KAMIS, 12 MARET 2009 | 13:09 WIB
Oleh YUNI IKAWATI
KOMPAS.com - Naiknya permukaan laut akibat pemanasan global telah merendam pantai di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Paparan Sunda dan Paparan Sahul. Di Paparan Sunda ada Pulau Jawa yang perlu mendapat perhatian lebih karena pertimbangan ekologis dan ekonomis.
Gas-gas rumah kaca (GRK), terutama karbon dioksida yang terus teremisikan ke atmosfer tanpa henti bahkan terus merangkak naik sejak tiga abad lalu, telah menampakkan dampak buruknya secara nyata.
Beberapa negara kepulauan telah melaporkan kehilangan pulau-pulau kecilnya. Papua Niugini, misalnya, melaporkan ada tujuh pulaunya yang berada Provinsi Manus telah tenggelam. Adapun Kiribati telah kehilangan tiga pulaunya, sekitar 30 pulau lainnya juga mulai menghilang dari permukaan laut.
Kiribati bukan satu-satunya negara kecil yang tergabung dalam SIDS (Small Islands Development States) yang terancam hilang dari muka bumi ini. Diperkirakan dari 44 anggota SIDS, 14 negara di antaranya akan lenyap akibat naiknya permukaan laut.
Di Samudra Pasifik ancaman itu selain dihadapi Kiribati juga dialami Seychelles, Tuvalu, dan Palau. Adapun di Samudra Hindia ada Maladewa yang bahkan akan kehilangan seluruh pulaunya. Menghadapi ancaman hilangnya kedaulatan wilayahnya, belum lama ini Presiden Maladewa yang berpenduduk 369.000 jiwa menyatakan akan merelokasikan seluruh negeri itu dan mengharapkan uluran tangan negara lain untuk mereka menyewakan wilayahnya.
Sementara itu, nasib yang sedikit beruntung dialami Vanuatu yang didiami 212.000 penduduk. Negara ini masih memiliki lahan untuk merelokasi penduduknya yang tinggal di kawasan pesisir yang terendam.
Kerugian Indonesia
Di antara negara kepulauan di dunia, agaknya kerugian terbesar bakal dihadapi Indonesia, sebagai negara yang memiliki jumlah pulau terbanyak. Pada tahun 2030 potensi kehilangan pulaunya sudah mencapai sekitar 2.000 bila tidak ada program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, urai Indroyono, Sekretaris Menko Kesra yang juga mantan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP.
Saat ini belum diketahui berapa sesungguhnya jumlah pulau di Nusantara ini yang telah hilang karena dampak kenaikan permukaan laut. Namun, pengamatan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menunjukkan penciutan daerah pantai sudah terlihat di pulau-pulau yang berada di Paparan Sunda dan Paparan Sahul, ungkap Aris Poniman, Deputi Sumber Dasar Sumber Daya Alam Bakosurtanal.
Paparan Sunda meliputi pantai timur Pulau Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan serta pantai utara Pulau Jawa. Adapun Paparan Sahul berada di sekitar wilayah Papua. Penjelasan Aris didasari pada pemantauan pasang surut yang dilakukan Bakosurtanal di berbagai wilayah pantai Nusantara sejak 30 tahun terakhir.
Menghadapi ancaman hilangnya kawasan pantai dan pulau kecil yang kemungkinan akan terus berlanjut pada masa mendatang, Aris yang juga pengajar di IPB menyarankan penyusunan peta skala besar, yaitu 1:5.000 dan 1:1.000.
"Saat ini baru tiga kota besar, yaitu Jakarta, Semarang, dan Makassar, yang memiliki peta berskala tersebut," ujarnya. Pada peta tampak detail wilayah pantai yang terbenam di tiga kota tersebut. Peta ini disusun Bakosurtanal bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Selain itu, pembuatan peta skala besar juga dilaksanakan untuk wilayah barat Sumatera dan selatan Jawa-Bali-Nusa Tenggara. Hal ini terkait dengan pembangunan Sistem Peringatan Dini Tsunami (TEWS). Sementara itu, untuk wilayah timur Sumatera dan wilayah lain yang tergolong rawan genangan air laut akibat pemanasan global peta yang ada masih berskala kecil, sekitar 1:25.000.
"Pembuatan peta genangan perlu menjadi prioritas agar setiap daerah dapat melakukan langkah antisipasi dan adaptasi pada wilayah yang bakal tergenang dalam 5 hingga 20 tahun mendatang," ujarnya.
