27 Januari, 2009

Mengutamakan Manfaat Tanah: Menyibak Bom Waktu di Balik Kasus Suluk Bongkal

(Oleh: Moh. Jehansyah Siregar, Ph.D. Pemerhati dan pegiat di bidang perumahan dan perkotaan, tinggal di Bandung. Email: jehansiregar at yahoocom)
Kekerasan yang diperagakan Polda Riau dalam menyelesaikan sengketa tanah di Suluk Bongkal antara Serikat Tani Riau (STR) dan PT Arara Abadi kembali mengundang keprihatinan banyak pihak. Dua bayi tak berdosa telah berpulang ke hadiratNya akibat terbakar. Mereka menjadi tumbal di salah satu lokasi dari sekian banyak kasus konflik tanah di seluruh bagian nusantara. Kejadian ini mengulang kembali kejadian yang sama di seluruh tanah air, seperti juga kasus-kasus penggusuran oleh aparat Pemerintah Kota. Komnas HAM menyatakan pihak keamanan telah melakukan pelanggaran HAM dalam kasus ini. Ada permintaan yang diajukan oleh pihak tertentu kepada pihak keamanan untuk mengosongkan tanah, menertibkan, mengusir, menggusur atau apa pun namanya. Selain dipicu pesanan spesial tersebut, pihak keamanan selalu berargumen bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan telah sesuai dengan hukum.

Komnas HAM sudah menyatakan dengan tegas, tidak ada satu pun hukum yang membenarkan tindakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan warga di negeri ini! Penulis sangat setuju dan mengajak semua pihak untuk mendukung penuh ketegasan Komnas HAM ini. Bravo Komnas HAM! Bagaimanapun, sebagai negara yang berasaskan Pancasila khususnya sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, fatwa Komnas HAM ini patut menjadi perhatian seluruh pihak penyelenggara Negara, mulai dari Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat hingga Lurah dan Dewan Kelurahan!

Kepada aparat penertiban (Satpol PP), keamanan (Polisi) dan pertahanan negara (Tentara) hendaknya tidak serta merta ringan tangan menerima pesanan pihak-pihak tertentu. Baik dari pihak-pihak perorangan, perusahaan modal kuat yang kebelet berspekulasi, maupun permintaan dari aparat Pemerintah! Bahkan permintaan dari pihak pengadilan sekalipun! Karena keadilan pun harus ditegakkan secara manusiawi dan beradab! Ingat, aparat keamanan makan gaji dari uang rakyat dan mendapat amanat Konstitusi NKRI untuk melindungi dan mengayomi seluruh rakyat. Mereka BUKAN PESURUH BAYARAN yang bisa menerima pesanan khusus! Parahnya, pada beberapa kasus bayarannya ini pun bersumber dari uang rakyat!

Kembali kita hendaknya mendukung anjuran Komnas HAM, yaitu hendaknya semua pihak yang berkepentingan lebih berlapang dada, menjauhi upaya-upaya jalan pintas, duduk bersama menuntaskan persoalan yang ada. Namun pihak-pihak yang berkepentingan langsung tentunya tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri saja. Pihak-pihak terkait lainnya harus bertanggung jawab dan harus keluar dari persembunyiannya! Pihak-pihak yang ambil sikap diam dan pura-pura tidak tahu harus berani keluar dari cangkangnya yang nyaman! Komnas HAM sudah menyebut beberapa pihak yang berada lebih di hulu, yaitu Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten dan Badan Pertanahan.

Baik, katakanlah kini semua pihak di daerah sudah berusaha duduk bersama. Harus dicatat pula, bahwa konflik tanah selalu berkepanjangan. Konflik tanah di Dusun Suluk Bongkal, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau ini sudah berlangsung sekitar dua tahun. Pertanyaannya, apakah para-pihak berkepentingan dan para-pihak terkait di daerah dapat menyelesaikan masalah ini sendiri? Semoga saja, meskipun belum tuntas. Paling tidak mereka sudah harus menghentikan cara-cara represif sebagai solusi. Namun ibarat bom waktu, kebuntuan (deadlock) ini berpotensi untuk terus berlarut-larut dan dapat kembali meledakkan kekerasan aparat keamanan yang berakibat pelanggaran HAM. Juga tidak ada jaminan bom waktu yang sama tidak meledak di tempat lain di tanah air.

