan skala ketelitian 1 : 1,000,000. RTRW Propinsi merupakan perencanaan makro strategis jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun pada skala ketelitian 1 : 250,000. Sementara, RTRW Kabupaten dan Kota merupakan perencanaan mikro operasional jangka menengah (5-10 tahun) dengan skala ketelitian 1 : 20,000 hingga 100,000, yang kemudian diikuti dengan rencana-rencana rinci yang bersifat mikro-operasional jangka pendek dengan skala ketelitian dibawah 1 : 5,000.



4. Kawasan pesisir pada dasarnya merupakan interface antara kawasan laut dan darat yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnya, baik secara bio-geofisik maupun sosial-ekonomi. Kawasan ini terdiri dari habitat dan ekosistem yang menyediakan barang dan jasa (goods and services) bagi komunitas pesisir dan pemanfaat lainnya (beneficiaries).
5. Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, pesisir merupakan kawasan strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover pembangunan nasional. Karakteristik wilayah pesisir Indonesia diantaranya adalah :
• Meliputi 81,000 km panjang garis pantai dengan 17,508 pulau yang sangat beraneka ragam karakteristiknya.
• Dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang.
• Terdapat 47 kota pantai mulai dari Sabang hingga Jayapura sebagai pusat pelayanan aktivitas sosial-ekonomi pada 37 kawasan andalan laut sekaligus sebagai pusat pertumbuhan kawasan pesisir.
• Mengandung potensi sumber daya kelautan yang sangat kaya, seperti (a) pertambangan dengan diketahuinya 60 cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan dunia; (c) pariwisata bahari yang diakui dunia dengan keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity).
• Wilayah ini merupakan sumber daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal. Sebagai contoh, dari keseluruhan potensi sumber daya perikanan yang ada maka secara agregat nasional baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan. Sementara itu, ditinjau dari nilai investasi yang masuk, maka besaran investasi domestik dan luar negeri pada bidang kelautan dan perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari 2% dari total investasi di Indonesia.
• Pesisir merupakan kawasan perbatasan antar-negara maupun antar-daerah yang sensitif yang memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
6. Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.
7. Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.
II. Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat

8. Walaupun dampak kenaikan permukaan air laut dan banjir yang sesungguhnya masih menjadi debat dalam dunia riset, dalam makalah ini dapat dikemukakan skenario kenaikan muka air laut yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (1990), dimana disebutkan adanya 3 (tiga) skenario kenaikan permukaan air laut (sea level rise). Beberapa studi yang dilakukan untuk Indonesia menggunakan skenario moderat yakni kenaikan sebesar ± 60 cm hingga akhir abad 21 sebagai pijakan.

1. Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.
2. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
3. Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
4. Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
5. Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih 'buram' apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia Adapun daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.
6. Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
7. Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.

III. Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

8.Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.
9. Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku)
10. Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :
(1) globalisasi ekonomi dan implikasinya,
(2) otonomi daerah dan implikasinya,
(3) penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
(4) pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
(5) pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
(6) daur ulang hidrologi,
(7) penanganan land subsidence,
(8) pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
(9) pemanasan global dan berbagai dampaknya.

11. Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.
12. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua
13. Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada Lampiran)..
14. Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).
15. Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :

(1) sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250 km).
(2) beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar.
(3) Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan Sulawesi bagian Selatan.
(4) Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang.

16. Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.
17. Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut :
• Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
• Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
• Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip "working with nature".
18. Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.
19. Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis - perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.

IV. Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

20. Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.
21. Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut :
• Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
• Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
• Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
22. Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah - khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e) penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
23. Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
a. Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir.
b. Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
c. Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah
d. Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang 'seimbang' antar unsur-unsur stakeholders.