Data spasial dan penginderaan jauh yang merekam dampak pemanasan global juga akan menjadi materi untuk pengambilan kebijakan di setiap instansi terkait pada waktu mendatang, urai Indroyono.
Skenario usia bumi
Tanpa perubahan pola konsumsi manusia dan perilaku manusia, serta tanpa upaya mereduksi emisi GRK untuk mengatasi pemanasan global, Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan usia bumi tinggal seabad lagi.
Proyeksi itu berdasar tren kenaikan suhu udara hingga 4°C. Tingkat itu dapat tercapai bila emisi GRK terus bertambah dalam beberapa dekade ke depan karena tidak ditegakkannya kebijakan mitigasi perubahan iklim dan pola pembangunan ramah lingkungan.
Bila melihat data emisi GRK pada kurun waktu 1970-2004, emisi GRK naik 70 persen. Tingkat itu disumbangkan dari sektor energi yang mencapai peningkatan 145 persen.
Bila temperatur udara naik menjadi 4°C, dampaknya antara lain hilangnya 30 persen lahan basah, naiknya kasus penyakit akibat udara panas, banjir, dan kekeringan, mengakibatkan angka kematian naik drastis.
Ancaman itu, menurut IPCC, dapat dicegah dengan beberapa skenario untuk menurunkan GRK hingga tahun 2030. Skenario terbaiknya adalah menahan kenaikan suhu bumi hanya 2°C-2,4°C sampai 23 tahun ke depan. Untuk mencapai itu, konsentrasi GRK harus distabilkan pada kisaran 445-490 part per million (ppm).
Skenario lain menyebutkan, kenaikan dibatasi sekitar 3,2°C hingga 4°C pada kurun waktu yang sama, dengan menjaga jumlah GRK 590-710 ppm. Saat ini tingkat GRK telah melampaui itu semua. Tahun 2005 konsentrasi GRK 400-515 ppm.
Menurut IPCC, target itu bisa dicapai jika diterapkan kebijakan mitigasi perubahan iklim di tiap negara, yang harus diambil di sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, dan juga manajemen limbah.
27 Maret, 2009
Selamatkan Pantai dan Pulau Kecil
di 16.56 Diposting oleh Raflis
26 Maret, 2009
Pusat Ancam Ambil Alih Penyusunan RTRW Daerah
''Setiap usulan RTRW wajib disampaikan ke pusat dan setelah itu dibahas Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Nasional untuk kemudian disahkan melalui aturan peraturan daerah untuk dilaksanakan di daerah masing-masing,'' tegas Dirjen Pengembangan Daerah, Depdagri, Syamsul Arief ketika ditemui di Jakarta, Selasa (24/3).
Syamsul mengatakan, setelah RTRW ditetapkan, Pemda harus melaksanakan dan mempergunakan lahan sesuai pemanfaatan. Bahkan, lanjutnya, apabila itu dilanggar maka sanksi pidana yang diatur dalam UU Penataan Ruang siap untuk menjerat para pengambil kebijakan di daerah.
''Dalam setiap usulan penetapan RTRW dari daerah, harus memenuhi persyaratan lingkungan, kalau tidak, usulan tersebut akan ditolak. Itulah yang selama ini banyak dikeluhkan daerah karena usulannya tidak pernah disahkan,'' katanya.
Karena itu ia meminta daerah yang akan mengusulkan dan menetapkan Perda hendaknya membahas secara mendalam dan memperhatikan azas manfaat dan risiko keputusan mereka.
Deputi Bidang Pelestarian Lingkungan Meneg LH Sudariyono mengatakan agar Pemda segera menutaskan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam proses penyusunan RTRW tahun 2013. Setidaknya, draft tentang norma, standar, pedoman dan manual (NSPM) harus sudah 100 persen.
''Hal itu akan menjadi tolok ukur kinerja Pemda dalam menyusun NSPM. Seharusnya pelaksanaannya dimulai pada tahun 2009 namun karena terjadi pelambatan, maka diputuskan mulai tahun 2010,'' kata dia.
Sudariyono berharap NSPM mendapat perhatian Pemda. Untuk itu pihak Kemeneg LH dan Depdagri akan mengirimkan surat tertulis kepada Pemda untuk segera menyusun NSPM.
Agar selanjutnya dapat dikembangkan evaluasi terhadap pelaksanaan RTRW dalam era otonomi daerah. ''Kemeneg LH sendiri dalam pengembangan daerah, kini lebih memperhatikan masalah ekosistem dibanding memperhatikan batas administrasi,'' tegas dia.