Perdebatan tipikal seperti dasar hukum pemilikan tanah, masalah ketertiban, rasa keadilan, pelanggaran HAM dan sebagainya, tak akan kunjung tuntas sejauh solusi hanya disandarkan pada status hukum dan kekerasan aparat keamanan. Solusi ganti rugi uang sekalipun tidak akan menyelesaikan masalah! Ganti rugi uang itu hanya cara-cara yang biasa dipakai preman, pemalak dan calo, yang sayangnya masih digemari mulai dari preman jalanan sampai preman elit. Ganti rugi uang hanya semakin memiskinkan dan sama sekali tidak memberdayakan pihak manapun. Justru di sini penulis bersimpati terhadap aparat keamanan sebagai pihak yang hanya digunakan untuk menyulut kebakaran. Kita juga beriba hati dengan Komnas HAM yang hanya kebagian peran bak pemadam kebakaran!

Oleh karena itu di sini penulis berpendapat bahwa masih ada akar masalahnya di tingkat yang lebih hulu lagi. Akar masalah inilah yang menyebabkan merebak dan berlarut-larutnya berbagai kasus sengketa tanah hampir di seluruh wilayah tanah air, di semua kota, di semua wilayah dan di semua pulau di tanah air tercinta ini. Akar masalahnya adalah belum ditempatkannya manfaat tanah sebagai yang utama, di atas urusan-urusan pertanahan lainnya dengan menganut asas-asas keadilan dan kemanfaatan tanah yang produktif. Demikian pula, masih absennya berbagai sistem dan mekanisme pembangunan yang mengutamakan manfaat tanah.

Mispersepsi Peran Administrasi PertanahanBanyak kalangan menyorot administrasi tanah sebagai akar masalah sengketa tanah yang menyimpan segudang potensi konflik. Badan Pertanahan Nasional (BPN) termasuk Kantor Pertanahan di daerah-daerah dituding sebagai lembaga yang bertanggung jawab. Perkara yang sering muncul pun akhirnya berputar pada klaim pemilikan tanah. Aspek hukum pertanahan selalu dijadikan jalan penyelesaian segala sengketa. Beginilah pandangan tipikal dari kalangan awam maupun para elit di negeri ini dalam mensikapi carut marut masalah tanah, yaitu memandang masalahnya adalah urusan kepemilikan, bagaimana administrasi kepemilikannya dan bagaimana menyelesaikan sengketa kepemilikan di pengadilan.

Memang disadari bahwa administrasi tanah dan status pemilikan yang kuat adalah aspek penting yang perlu terus dibenahi sebagai prasyarat di berbagai bidang pembangunan yang membutuhkan sumberdaya tanah.. Namun harus kita akui pula bahwa kapasitas administrasi dan kejelasan hukum pertanahan di tanah air masih jauh dari memadai. Berbagai konflik tanah umumnya terjadi di wilayah yang urusan adminstrasi tanahnya masih belum tertangani dengan baik. Lalu apakah konflik tanah harus menunggu beresnya semua administrasi tanah? Menurut penulis justru pandangan yang meletakkan administrasi dan hukum tanah sebagai akar masalahlah yang merupakan sumber masalah. Mengapa?

Pertama, karena sebagai negara yang besar Indonesia memiliki aneka ragam budaya dan tradisi. Sebagai negara yang sedang berkembang memiliki pula ragam kondisi pembangunan antar wilayah, antar pulau, dan antar kota-desa. Hal-hal seperti ini berimplikasi pada aneka ragam bentuk dan status kepemilikan dan pemanfaatan tanah serta riwayatnya yang panjang. Sebagian besar tanah masih memiliki status dan riwayat yang beraneka ragam. Kita mengenal tanah adat, tanah garapan, verponding, tanah negara, dan sebagainya. Keadaan ini tidak bisa di-administrasi dengan sistem registrasi dan sistem kadastral yang seragam di seluruh tanah air, seluruhnya dan dalam waktu yang singkat pula.

Kedua, administrasi (sistem registrasi dan informasi) tanah bukanlah hal yang sederhana. Sebelum mengeluarkan sebuah sertifikat tanah, kantor pendataan tanah perlu menelusuri riwayat tanah tersebut secara seksama, mengarsip semua surat-surat yang berhubungan dengan riwayat tanah, baru kemudian mengukur dan mencatatkannya. Hal ini tentunya membutuhkan biaya administrasi dan sistem informasi yang tidak sedikit dan waktu yang lama. Apalagi jika menyangkut persil yang berukuran kecil dan banyak jumlahnya di kawasan perkotaan. Kenyataannya, masih sedikit tanah yang telah diregistrasi dan diberi sertifikat oleh BPN.