V. Penutup.
24. Sebagai negara kepulauan, maka dampak yang akan dialami oleh Indonesia diperkirakan akan sangat besar terhadap kondisi bio-geofisik dan sosial-ekonomi masyarakat. Dengan demikian, Pemerintah perlu mulai memikirkan pengembangan skenario, konsep, dan kerangka kebijakan terpadu pada tingkat makro dan mikro dalam rangka antisipasi dini terhadap dampak yang mungkin terjadi. Penataan ruang merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk pengembangan skenario, konsep dan kerangka kebijakan dimaksud
25. Pada tataran makro, RTRW Nasional merupakan instrumen kebijakan makro strategis dan landasan keterpaduan pembangunan jangka panjang dalam rangka antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir. Untuk itu, kajian yang mendalam mengenai aspek kenaikan muka air laut dan banjir diharapkan menjadi masukan yang signifikan bagi RTRWN.
26. Sedangkan pada tataran mikro, RTRW Kabupaten, Kota maupun Kawasan merupakan instrumen kebijakan dan landasan implementasi terpadu dalam pengelolaan kawasan pesisir mulai dari hulu (upstream) hingga hilir (downstream).
27. Dukungan penyiapan NSPM, sistem informasi dan peta-peta bagi penataan ruang dan pengelolaan sumber daya pada kawasan pesisir adalah sangat penting. Terlebih bila dikaitkan dengan dinamika otonomi daerah, dimana daerah-daerah diharapkan dapat menyiapkan diri sejak dini serta dapat merumuskan kebijakan pembangunan dan pengelolaan sumber daya pada kawasan pesisir-nya masing-masing secara tepat.

Daftar Pustaka
Amano, A., Global Warming and Economic Growth ; Modelling Experience in Japan, Center for Global Environmental Research, National Institute for Environmental Studies, Environment Agency of Japan, May 1992.
Asian Development Bank, Climate Change in Asia ; Indonesia Country Report on Socio-economic Impacts of Climate Change and a National Response Strategy, Regional Study on Global Environmental Issues, July 1994
Center for Global Environmental Research, Data Book of Sea Level Rise, National Institute for Environmental Studies, Environment Agency of Japan, 1996
Diposaptono S., Pengaruh Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Direktorat Bina Pesisir – Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - DKP, 2002.
Dirjen Penataan Ruang – Depkimpraswil, Kebijakan Kimpraswil dalam rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Makalah pada Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2002, Hotel Indonesia – Jakarta, 30 Mei 2002.
Ditjen Penataan Ruang – Depkimpraswil, Review Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional : Kebijakan Spasial untuk Pengembangan Kemaritiman Indonesia, Bahan Sosialisasi RTRWN dalam rangka Roadshow dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 11 Oktober 2002.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Tanya-Jawab tentang Isu-isu Perubahan Iklim, Jakarta, 2001
Newsweek, The Truth about Global Warming, Article on Science and Technology, Edition July 23, 2001.
The State Ministry of Environment – The Republic of Indonesia, Vulnerability and Adaptation Assessments of Climate Change in Indonesia, Indonesia Country Study on Climate Change, Jakarta, 1998.
Siswono, Y., KAPET dan Peningkatan Produksi Pertanian, Butir-butir Bahan Masukan pada Acara Temu Usaha dan Diklat Sumber Daya Manusia KAPET, Mataram, 26 Oktober 2001
____, Pemanasan Global harus Diantisipasi, Rubrik Lingkungan Harian Media Indonesia, Edisi Rabu, 16 Oktober 2002.

http://aph168.blogspot.com/2008/04/antisipasi-dampak-pemanasan-global-dari.html


Read More......

[ac-i] kota jawa menelan lingkungan

JAWA POS -opini-Kamis, 15 Mei 2008,
Mengurangi Dampak Perluasan Kota di Jawa

Oleh Gutomo Bayu Aji
Dalam State of World Population 2007 dinyatakan, pada 2008 ini, lebih dari separo penduduk dunia (3,3 miliar) tinggal di daerah urban. Pada tahun ini juga, IPADI (Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia) memperkirakan tingkat urbanisasi di Indonesia mencapai 50 persen.

Perubahan desa-desa menjadi kota di Indonesia, khususnya di Jawa, sekarang jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan. Selama tiga dekade terakhir, banyak desa di Jawa yang direklasifikasi statusnya menjadi
kota. Penduduk kota, khususnya di Jawa, mengalami lonjakan dengan rata-rata tingkat pertumbuhan lebih dari 3,5 persen.

Fenomena perluasan kota telah menjadi wacana dominan pembangunan di Indonesia saat ini. Daerah-daerah pinggiran kota (urban fringe) berkembang secara cepat dan khususnya di Jawa cenderung tidak terkendali seperti "katak melompat" (leap frogging development), sehingga mendeformasi struktur sosial dan spasialnya.

Penaklukan
Berbagai dampak perluasan kota yang tidak terkendali sekarang mengingatkan kita pada serbuan kaum migran Eropa ke benua Amerika atas Indian serta tanah Aborigin di Australia abad ke-17. Kaum migran Eropa
itu, antara lain, mempertontonkan pembentukan kota-kota di kedua benua tersebut yang diwarnai penaklukan.