Sementara itu Direktur Fasilitas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Depdagri Syofyan mengatakan, salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas lingkungan hidup di daerah adalah meningkatkan pemberdayaan kelembagaan yang berkenaan dengan lingkungan di daerah.
Dia mengatakan, upaya mengelola lingkungan hidup kurang mendapat respon dari pemangku kepentingan. Bahkan banyak kecenderungan terjadi benturan kepentingan, utamanya bila terkait dengan sumber pendapatan asli daerah (PAD).
''Untuk itu, meski kepala daerah memahami dalam penataan ruang, KLHS dan persoalan lingkungan, namun diperlukan konsitensi dan evaluasi dalam pelaksanaan di lapangan,'' ujarnya.(zul/jpnn)
Read More......
di 00.27 Diposting oleh Raflis
25 Maret, 2009
Tak Ada Izin Perkebunan di Hutan
Jum'at, 20 Maret 2009 , 08:28:00
PEKANBARU (RP) - Direktur Pusat Perencanaan Tata Ruang dan Statistik Kehutanan Departemen Kehutanan, Basoeki Karyaatmadja, menyatakan agar Riau jangan sampai melakukan pemutihan, yakni jangan sampai membiarkan izin perkebunan yang berada di dalam kawasan hutan dilegalkan.
Hak Guna Usaha (HGU)-nya, kata Basoeki, Kamis (19/3) didampingi oleh Kabid Planologi Dinas Kehutanan Riau M Murod, harus dicabut dulu. Jika tidak Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau .Ini memang memerlukan proses. Namun juga sangat tergantung dengan komitmen daerah.
Misalnya dengan tidak melakukan pemutihan, selanjutnya melengkapi data-data yang diperlukan, menggunakan peta yang sama, dan melakukan koordinasi intensif. Kalau hal tersebut tidak dilaksanakan, maka RTRWP Riau akan berlarut-larut, ungkap alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini
RTRWP Riau, pengganti Perda Nomor 10 tahun 1994 tersebut, sudah mulai dibahas sejak tahun 1999. Namun sampai hari ini, 10 tahun kemudian, belum ada kejelasan RTRWP Riau akan disahkan. Basoeki menyebutkan rencana tata ruang Riau, belum serasi dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan juga Undang-undang Tata Ruang.(ndi)
di 17.51 Diposting oleh Raflis
Mencari Solusi Krisis Air sebelum Mencapai Puncak pada 2025
PBB menekankan pengalihan air dari wilayah yang memiliki sumber daya alam berlebih ke wilayah lain. Dari satu daerah aliran sungai (DAS) ke DAS lain. ''Dunia internasional ingin menekankan bahwa saat ini terjadi krisis air yang hebat.'' kata Juru Kampanye Air dan Pangan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Erwin Usman.
Menurut dia, Indonesia memang juga mengalami krisis air. Namun, ketersediaan sumber daya alam itu masih cukup tinggi jika dibandingkan Eropa maupun Amerika. Yang patut diwaspadai, kata Erwin, tema itu secara tidak langsung akan memaksa Indonesia agar berbagi air dengan negara lain. ''Tentu saja dengan share yang tidak adil,'' ungkapnya.
Hal itu, kata Erwin, bisa dicermati sejak beberapa tahun lalu ketika UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air digolkan. UU yang mengatur privatisasi air di Indonesia itu ditengarai hasil rekayasa bank dunia untuk mengomersialkan sumber daya air Indonesia. ''Sejak privatisasi mulai dilakukan di Jakarta, krisis air yang terjadi tak makin membaik, namun malah memburuk,'' jelas dia. Di berbagai sektor juga demikian. Termasuk, domestik, industri, dan pertanian.
Tak hanya itu, pada 1997-2002, bank dunia juga mencairkan pinjaman USD 300 juta kepada Indonesia untuk mendorong regulasi tata sumber air negara ini. Dalam annual report World Bank disebutkan bahwa pinjaman kepada Indonesia itu merupakan salah satu keberhasilan kinerja lembaga tersebut. ''Dengan tata regulasi yang mendapatkan campur tangan dari negara lain itu, maka Indonesia secara tidak langsung akan terikat agar terpaksa berbagi air dengan negara lain,'' ujarnya.
Tak ayal, alih-alih pemerintah dapat memenuhi persediaan air bersih bagi penduduknya, bisa jadi pengalihan air ke negara lain akan menjadi prioritas.(kit/iro)
---------------------------
*Mencari Solusi Krisis Air sebelum Mencapai Puncak pada 2025*
Hanya 18 Persen Tercover Air Bersih
Hari Air Sedunia telah diperingati pada 22 Maret lalu. Kali ini, krisis air dan persediaan air bersih menjadi isu sentral di antara para komunitas pencinta lingkungan dunia. Krisis air itu diprediksi bakal memuncak pada 2025. Mengapa?