Pertanyaannya, apakah konflik tanah baru punya harapan diselesaikan setelah seluruh dan aneka ragam status tanah di bumi Indonesia ini diregistrasi? Tentunya ini hal yang mustahil, ibarat mimpi. Pemerintah saja sudah kewalahan dihadapkan masalah sengketa tanah yang sangat pelik. Hingga kini saja BPN sudah mengidentifikasi sekitar 3.000 kasus sengketa tanah yang BELUM DAPAT DISELESAIKAN. Belum lagi jika diperhitungkan potensi konflik yang ada dan terus bermunculan. Lalu ke mana arah administrasi pertanahan? Apakah memang kesalahan mendasar dalam pengelolaan pertanahan adalah karena memulainya dari administrasi tanah?

Dominasi Paradigma Pemilikan TanahAdministrasi pertanahan menjadi sumber masalah ketika hanya diarahkan untuk mendukung status hukum kepemilikan tanah. Akibatnya adalah dominasi paradigma kepemilikan tanah (land ownership) yang mendikte administrasi tanah. Payunh hukum pertanahan hanya digunakan semata untuk melindungi hak-hak pemilikan tanah. Dalam situasi pemerintahan yang belum baik, tidak mengherankan jika dominasi paradigma pemilikan tanah inilah yang melahirkan pendekatan kekuasaan dan kekerasan dengan menggunakan alat keamanan negara dalam penyelesaian sengketa tanah.

Pengutamaan administrasi tanah dan dominasi paradigma pemilikan tanah sebenarnya cenderung menghambat modernisasi pengelolaan sumber daya tanah dalam pembangunan yang transformatif dan dinamis. Perhatian yang mementingkan kedua aspek ini hanya melahirkan status quo Kantor Pertanahan dan kejumudan kelembagaan. Administrasi tanah yang dijalankan tanpa arah kebijakan dan perencanaan pemanfaatan tanah yang jelas dan tegas, serta tanpa mewadahi kebutuhan dan kepentingan berbagai pihak, hanya menjadi stempel pihak-pihak berkepentingan untuk menguasai tanah dengan jalan pintas. Buahnya adalah pola penanganan represif yang hanya menzalimi, bertambah-tambahnya penderitaan warga masyarakat yang sudah hidup susah, dan rasa ketidak adilan yang semakin meluas bak api dalam sekam.

Fenomena Spekulasi, Pembiaran, Penggusuran, dan Politik Bagi-bagi TanahTanpa arah yang jelas, Kantor Pertanahan tidak memiliki panduan dimana tanah perlu mendapat prioritas administrasi. Akibatnya, di bagian mana saja bumi nusantara ini, di atas sawah, di ladang ilalang, di hutan belukar, sertifikat hak milik begitu mudah didapat. Tanah-tanah yang luas hanya untuk dikuasai di atas kertas, dari Jakarta atau dari kota-kota besar. Tidak adanya arahan pemanfaatan tanah hanya menjadikan tanah sebagai komoditi dan kolateral penjaminan secara berlebihan sehingga menyuburkan praktik-praktik spekulasi dan manipulasi yang melibatkan pula pihak perbankan. Spekulasi tanah sebagai kolateral properti secara berlebihan ini pulalah yang turut menggelembungkan balon ekonomi.

Pada gilirannya, spekulasi tanah sebagai buah ekonomi pasar tanah yang menggelembung berdampak pada pembiaran-pembiaran tanah di mana-mana. Pemanfaatan tanah menjadi tidak penting karena tanah telah diborohkan untuk mendapatkan uang. Tanah-tanah lalu dibiarkan saja terlantar.

Akhirnya hukum alam tetap bekerja ketika tanah-tanah tersebut dimanfaatkan masyarakat, yang menurut kacamata pasar formal itu adalah pemanfaatan secara informal bahkan ilegal. Suatu ketika, jika tanah dibutuhkan, warga masyarakat pemanfaat tanah digusur begitu saja dengan cara-cara intimidasi dan kekerasan. Aparat penertiban dan keamanan disiapkan pula untuk menerima pesanan pengosongan, penertiban dan pengamanan tanah, yang hakikatnya adalah penggusuran dan represi. Beginilah pola-pola penanganan berbagai bentuk kegiatan informal.