Melalui kartografi, "benua kosong" itu dipetakan secara semena-mena. Hak tradisional penduduk asli diabaikan, bahkan dipandang secara sub-human. Waktu itu, peta telah berubah fungsi menjadi alat eksploitasi sekaligus menegaskan arogansi euro-centrism di kalangan penduduk asli.

Tradisi penaklukan tersebut diwariskan hingga saat ini yang mana melalui citra landsat, sebuah peta bisa disulap dengan mudah menjadi suatu tata ruang kota yang memiliki informasi amat detail. Peta itu kemudian ditetapkan melalui peraturan pemerintah sebagai kodifikasi bagi pengembang.

Tradisi tersebut kini dijustifikasi secara legal. Namun, lemahnya penegakan hukum membuat perluasan kota tetap seperti "katak melompat". Memecah struktur ruang tradisional, menimbulkan fragmentasi dan konversi lahan secara luas yang diwarnai penaklukan terhadap kehidupan masyarakat pinggiran kota.
Marginalisasi

Sebagian ahli demografi percaya bahwa urbanisasi yang cepat akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Pada pola "katak melompat" ini, tidak seluruhnya benar. Penetrasi yang dilakukan di daerah pinggiran kota justru telah menyebabkan penduduk di daerah itu termarginalkan.
Tak ubahnya Indian dan Aborigin pada awal abad ke-17, kebanyakan penduduk di daerah pinggiran kota yang terkena dampak perluasan kota itu justru kehilangan nafkah dan mata pencaharian. Mereka terlempar dari sektor pertanian dan terperangkap dalam kemiskinan perkotaan.

Harapan bagi kaum marginal hanyalah sektor informal perkotaan, khususnya yang berkarakteristik pedagang kaki lima. Walaupun banyak pengamat menyatakan sektor itu merupakan roda perekonomian kota, kenyataannya tidak mendapat tempat di dalam sistem kota. Sering sektor itu terkena imbas kebijakan penertiban atau penggusuran.

Upaya formalisasi sektor informal sering mengalami kegagalan karena dilakukan tanpa memperhitungkan kemampuan daya beli dan akses mereka terhadap infrastruktur yang disediakan pemerintah. Alhasil,
meski menjadi juru selamat krisis ekonomi wong cilik, sektor itu sering diperlakukan seperti anak tiri.
Pengembangan Desa-Kota

Sekarang, perluasan kota dengan dalih apa pun akan terjebak dalam tradisi penaklukan itu. Masalahnya, tata ruang tersebut sering dibuat secara subjektif tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah
pinggiran kota yang berciri desa-kota.

Perluasan kota dengan tanpa memperhatikan kepentingan desa-kota tak ubahnya pengembangan wilayah sepihak yang hanya memperhatikan kepentingan kota. Sementara desa-kota yang berciri agraris dengan kelompok paling rentan, yakni petani kecil serta buruh tani, hanya akan menjadi korban perluasan kota.
Saatnya perluasan kota dilakukan secara lebih terencana dan manusiawi. Yakni, dengan cara merekonstruksi tata ruang kota yang cenderung subjektif ke arah desa-kota yang lebih objektif. Dengan kata lain, meletakkan isu perluasan kota itu dalam perencanaan pengembangan wilayah inter-regional.

Gutomo Bayu Aji, peneliti di Pusat Penelitian
Kependudukan, LIPI, Jakarta
http://artculture-indonesia.blogspot.com/2008/05/ac-i-kota-jawa-menelan-lingkungan.html




Read More......

12 Agustus, 2008

Hilangnya Ruang Publik: Ancaman bagi Kapital Sosial di Indonesia

Dimuat di Inovasi online Vol.7/XVIII/Juni 2006.
available at http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=177
1. Pendahuluan
Dalam salah satu program televisi NHK beberapa saat yang lalu, ditayangkan beberapa usaha partisipasi lokal dalam mengatasi berbagai permalahan di lingkungannya. Philadelpia dan Birmingham dijadikan fokus utama dalam acara tersebut, digambarkan usaha di dua kota menghasilkan keluaran yang berbeda-beda. Philadelpia dengan pemisahan yang begitu nyata antara lingkungan miskin dan kaya gagal melakukan suatu usaha kolektif untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi. Kegagalan Philadelpia juga ditandai dengan konflik antara warga kulit putih yang mayoritas kaya dengan warga kulit hitam yang mayoritas miskin.