AKHIR 2008 lalu, Departemen Kehutanan dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) merilis data baru. Bahwa dari tiga juta hektare daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia, sekitar 2,7 juta hektare di antaranya dalam kondisi rusak. Tiga juta hektare DAS itu terdiri atas 318 DAS. ''Dari jumlah itu 60 DAS di antaranya rusak parah,'' kata Erwin Usman, juru kampanye air dan pangan eksekutif nasional Walhi.
DAS yang menjadi andalan di Pulau Jawa, seperti Citarum, Brantas, dan Bengawan Solo masuk dalam 60 kerusakan teratas tersebut. Padahal, 60 persen penduduk Indonesia tinggal di Jawa. Demikian pula, keberadaan pusat industri mayoritas ada di sana.
Saat ini potensi air yang ada hanya 4,5 persen untuk 65 persen penduduk di Indonesia. Sementara, berdasarkan data Susenas 2007, dari 225 juta penduduk Indonesia, yang mendapat layanan air bersih baru 18 persen. Sekitar 40 persen di antaranya tinggal di perkotaan. ''Hanya 8 persen penduduk desa yang menikmati PDAM,'' ungkapnya.
Jika dirinci lagi, penggunaan air oleh penduduk Indonesia 74 persen masih mengandalkan air tanah, 18 persen PDAM, tiga persen air sungai dan hujan, 2,5 persen dari air kemasan, dan sisanya dari sumber lain. ''Kenyataan itu sangat paradoks bahwa sumber air merupakan hak asasi manusia dan harus dipenuhi negara,'' kritiknya. Kenyataannya, pemerintah hingga kini baru bisa memenuhi 18 persen ketersediaan air. Sisanya, penduduk terpaksa memenuhi air sendiri.
Terjadinya krisis air dari tahun ke tahun, menurut Erwin, disebabkan beberapa hal. Perubahan iklim (climate change) ditengarai amat memengaruhi krisis air. Di samping itu, ada faktor pemakaian domestik, industri, maupun sektor pertanian.
Di satu sisi, pemerintah dinilai terjebak dengan menyerahkan pengelolaan air kepada mekanisme pasar. ''Hanya karena mereka sudah teruji,'' ujarnya. Jika langkah bijak tak segera ditempuh, yang paling terancam adalah penduduk yang tinggal di Jawa. Selama kurun 9-10 bulan, penduduk Jawa selalu mengalami krisis air. Alhasil, berbagai risiko terjadi. Misalnya, gagal panen. Namun, kondisi sisa dua bulan juga tidak lebih baik. Yang terjadi lantaran surplus air yang berlebihan sehingga terjadi banjir dan longsor. ''Ini disebabkan pengelolaan air belum maksimal,'' paparnya.
Direktur Penyehatan Air Depkes Dr Wan Alkandri mengakui, krisis air masih menjadi tema sentral dunia dalam peringatan Hari Air Sedunia tahun ini. Persoalan itulah yang juga dibahas dalam pertemuan internasional di Istambul, Turki, yang melibatkan para pengambil kebijakan, sektor swasta, PDAM, dan sektor pertanian. ''Krisis air yang kita hadapi saat ini tak hanya secara kuantitas, tapi juga kualitas,'' terang Wan yang juga mengikuti pertemuan itu di Istambul kemarin.
Daerah-daerah di Indonesia, kata Wan, tidak sepenuhnya kekurangan air. Kalimantan, misalnya, termasuk pulau yang memiliki air berlebih. Namun, kualitas airnya boleh dikatakan buruk. Solusi yang ditawarkan dalam pertemuan itu salah satunya adalah penerapan manajemen pengelolaan air secara terpadu. Pengelolaan air harus dilakukan lintas sektor. Tak hanya PR pemerintah, tapi juga butuh pelibatan sektor kehutanan, pertanian, dan industri. Upaya itu harus dilakukan secara konsisten dalam jangka waktu lima tahun.
Dalam jangka menengah, kata Wan, komitmen politik amat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan itu. Terutama, prioritas terhadap sanitasi. Tak hanya itu, revitaliasi PDM juga menjadi rencana jangka menengah. Dalam kurun lima tahun ini, pemerintah akan memasang 10 juta sambungan rumah untuk masyarakat perkotaan. Demikian juga sarana air minum untuk masyarakat pedesaan akan ditingkatkan.