Pengutamaan administrasi, status legal dan paradigma pemilikan tanah inilah yang melahirkan berbagai konflik pertanahan di negeri ini. Fenomena spekulasi tanah pembiaran, penggusuran dan sengketa hukum selalu mengemuka yang menjadi ciri khas pemerintahan di Indonesia. Jika begini terus keadaannya, maka administrasi tanah akan menjadi sumber korupsi dan menjadi biang kekusutan tata pemerintahan yang berkepanjangan, serta menjadi biang keresahan di masyarakat. Oleh sebab itu keadaan kemarut ini perlu diwaspadai agar jangan sampai hanya mendudukkan administrasi tanah dan pengadilan sebagai pintu utama penyelesaian masalah. Keadaan semrawut seperti ini juga rawan untuk dijadikan komoditas politik populis dengan program bagi bagi tanah, tanpa penyelesaian akar masalahnya secara mendasar dan sistemik.
Administrasi dan hukum pertanahan semata bukanlah panglima yang dapat menuntaskan sengkarut masalah tanah. Hukum pertanahan tidak dapat diterapkan secara persis sebagaimana hukum positif tindak pidana. Pengelolaan tanah harus secara jelas menentukan dimana, kepada siapa dan dengan tujuan apa administrasi tanah perlu diprioritaskan. Pengelolaan pertanahan memerlukan arah dan prioritas penanganan, identifikasi kebutuhan tanah dan kepentingan semua pihak serta pemberdayaan di berbagai seginya.

Mengutamakan Pemanfaatan TanahMenurut hemat penulis, diperlukan perubahan paradigma dalam memandang sumber daya tanah. Pada hakikatnya, tanah hanyalah milik Tuhan Sang Pencipta. Tanah yang membentuk kulit bumi ini sudah ada sejak dahulu kala bahkan ketika nenek moyang manusia belum menempatinya. Peran manusia di muka bumi ini adalah untuk memanfaatkan bumi dan sumber daya tanah dengan sebaik-baiknya secara berdaya guna dan berkelanjutan sebagai anugerah Tuhan.

Kehidupan bernegara memberikan arah bahwa pemanfaatan tanah harus didayagunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh warga negara, sebagaimana tertera pada UUD 1945 pasal 33. Hukum dasar negara kita ini sebenarnya telah memberi arah bahwa pemanfaatan tanahlah (land utilization) yang perlu dijadikan panduan dalam pengelolaan pertanahan, untuk menjamin kemanusiaan yang adil dan beradab dan terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.


Oleh karena itu pemanfaatan atas tanah harus ditempatkan sebagai asas utama, dan bukannya pemilikan tanah. Pemilikan tanah hanya diakui sepanjang mendukung pemanfaatan tanah. Untuk itu Negara perlu menjamin pemanfaatan tanah dengan sebaik-baiknya secara berkelanjutan. Untuk tujuan ketertiban, negara mendata dan memberikan hak kepada warganya untuk menguasai atau memiliki tanah di wilayah negara tersebut. Namun bukan kepemilikan mutlak, melainkan dalam rangka pemanfaatannya untuk kemakmuran seluruh warga secara berkeadilan.

Langkah-langkah Realisasi Pengutamaan Manfaat TanahMengutamakan manfaat tanah hendaknya jangan dijadikan sebatas dakwah kata-kata atau jargon kosong yang tak bermakna. Tugas besar yang menantang adalah bagaimana merealisasikan paradigma pengutamaam manfaat tanah ini dalam berbagai bentuk strategi dan mekanisme pembangunan. Menurut penulis sementara ini, mengutamakan pemanfaatan tanah setidaknya berimplikasi pada pentingnya 5 hal, yaitu: memperbaiki sistem tata guna tanah, pengutamaan kepemimpinan sektor publik, pembagian peran kelembagaan, pengembangan koordinasi dan pemberantasan spekulasi tanah.

1. Memperbaiki Sistem Tata Guna TanahSumber daya tanah tentunya sangat terbatas dan tidak terbarukan. Namun sistem rencana, sistem pemanfaatan dan sistem pengendalian manfaat tanah merupakan modal kelembagaan (institutional capital) yang harus dibangun secara progresif. Jika banyak pejabat yang berkilah sulitnya memperoleh tanah dan mahalnya harga tanah sebagai kendala, ini menunjukkan modal kelembagaan dan modal sistem yang masih primitif yang tidak responsif mendukung perkembangan kebutuhan tanah. Sumber daya kelembagaan dan sistem harusnya berkembang terus dan tidak akan pernah habis untuk memanfaatkan sumber daya tanah yang terbatas.