Kemudian digambarkan suasana Birmingham pada 10 tahun lalu dimana para wanita tuna susila memenuhi taman-taman kota, mencoretkan gambaran buram bagi masyarakat. Saat ini Birmingham mencapai keberhasilan yang menakjubkan, disparitas ekonomi berkurang sangat pesat dan tidak dijumpai satupun wanita tuna susila yang berkeliaran di taman-taman kota. Kemajuan kota Birmingham merupakan pencapaian luar biasa dan dicapai atas usaha masyarakat Birmingham, mulai dari prakarsa sampai usaha dijalankan oleh masyarakat lokal. Mungkin kita bertanya-tanya mengenai kekuatan apakah yang begitu hebatnya membangkitkan dan menggerakan masyarakat Birmingham dan membimbing mereka menuju keberhasilan dan faktor apakah menyebabkan kegagalah usaha masyarakat lokal di Kota Philadelpia. Kekuatan tersebut adalah kekuatan masyarakat dalam bentuk kapital sosial.

2. Kapital Sosial: Kekuatan yang Menggerakkan Masyarakat
Kapital sosial adalah kekuatan yang menggerakkan masyarakat, terbentuk melalui berbagai interaksi sosial dan institusi sosial. Menurut salah satu penggagas kapital sosial, Robert Putnam, kapital sosial adalah bagian dari organisasi sosial berupa hubungan sosial dan rasa saling percaya yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan bersama [1]. Seperti halnya kapital yang lain, kapital sosial dapat meningkat dan dapat pula menurun bahkan menghilang.

Hasil penelitian Putnam di Italia menggambarkan adanya korelasi positif antara kapital sosial dan kinerja pemerintah daerah. Putnam menyimpulkan bahwa kapital sosial mempunyai peranan penting dalam penciptaan pemerintah daerah yang responsif dan efisien, pemerintah daerah yang responsif dan efisien ini ditandai dengan adanya masyarakat yang kuat dan dinamis [2]. Selain itu arus balik kekuasaan dari pusat ke daerah dalam kerangka desentralisasi tidak pelak mensyaratkan partisipasi lokal dalam pembangunan daerah dan kapital sosial merupakan kekuatan tidak terlihat yang dapat mendorong keberhasilan partisipasi lokal tersebut. Dengan demikian penting sekali bagi pemerintah daerah memahami ide kapital sosial terlebih dalam implementasi kebijakan-kebijakan di daerah dalam kerangka desentralisasi.

Meskipun tidak ada suatu kesepakatan mengenai definisi umum bagi kapital sosial, terdapat suatu persamaan pandangan bahwa hubungan yang mutual, kepercayaan dan norma sosial lainnya mempunyai peranan penting dalam peningkatan kapital sosial. Selain hubungan formal dalam masyarakat dan bentuk formal dari kontak sosial seperti misalnya yang terjadi melalui organisasi masyarakat, kelompok spiritual dan keagamaan, partai politik, klub olahraga dan lain sebagainya, hubungan sosial yang informal yang terjadi di masyarakat seperti interaksi sosial antara masyarakat dalam satu lingkungan, kelompok pertemanan dan kelompok-kelompok informal lainnya juga merupakan komponen penting dari kapital sosial. Kunci yang paling menentukan dalam penguatan kapital sosial adalah interaksi yang intens antara warga masyarakat, dan disinilah peran ruang publik tampil ke muka.

3. Kapital Sosial dan Ruang Publik
Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna [3]. Responsif dalam arti ruang publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Sementara demokratis berarti ruang publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Dan terakhir bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang dan dunia luas serta dengan konteks sosial.

Dengan karakteristik ruang publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat, tidak diragukan lagi arti pentingnya dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kapital sosial. Namun sayangnya, arti penting keberadaan ruang-ruang publik tersebut di kota-kota di Indonesia lama kelamaan diabaikan oleh pembuat dan pelaksana kebijakan tata ruang wilayah sehingga ruang yang sangat penting ini lama-kelamaan semakin berkurang. Ruang-ruang publik tersebut yang selama ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, baik sosial, politik maupun kebudayaan tanpa dipungut biaya, seperti lapangan olah raga, taman kota, arena wisata, arena kesenian, dan lain sebagainya lama-kelamaan menghilang digantikan oleh mall, pusat-pusat perbelanjaan, ruko-ruko dan ruang-ruang bersifat privat lainnya.