Komitmen jangka panjang harus ditempuh berhubungan dengan cara mencegah climate change agar tak semakin memburuk. Salah satu upaya yang wajib dilakukan adalah menjaga hutan tropis Indonesia.
Sejatinya, kata Wan, cara paling sederhana mencegah krisis air adalah menghemat penggunaan air. Terutama, dalam pemakaian domestik.(kit/iro)
Jawa Pos:
http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=59186
http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=59183
di 08.08 Diposting oleh Raflis
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Selasa, 24 Maret 2009/ KOMPAS.
Jakarta, Kompas - Sebanyak 12 undang-undang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tidak konsisten dalam substansinya. Kondisi itu memprihatinkan tidak hanya masa sekarang, tetapi justru bagi masa depan pengelolaan lingkungan.
Kesimpulan itu muncul dalam kajian kritis yang disampaikan pada Pertemuan Nasional Pengarusutamaan Lingkungan Hidup dalam Perencanaan Pembangunan Daerah yang diadakan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup di Jakarta, Senin (23/3). "Hampir semua UU mengacu pada Pasal 33 UUD, tetapi orientasinya saling berbeda," kata salah satu pengkaji, guru besar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria SW Sumardjono.
Ada tujuh aspek tolok ukur yang digunakan tim pengkaji, yakni orientasi, akses memanfaatkan, hubungan negara dengan obyek, pelaksana kewenangan negara, hubungan orang dengan obyek, hak asasi manusia, dan tata pemerintahan yang baik (good governance).
Pada aspek orientasi, ada yang prorakyat, prokapital, dan ada juga yang mengombinasikan keduanya.
"Ada yang semangatnya konservasi, ada yang eksploitasi, atau keduanya.Kalau tujuannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, semestinya ada akses yang memungkinkan bagi rakyat," kata Maria.
Faktanya, ada beberapa contoh UU yang berpotensi menyimpang dari memakmurkan rakyat, berpotensi meminggirkan hak masyarakat adat, membatasi akses publik, propemodal, dan tidak sepenuhnya menjunjung HAM.
Undang-undang itu di antaranya UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 22/2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, serta UU No 31/2004 tentang Perikanan.
Menurut pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB), Ernan Rustiadi, dengan model pengelolaan SDA seperti sekarang yang cenderung bermuara pada swasta, maka kerusakan dan habisnya sumber daya hanya soal waktu.
Ciri khas pengelolaan sumber daya alam (SDA), negara mengambil kekuasaan dari masyarakat adat sebelum diberikan kepada swasta. "Masing-masing sektor masih memiliki pandangan berbeda tentang istilah dan pemanfaatan SDA," katanya.
*Peran legislatif *
Guru besar Hukum UGM Nurhasan Ismail mengatakan, masih ada kesempatan membangun konsistensi pada UU terkait SDA dan lingkungan. Salah satunya peran DPR untuk menyaring atau menyinkronkan visi dan misi UU yang diajukan banyak sektor.
"Bila tak dilakukan, sampai sumber daya alam habis juga tak akan pernah konsisten. DPR bisa lakukan itu, tidak lagi hanya urusan politiknya saja," ujarnya.
Ia menilai egosektoral yang tercermin pada UU sudah parah. Masing-masing departemen/kementerian melihat bahwa UU yang diajukan departemen lain merupakan kompetitor dengan pemahaman menang-kalah. "Selama begitu ya tidak akan pernah konsisten," kata Nurhasan.Maria mengatakan, syarat lain pengarusutamaan pengelolaan SDA dan lingkungan yang ideal, selain keberadaan satu lembaga pengoordinasi, adalah adanya satu UU yang menjadi pijakan bersama. Ia menyebut RUU Pengelolaan SDA yang sejak tahun 2001 belum juga disahkan DPR.
"Nantinya seluruh UU yang ada (harus) menyesuaikan dengan pijakan bersama yang berisi prinsip-prinsip itu," kata Maria. Tanpa itu, ia menilai pengarusutamaan akan sangat berat diwujudkan. (GSA).......
di 08.00 Diposting oleh Raflis
Suaka Margasatwa |
||||
Balai Raja |
Giam Siak Kecil |
Bukit Batu |
Danau Pulau Besar |
Bukit Rimbang Bukit Baling |
Tasik Tanjung Padang |
Tasik Serkap |
Tasik Metas |
Tasik Belat |
Kerumutan |