Pengutamaan pemanfaatan tanah akan menggerakkan pemerintah untuk menyusun sistem rencana dan penerapan tata guna tanah secara sungguh-sungguh. Sayangnya hingga kini modal kelembagaan ini belum terbangun dan belum jadi perhatian. Kondisi rencana tata guna tanah dan pengendalian pemanfaatannya tidak kalah memprihatinkan dibanding kondisi administrasi tanah. Rencana-rencana tata ruang (RTRW) dan tata bangunan (RTBL) hanya menjadi onggokan dokumen yang tidak diimplementasikan. Rencana-rencana peruntukan tanah (RGT), rencana perumahan dan permukiman (RP4D) di daerah jauh dari karakter kebutuhan yang ada. Konversi guna tanah terjadi secara diam-diam dan tak terkendali sehingga memaksa perubahan tak terencana dari RTRW setelah 20 tahun kemudian, sebagaimana kasus perubahan RTRW Jakarta 1965-1985 ke RTRW 1985-2005 dan RTRW 2005-2025 yang melalap peruntukan Ruang Terbuka Hijau kota.

Bagaimanapun, bangsa ini perlu segera membangun perikehidupan yang lebih tertib dengan taat terhadap rencana-rencana yang disusun secara partisipatif. Sistem perencanaan yang efektif terutama di sektor publik harusnya menjadi kerangka acuan aktifitas pembangunan di berbagai bidang dan oleh berbagai pelaku. Pemanfaatan tanah harus segera ditertibkan secara terencana dan terkendali. Rencana tata ruang, tata guna tanah, tata bangunan dan berbagai instrumen perencanaan lainnya perlu segera diefektifkan penerapannya serta mendapat prioritas penegakan hukum. Dengan instrumen infrastruktur publik, pemerintah dapat mengendalikan perencanaan tata ruang secara efektif. Untuk itu wilayah-wilayah yang cepat tumbuh dan potensial perlu segera diidentifikasi sebagai wilayah promosi pembangunan yang dipioritaskan. Setelah rencana tata ruang dan tata guna tanah disusun, barulah kemudian administrasi tanah diarahkan untuk mendukung tertib pemanfaatannya. Dengan demikian pengembangan kawasan lebih terkendali dan sertifikasi tanah memiliki arah dan prioritas.

Pemanfaatan tanah dan ruang yang berkembang dengan terencana dan terkendali, menghasilkan nilai properti yang tinggi dan terus meningkat sejalan dengan perkembangan kegiatan ekonomi yang berlangsung efisien di atasnya. Perencanaan pemanfaatan tanah yang dirujuk oleh administrasi tanah pada gilirannya diikuti oleh administrasi perpajakan tanah yang baik pula. Nilai poperti tanah dan bangunan yang tinggi akan menjadi objek pajak. Pendapatan negara dari perpajakan tanah dan bangunan yang bernilai tinggi ini akan membuat negara kaya. Kekayaan ini pulalah yang pada gilirannya akan memampukan pemerintah dalam pembiayaan infrastruktur publik. Efektifitas sistem tata guna tanah akan membentuk siklus pembangunan wilayah yang terus bertumbuh secara produktif dan sistemik, sebagai mesin pembangunan ekonomi yang semakin meningkat dan mensejahterakan seluruh rakyatnya secara berkeadilan.

2. Pengutamaan Kepemimpinan Sektor Publik
Perusahaan-perusahaan publik di berbagai bidang yang mengakumulasi tanah dan terkait penggunaan tanah, baik di tingkat nasional seperti Perum Perumnas, PT Perkebunan, Perhutani, PT Pelindo, PT. KAI, Pengelola Senayan maupun di daerah seperti Dewan Pengelola Kemayoran, , Pengelola Pantura, Pengelola Pluit, Jakarta Propertindo, dan lain-lain secara umum dapat dinilai belum berkembang dalam memanfaatkan tanah sebagai amanat kepentingan publik. Perusahaan publik yang menguasai tanah-tanah yang luas belum menjadi instrumen intervensi yang mampu mengendalikan manfaat dan mudarat dari penggunaan tanah untuk sebesar-besarnya kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

Sebagai hasilnya, di wilayah pesisir, kehutanan, pertanian dan perkebunan, terjadi konversi guna tanah yang marak sekali secara tidak terencana dan terkendali. Akibatnya adalah dampak pada kerusakan lingkungan hidup, mengakibatkan ekonomi wilayah tidak berkembang secara terencana, hingga konversi tanah yang anti sosial. Sebagai contoh, konversi tanah perkebunan menjadi permukiman dan perkotaan belum menjadi informasi publik yang terbuka. Konversi terjadi secara diam-diam di balik layar sehingga disusupi kepentingan investor dan pejabat yang korup.