Mall atau pusat-pusat perbelanjaan tidak akan pernah dapat benar-benar menjadi ruang publik meski dewasa ini tempat-tempat tersebut sering dijadikan sebagai lokasi bertemu, bertukar informasi, atau sekedar tempat rekreasi melepas kepenatan seusai menghadapi berbagai rutinitas pekerjaan. Karena meskipun terbuka untuk umum, mall tetap menampilkan wajah yang privat dimana di dalamnya orang yang ada di sana cenderung berasal dari kalangan ekonomi tertentu [4]. Tidak adanya kontak dan interaksi sosial sebagai prasyarat bagi penguatan kapital sosial merupakan alasan utama mengapa ruang publik tidak dapat tergantikan oleh mall atau pusat perbelanjaan.

4. Kesimpulan
Desentralisasi mensyaratkan adanya masyarakat sipil yang dinamis dan kapital sosial dapat dikatakan sebagai bumbu utama dari pembentukan masyarakat sipil yang dinamis tersebut. Kebijakan desentralisasi oleh pembuat dan pelaksana kebijakan di daerah harus senantiasa diarahkan bagi penguatan kapital sosial demi terciptanya masyaraka sipil yang dinamis tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menjaga dan mengarahkan kebijakan tata ruang wilayah dan perencanaan kota untuk selalu menghormati arti penting dan keberadaan ruang publik.

Pustaka

[1] Putnam, R.D. (1995) 'Bowling alone: America's declining social capital', Journal of Democracy 6:1, January 1995 pp65-78
[2] Putnam, R.D. (1993) Making Democracy Work, Civic Traditions in Modern Italy. Princeton University Press, New Jersey.
[3] Carr, Stephen. (1992) Public Space. Van Nostrand Reinhold Company, New York.
[4] Kusumawijaya, Marco. (2004) Jakarta Tunggang Langgang. Jakarta
Ditulis dalam Decentralization, Public Policy
« Desentralisasi, Pilkada, dan Konsolidasi Demokrasi Lokal
The Limit of Social Capital Concepts in Indonesia Decentralization

http://rechtboy.wordpress.com/2007/08/24/hilangnya-ruang-publik-ancaman-bagi-kapital-sosial-di-indonesia/


Read More......

Rencana Tata Ruang Seharusnya Menjadi Main Entrace Kelayakan Pembangunan di Kabupaten/Kota

Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang, demikian yang dimaksud dalam Bab I, Pasal 1(4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan fungsi budi daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertahanan keamanan; aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya. Rencana tata ruang dibedakan atas; (1) Rencana tata ruang (RTR) Wilayah Nasional; (2) Rencana Tata Ruang (RTR) Wilayah Propinsi; dan (3) Rencana Tata Ruang (RTR) Wilayah Kabupaten/Kota. Masing-masing RTR Wilayah (RTRW) ini memiliki isi dan tujuan tertentu.

Salah satu bentuk tata ruang seperti RTR Wilayah Kabupaten/Kota, secara detail (rinci) berisikan tentang; (1)pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya; (2)pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu, (3)sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman perdesaan dan perkotaan; (4)sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan; (5)penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Semua Sumberdaya Alam (SDA), sosial dan lingkungan buatan dalam skala wilayah kabupaten/kota diatur dan ditata disini. Perletakan kawasan lindung, kawasan budidaya direncanakan dan dirancang di RTR ini. Karenanya, fungsi RTRW Kabupaten/Kota ini menjadi pedoman untuk penetapan lokasi investasi dan menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah dan atau masyarakat di kabupaten atau di kota tersebut.
Demikian singkat cerita tentang RTRW yang kini RTRW ini dimiliki diantaranya oleh kota-kota di Sulawesi Utara seperti kota Manado, Kota Bitung, Kabupaten Minahasa dan Kota Tomohon. Yang artinya pula, bahwa kota-kota ini telah direncanakan peruntukkan ruangnya. Dengan demikian, kegiatan atau usaha apapun yang dilakukan dikota-kota ini, semua ijin-ijin lokasi pembangunannya harus berdasarkan RTRW yang telah ditetapkan.