Dampaknya di wilayah perkotaan, kota dan permukiman berkembang secara sporadis tanpa rencana dan pengendalian yang efektif. Pengutamaan status administrasi dan asas kepemilikan tanah hanya memihak kepentingan pemilik modal secara sepihak, selain merupakan celah korupsi yang menganga. Hasilnya adalah mosaik kota dan kawasan yang tersegregasi secara ruang dan sosial. Pengembang swasta dibolehkan membebaskan tanah mentah langsung dari masyarakat, melampaui rencana tata ruang dan tanpa lebih dulu dikonsolidasi oleh perusahaan publik. Ini namanya fenomena kepemimpinan sektor swasta (private sector led large scale housing development) yang kini marak terjadi. Meskipun sudah ada konsep mekanisme kawasan siap bangun skala besar yang harus dikelola badan publik (UU 4/92 tentang Perumahan dan Permukiman dan PP 80/99 tentang Kasiba-Lisiba, namun mekanisme ini mangkrak alias belum berjalan secara efektif dan progresif.

Konversi guna tanah dan ijin pengelolaan tanah berkembang tidak terkendali. Padahal konversi guna tanah yang terencana dan terkendali merupakan sumber daya yang sangat berharga untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Dan mekanisme itu hanya bisa dijalankan dengan memberikan pengutamaan pemanfaatan kepada perusahaan publik yang akuntabel.

Jika ada pandangan yang mengatakan adanya dominasi negara dapat mendistorsi pasar, memang ada benarnya menurut penulis. Namun kepemimpinan sektor publik berbeda dengan dominasi negara. Distorsi pasar perumahan belum pernah terjadi di tanah air akibat pemerintah terlalu mencampuri urusan tanah dan pemanfaatannya. Yang terjadi justru sebaliknya, distorsi terjadi akibat pemerintah tidak campur tangan. Sebagai contoh dalam hal tanah untuk perumahan, tanah di seputar Jabodetabekpunjur sudah dikuasai para pengembang swasta. Sementara Perumnas hanya menguasai beberapa ratus hektar tanah, sedangkan pengembang swasta menguasai hingga ratusan ribu hektar. Belum lagi jika dilihat letak strategis lokasinya yang sangat timpang.

Pemanfaatan tanah lebih terjamin dijalankan secara berkeadilan dan mengutamakan kepentingan orang banyak jika dijalankan dengan mengacu pada prinsip kepemimpinan sektor publik (public-sector-led development) yang transparan dan akuntabel. Sekali lagi, kepemimpinan sektor publik berbeda dengan dominasi sektor publik (public sector dominated development) atau dominasi negara (state dominated development). Mengapa penulis menekankan hal ini? Tidak lain adalah karena mitos dominasi negara ini seringkali digunakan pihak-pihak kepentingan untuk menghambat berkembangnya peran kepemimpinan sektor publik. Pihak-pihak inilah yang menginginkan iklim yang bebas seperti di hutan rimba karena merekalah yang mereguk kenikmatan dari spekulasi tanah, eksploitasi administrasi tanah, penyalahgunaan perijinan dan korupsi konversi guna tanah.

3. Pembagian Peran Kelembagaan.Pengutamaan manfaat tanah melalui pengutamaan sektor publik dan pemberantasan spekulasi tanah bukanlah pengekangan pasar. Yang perlu dilakukan pemerintah lebih jauh adalah pengembangan tata pemerintahan yang baik melalui pembagian peran kelembagaan yang efektif, yaitu antara pihak-pihak pemerintah, swasta dan organisasi-organisasi di masyarakat.Bagaimana memberikan peran penting kepada sektor publik? Kenaikan nilai tanah seharusnya diutamakan untuk lebih dulu diberikan kepada perusahaan- perusahaan publik. Namun bukan perusahaan publik yang kinerjanya buruk dan dipenuhi praktek korupsi. Secara simultan perusahaan-perusahaan publik berbagai sektor tersebut harus terus ditingkatkan kapasitasnya agar semakin profesional dan akuntabel serta dapat mengemban misi memanfaatkan tanah untuk kepentingan rakyat banyak. Tujuannya bukan untuk mencari untung, namun untuk memberikan kerangka bagi kepentingan berbagai pihak, menjamin kepentingan publik di dalamnya, dan mengembangkan kawasan-kawasan yang berkualitas dan berkeadilan. Baik pengembangan kawasan-kawasan lindung, hutan produksi, perkebunan, permukiman, industri, perhubungan dan sebagainya. Sebagai contoh, Perhutani mengemban misi hutan produksi rakyat, PT Perkebunan mengemban misi perkebunan inti dan plasma, Perumnas mengemban misi untuk merumahkan seluruh rakyat secara layak, PD Damri, Pelindo dan PT KAI mengemban misi transportasi publik, dan sebagainya. Pembagian peran ini lebih jauh adalah realisasi dari pengutamaan kepemimpinan sektor publik.