Di Sulawesi Utara terutama di kota Manado dan kabupaten Minahasa, banyak kasus pembangunan fisik dari usaha dan kegiatan dilakukan pada lokasi yang bukan peruntukkannya. Seperti kawasan wisata bakal dijadikan kawasan industri, kawasan wisata, bakal dijadikan kawasan perdagangan/komersil dengan alasan â€Å“ah, RTR kan hanyalah arahan sajaâ€�. Mungkin ini karena sulitnya memahami bahasa Indonesia bidang hukum, sehingga interpretasinya macam-macam dan â€Å“suka-sukaâ€� para penguasa wilayah tersebut mengartikannya.

Perubahan tata ruang suatu wilayah, terjadi begitu saja dan dengan mudah disahkan oleh pimpinan tertinggi kabupaten/kota tanpa melihat efek di lingkungan wilayahnya bahkan antar wilayah. RTRW hanya menjadi dokumen yang hanya sekedar ada saja. Akibatnya terjadi protes sana-sini oleh masyarakat lokal, dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

Akibatnya, investor menjadi uring-uringan (bingung) tak menentu, dilain sisi sudah menyetor kewajiban sebagai penanam modal pada pemerintah kabupaten/kota tersebut, dilain sisi merasa tidak tenang terhadap gangguan masyarakat. Perasaan â€Å“kecele (terjebak)â€� maju kena mundur kena. Tetapi, ada juga investor yang nekat untuk meneruskan kegiatannya walaupun apapun yang terjadi. Dan tentunya jika ada investor yang demikian akan berat rasanya dengan kondisi/situasi saat ini. Konsekuensi yang bakal dihadapi akan berat juga. Ada juga yang mundur dengan kerugian yang begitu besar, di mana sudah membuat kajian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan biaya yang besar walaupun sudah jelas-jelas lokasi tersebut tidak untuk kegiatan atau usaha semacam itu dan kini harus meninggalkan lokasi itu karena umpatan dan protes dari masyarakat yang paham dengan lokasi tersebut. Akhirnya salah menyalahkan terjadi. Pemerintah (pengambil keputusan) menyalahkan masyarakat yang membuat gaduh sehingga investor kabur, dilain pihak masyarakat menuding pemerintah yang memberikan ijin padahal lahan itu bukan untuk kegiatan tersebut.

Menurut pengamatan saya, selama ini yang terjadi adalah tudingan kepada pemerintah yang memberikan ijin lokasi pada lahan yang bukan peruntukkan bagi kegiatan tertentu. Tudingan yang wajar. Kenapa? Karena pemerintahlah yang memegang perijinan tersebut, bukan masyarakat. Jelas demikian. Dan lebih jelas lagi, sebetulnya pemerintahlah yang membuat masyarakat dan investor bingung. Mau ikut aturan yang mana, aturan yang itu, ternyata di lapangan jadinya lain. Sebetulnya, semua ini bukan juga salah investor yang menempati peruntukkan yang salah, melainkan ini adalah kesalahan pihak pemerintah setempat yang mengeluarkan ijin untuk boleh menduduki tempat atau lokasi tersebut.

Semestinya tidak harus demikian kejadiannya, jika di awal kegiatan atau usaha tersebut dikaji dan dipahami dan dicocokkan dengan RTR Wilayah setempat, apakah sesuai peruntukkannya atau tidak. Jika cocok, tidak ada masalah, semua proses bisa dilanjutkan. Namun, jika kegiatan tersebut tidak sesuai dengan peruntukkan lahan atau RTRW, maka jangan sekali-kali memberikan ijin lokasi pembagunan pada pemohon tersebut. Karena, jika pemohon (pemrakarsa) telah diberikan ijin lokasi pembangunan, pemohon tersebut bakal lanjut pada pembuatan AMDAL (jika kegiatan wajib amdal) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) jika kegiatan tersebut tidak wajib amdal. Ini berabe, sebab pemrakarsa akan mengeluarkan biaya besar untuk studi ini. Repotnya lagi, jika studi tersebut sengaja dibuat bukan untuk memproteksi lingkungan tetapi untuk melayakkan kegiatan tersebut. Proses ini akan berlanjut dan akan otomatis gol dan dilaksanakan. Penilaian Amdal oleh komisi Amdal tidak akan mampu menahan kegiatan tersebut untuk tidak dilaksanakan walaupun sidang komisi sudah mengetahui bahwa kegiatan tersebut berada pada peruntukkan ruang yang salah atau menyalahi RTRW. Mengapa demikian? Karena ijin lokasi pembangunan sudah terbit dan tak ada yang mampu menahan semua itu, kecuali ditarik kembali oleh yang mengeluarkannya. Dan orang nomor satu di wilayah kabupaten dan kota yang berhak melakukan itu.