Adapun peran-peran lain diberikan kepada pihak swasta dan masyarakat seiring dengan sinergi antar pihak. Bangunlah sistem kerjasama yang baik sehingga kepentingan pihak swasta untuk mengambil untung tetap terjaga secara efektif dan efisien, bukan dengan membuka peluang spekulasi tanah (yang diiringi korupsi perijinan). Pengusaha swasta yang semakin efisien akan semakin kompetitif di era globalisasi.

Sebagai perbandingan adalah bidang perumahan dan transportasi di Jepang. UR atau Urban Renaissance (Perumnasnya Jepang) atau Dinas Perumahan Daerah nya selalu diutamakan untuk menguasai tanah dalam radius tertentu dari stasiun kereta listrik yang dibangun JR (Japan Railway, PT-KAI nya Jepang). Baru kemudian pada lingkar di luarnya pengembang swasta diberi ijin membangun. Sistem rel kereta yang dibangun JR umumnya berbentuk melingkar menguasai kawasan yang luas. Developer swasta yang lebih besar melirik kawasan di antara dua stasiun yang berdekatan tapi belum ada jalur rel keretanya. Di lokasi-lokasi ini yang biasanya ada di jalur jari-jari, mereka (Odakyu, Tobu, dll) tidak hanya membangun jaringan rel kereta, tapi juga menguasai tanah dan membangun aneka properti. Namun secara keseluruhan tidak ada pengembang swasta yang lebih besar dari UR dan JR. Ini terjadi bukan karena Jepang negara kaya, tapi karena bangsa Jepang dapat menempatkan peran-peran berbagai pihak pada posisinya. Mereka memahami mana yang untuk kepentingan orang banyak dan wilayah mana yang dibolehkan untuk kepentingan orang seorang.

4. Pengembangan Koordinasi Kelembagaan.Yang perlu dilakukan pemerintah juga adalah pengembangan tata pemerintahan yang baik melalui pengembangan mekanisme koordinasi yang efektif, terutama di antara lembaga- lembaga pemerintah secara lintas sektor dan lintas pusat-daerah. Sebagai perbandingan lagi, sebagai konsekwensi pembagian peran yang apik di Jepang, koordinasi dapat berjalan harmonis bukan karena dipaksa berkoordinasi.

Setidaknya ada tiga aspek penting dalam manajemen pertanahan yang perlu dijalankan pemerintah secara terkoordinasi, baik antar sektor maupun antar tingkatan. Ketiga aspek itu adalah tata guna tanah (land use) di hulunya, administrasi tanah (land administration) di tengah-tengah dan pajak tanah (land tax) di hilirnya. Ketiga instrumen penting ini perlu diselenggarakan secara terpadu dan diterapkan secara tepat sesuai potensi dan tingkat perkembangan suatu kawasan. Baik sebagai instrumen pendorong (incentive) maupun sebagai instrumen pengendali (disincentive) perkembangan kawasan.

Belum jelasnya kebijakan yang mampu menjamin distribusi tanah yang berkeadilan untuk seluruh rakyat adalah akibat masih terkotak-kotaknya koordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah tersebut. Di tingkat pusat, yaitu antara Badan Pertanahan Nasional (BPN), Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Direktorat Jenderal Pajak dan Departemen Dalam Negeri. Mengingat hubungan lembaga-lembaga tersebut adalah hubungan koordinasi kebijakan di tingkat kabinet, maka efektifitas koordinasi di antara aspek-aspek penting pertanahan untuk perumahan tersebut menjadi ukuran keseriusan seorang Presiden untuk menuntaskan masalah tanah. Pada gilirannya, koordinasi yang baik dalam kebijakan dan strategi di pusat dapat memberikan arahan yang konstruktif di tingkat daerah.

5. Pemberantasan Spekulasi Tanah.Pengutamaan status hukum dan kepemilikan tanah hanya membuka celah praktek-praktek spekulasi tanah. Sedangkan mekanisme hak pengelolaan lahan dan hak guna bangunan (leasehold) belum menjadi instrumen yang efektif untuk menerapkan rencana-rencana guna tanah untuk kepentingan publik dan untuk mengendalikan penguasaan dan pengelolaan tanah yang luas oleh selain lembaga publik.