Terlihat disini, langkah awal yang salah telah diambil oleh pembuat keputusan. RTRW tidak menjadi dasar pembuatan ijin lokasi pembangunan. Sebetulnya, jika pembuat keputusan membuat putusan yang betul, investor tidak akan rugi dan masyarakat tidak akan gusar dan tentunya pembuat keputusan tidak akan berat tugasnya menghadapi â€Å“omelan dan protesâ€� masyarakat. RTRW sudah dibuatkan untuk meringankan tugas para pembuat keputusan. RTRW menjadi pintu masuk awal dan utama (main entrance) dalam menentukan apakah kegiatan atau usaha tersebut dapat masuk dan menempati lokasi yang diinginkan oleh investor atau tidak. Jika ya, proses lanjut boleh dilakukan dan sudah pasti akan mulus jalannya, tetapi jika tidak, maka investor harus menghentikan langkahnya dan mencari lokasi lain dan tentunya tidak akan mengeluarkan biaya.

Dalam hal ini pengambil keputusan harus menjadi orang yang tegas dan tegah terhadap keinginan dirinya sendiri maupun keinginan teman-teman sekitarnya. Ini demi untuk kesejahteraan kita bersama sebagai masyarakat dan demi untuk berlanjutnya wadah tempat kita hidup dan berkembang ini. Dan terlebih lagi, demi kepercayaan yang diberikan masyarakat pada sang pemimpin.

Dan barangkali rumus â€Å“tegah dan tegasâ€� ini yang sulit dilakukan oleh pemberi ijin. Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu yang berwenang memberikan ijin lokasi, mampuhkah anda-anda menggunakan rumus tersebut dalam melaksanakan tugas?

Read More......

UU Penataan Ruang; Mau Kemana..???

Akhirnya setelah 15 bulan dibahas, Rancangan Undang-Undang Penataan Ruang (RUUPR) diteken dalam Rapat Panitia Khusus DPR RI dengan Menteri Pekerjaan Umum (21/3). Namun, setidaknya ada 4 (empat) hal yang masih menjadi perdebatan panjang, -bahkan oleh para ahli sendiri.

Pertama, kewenangan yang diberikan kepada Departemen Pekerjaan Umum (PU) sebagai penyidik dalam kasus pelanggaran tata ruang. Hal ini akan tidak saja menimbulkan tumpang tindih pelaksanaan di lapangan namun bisa terjadi terjadi 'ambivalensi' kewenangan. Kita tahu bahwa PU adalah departemen teknis yang bertugas salah satunya melakukan pembangunnan infrastruktur. Dalam artian PU sebagai operator pembangunan Indonesia. Nah dengan kewenangan yang diisyaratkan RUUPR tersebut maka PU selain sebagai operator juga sebagai regulator sehingga akan terjadi split personality di tubuh PU dalam menegakkan peraturan tata ruang.

Dengan kewenangan barunya, PU dapat saja 'memutihkan' berbagai pelanggaran dalam penyalahgunaan peruntukan lahan/kawasan yang 'dibangunnya sendiri'. Seharusnya RUU menguatkan peran BKTR (Badan Koordinasi Tata Ruang) untuk melakukan peran tersebut, yang saat ini tidak ada kinerjanya yang berarti dengan maraknya pelanggaran dan penyalahgunaan tata ruang. Termasuk juga kemungkinan menguatkan Bapedal dan Bapedalda di daerah-daerah.

Kedua, visi RUUPR tersebut terlalu 'planocentris'. Dalam artian pendekatan yang dipakai hanya bagaimana 'memetak-petakkan' wilayah peruntukan tanpa didasari pada konsep keberlanjutan lingkungan. Tokoh Lingkungan yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Emil Salim pertama, mengkritik RUU ini karena paradigma yang dipakai adalah dengan pendekatan wilayah bukan pendekatan ekosistem. Sehingga penataan ruang ke depan hanya berorientasi pada pembangunan fisik semata dan tidak memikirkan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari pembangunan tersebut, seperti halnya saat ini. Emil Slaim juga mengharapkan RUU ini lebih berpihak kepada lingkungan.

Ketiga, keruangan kawasan lautan dan pesisir, dalam RUU ini masih sangat terkesan land vision. Semua tahu, Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas 17.508 buah pulau dan memiliki pantai terpanjang kedua di dunia (kira-kira sepanjang 81 ribu Km2) setelah Kanada dengan luas Zona Ekonomi Eksklusif lautan sebesar 7,.7 juta km2. Fakta tersebut seharusnya menyadarkan kita akan jati diri kita sebagai Negara maritime. Sehingga dalam isu tata ruang lautan dan pesisir dapat diakomodasi dalam RUU dalam kerangka yang lebih dilihat dari sudut pandang continental vision. Hal ini juga untuk menjadi konsideran sebelum RUU Pengembangan Wilayah Lautan Pesisir menjadi agenda pembahasan DPR berikutnya.

Keempat, adalah pendekatan geostrategis. Sering kita lupa, dari ribuan pulau yang kita miliki, terdapat 92 pulau terluar Indonesia, meliputi 141 kabupaten/kotamadya yang berada di 14 propinsi, yang merupakan daerah perbatasan dengan 10 negara tetangga. Sehingga persoalan penanganan dan pengawasan daerah perbatasan menjadi sesuatu yang tidak mudah. Setelah 2 peristiwa penting masing-masing lepasnya bekas propinsi Timor Timur tahun 1999 dan menjadi negara merdeka, dan menangnya pihak Malaysia dalam sidang Mahkamah Internasional di Den Haag tahun 2003 terhadap kepemilikan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan dan kini dengan masih memanasnya blok Ambalat harusnya menyadarkan kita untuk merubah orientasi dan pendekatan daerah perbatasan.

Anggapan di masa lalu, yang lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan (security approach) daripada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach), telah mengakibatkan wilayah perbatasan ini, baik daratan maupun pulau-pulau terluar, menjadi daerah yang nyaris tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan, kurangnya infrastruktur dan pusat-pusat pelayanan pemerintah lainnya yang menyebabkan masyarakatnya menjadi relatif miskin dan tertinggal, sehingga yang melatarbelakangi pula maraknya kegiatan-kegiatan ilegal seperti illegal logging, illegal trading, maupun traficking.

Seyogyanya Departemen Pertahanan fokus pada hal terakhir di atas dalam menyatukan persepsi untuk memberdayakan kawasan perbatasan dan pulau-pulau terdepan Indonesia. Bukan isu-isu lain yang kurang strategis -pendaratan pesawat di jalan umum, ruang latihan bagi tentara-. Upaya penjagaan wilayah perbatasan nasional yang begitu luas tidak semuanya bisa diselesaikan dengan pendekatan militer. Pendekatan geostrategis dengan penataan ruang merupakan pendekatan yang bisa menjaga keutuhan wilayah nasional khususnya daerah perbatasan.

Menurut data Departemen Pertahanan pula, Indonesia mempunyai potensi konflik perbatasan yang mirip Sipadan-Ligitan yang telah usai, (juga saat ini masih memanasnya blok Ambalat) dengan hampir seluruh negara yang berbatasan langsung. Pulau-pulau yang berpotensi itu adalah ; Rondo di Sabang, Berhala dan Nipah di Selat Malaka, Sekatung di Kepulauan Natuna, Marore, Miangas, Beras di Papua, serta Pasir di selatan Nusa Tenggara Timur. Diprediksi, setelah memanasnya konflik Pulau Ambalat adalah Pulau Nipah yang berbatasan dengan Singapura dan Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna yang berbatasan dengan Vietnam. Inilah yang harus diterjemahkan departemen pertahanan dalam mengkritisi dan mempersiapkan peraturan perundangan berikutnya. Belum lagi potensi minyak dan gas yang terkandung di kawasan perbatasan ini. Di Natuna, salah satu pulau yang berbatasan dengan Singapura, memiliki 377,2 juta barel cadangan minyak serta menyimpan cadangan gas alam terbesar dengan kisaran 54,2 triliun kaki kubik.

Terakhir perlu kearifan lagi baik oleh pemerintah maupun DPR sebelum RUU Penataan Ruang ini disyahkan, supaya jangan terkesan terburu-buru. Karena banyak permasalahan lingkungan akibat dari ketidak-pekaan kita dalam pembangunan dan perencanaan tata ruang yang segera perlu dibenahi secara mendasar.

Read More......

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]