Contohnya, siapa dan pihak mana yang paling menikmati kenaikan nilai tanah di sepanjang Tol Cikampek, Tol Jagorawi, Tol Tengerang dan Tol Purbalenyi, misalnya? Apa memang boleh pengembang swasta menikmati lebih dulu peningkatan nilai tanah akibat dibangunnya kompleks Pemda di Bekasi, misalnya lagi? Siapa yang seharusnya berhak menikmati peningkatan nilai tanah akibat konversi tanah-tanah perkebunan dan pertanian menjadi permukiman dan kota-kota baru?

Pertanyaan yang lebih mendasar lagi sebenarnya adalah, apakah ada prinsip pemanfaatan tanah di Indonesia ini yang menyatakan bahwa peningkatan nilai tanah akibat perencanaan ruang, pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik diutamakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat atau kepentingan publik? Bukankah keadaan ini yang menyebabkan maraknya praktek spekulasi tanah oleh para pengembang dan spekulan-spekulan individu? Spekulasi tanah bukanlah cermin mekanisme pasar, namun wujud kehidupan hutan rimba yang membolehkan siapa yang kuat memakan yang lemah.

Absennya sistem tata guna tanah, kepemimpinan sektor publik, pembagian peran dan koordinasi semakin menyuburkan spekulasi tanah, sedemikian sehingga banyak orang-orang dan para pihak tertipu. Mereka menyangka bahwa kegiatan spekulasi yang dilakukannya adalah sah-sah saja, halal dan tentunya wuenak tenan. Mental spekulasi tanah sudah cukup berkarat dan membudaya di tengah-tengah bangsa yang sedang membangun budaya dan identitasnya ini. Untuk itu perbaikan sistem tata pertanahan saja tidak lagi memadai. Diperlukan pemupukan kesadaran baru di tingkat nasional, bahwa spekulasi tanah adalah salah satu bentuk korupsi tanah yang dapat menyengsarakan rakyat banyak. Para ulama dan pemuka agama juga perlu memahami masalah ini dan memberikan fatwa haram terhadap tindakan spekulasi tanah maupun spekulasi aset properti lainnya (spekulasi apartemen, rumah susun dan lain-lain). Pemberantasan spekulasi tanah harus sama kencangnya dengan pemberantasan korupsi.

gilirannya, mengutamakan manfaat tanah melalui realisasi lima agenda di atas berimplikasi pada terbukanya akses terhadap tanah bagi seluruh rakyat dan tumbuhnya keamanan pemanfaatan tanah. Akses terhadap tanah (access to land) haruslah dibuka seluas-luasnya bagi seluruh warga negara dan semua pihak yang membutuhkan tanah. Administrasi tanah justru tidak boleh menjadi sumber sengketa atau bahkan menjadi penghalang akses terhadap tanah. Pemanfaatan tanah oleh warga perlu dijamin keamanannya (security of land tenure). Berdasarkan kedua hal ini, berbagai bentuk pembiaran pengusiran dan penggusuran baik melalui intimidasi maupun kekerasan haruslah dihapuskan.

Fenomena meledaknya bom waktu konflik tanah dan meletusnya balon ekonomi yang disulut krisis properti sungguh harus menjadi pelajaran berharga semua pihak karena telah membawa penderitaan kemanusiaan yang luas di tanah air. Kalangan pengambil kebijakan di negeri ini jangan terlena tidak menyadari api yang terus menjalar dalam sekam. Pengutamaan status hukum pemilikan tanah yang berimplikasi pada penanganan dengan kekerasan harus segera dipinggirkan karena harganya yang mahal sekali berupa penderitaan, ketakutan, kemarahan, tetesan darah dan nyawa warga masyarakat. Fokus tata kelola pertanahan harus berorientasi pada manfaat tanah, karena selain lebih menjamin asas keadilan, tata kelola pertanahan akan mendorong warganya untuk lebih aktif, kreatif, dinamis dan produktif. Bukankah iklim macam begini yang menjadi prasyarat pembangunan yang lebih beradab, mandiri dan berdaya saing? ***

1 komentar:

guritno s mengatakan...

kapasitas saya jelas dibawah mas Jehan tetapi sangat sepakt dengan niat untuk lebih mengutamakan 'MANFAAT' yang terjadi saat ini untuk menjadipertimbangan dalam setiap perijinan. Bukan karena belum berstatus hak dan ada yang mau investasi besar2an, lantas semua tanah yang sdh memberi manfaat tadi habis lewat gantirugi yang 'hanya' sekali dan MERUBAH masa depan warga......
guritno (pernah jumpa pa Jehan sbg pengundang dari gtz )

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]