Perkembangan arsitektur dan kota dewasa ini telah menimbulkan kesemrawutan baru dalam kehidupan berarsitektur. Kota-kota di Indonesia telah dijadikan sebagai tempat kompetisi para arsitek-perencana dalam menentukan bentukan dan suasana kebaruan arsitektur. Di era yang disebut sebagai globalisasi ini perkembangan kota dan arsitektur menjadi salah kaprah dalam penerjemahanya. Ruang publik dan terbuka hijau yang terdapat dalam kota mulai tergeser oleh pembangunan kota yang tidak terkendali. Tatanan papan-papan reklame, bergesernya ruang publik dan terbuka hijau menjadi fungsi baru, serta munculnya bangunan-bangunan ruko dan mall, telah menandai terjadinya perubahan peradaban dalam budaya berarsitektur. Kota menjadi tempat permainan baru untuk meletakkan bangunan dengan desain dan wacana komersial yang menyilaukan. Para arsitek yang mengatasnamakan bisnis-kreatif telah menjadikan lahan 'ruang publik' dan 'ruang terbuka hijau' sebagai ajang permainannya. Peraturan perundangan maupun Perda tergeser oleh perubahan tata ruang telah bergeser menjadi "tata uang". Nuansa kearifan lokal pun dimunculkan, diharapkan agar dapat mengantisipasi keganasan arsitektur-kota yang sedang berkembang di Indonesia saat ini. Dalam Great Disruption, Fukuyama (2002:11) menegaskan, bahwa kebiasaan, adat-istiadat yang telah menjadi ciri khas kehidupan desa dan kampung telah digantikan oleh ritme perusahaan dan kota. Tak hanya itu, kawasan bersejarah pun tak luput dari ekspansi arsitektur pasca post-modern ini, bahkan bangunan-bangunan lama yang mepunyai nilai sejarah tinggi pun ikut dihancurkan. Charles Jencks dalam The Post-Modern Agenda mejelaskan, ekspansi arsitektur pasca post-modern sering menghancurkan struktur bangunan tradisional. Ia hampir meratakan semua bangunan tradisional dengan bulldozer. Bulldozer adalah alat cetusan jiwa modern untuk "maju" (progress). (Grenz 2001:39) Sekarang kita sedang merasakan perubahan budaya yang berlawanan dengan ciri khas budaya setempat, yakni inovasi yang lahir sebagai reaksi terhadap kemandulan dan kelumpuhan budaya arsitektur di Indonesia. Arsitektur yang diilhami oleh logos mekanistis telah terbukti membuat kita gagal. Menanggapi hal di atas, Skolimowski (2004:122-123) pun melakukan pembelaan, bahwa kekurangan-kekurangan arsitektur yang sekarang dan ketakmampuannya memberi tempat perlindungan yang memadai pada kita dan memberi ruang yang meningkatkan mutu kehidupan terutama bukanlah kesalahan para arsitek dan para pembangun, tetapi lebih berupa kesalahan konsepsi-konsepsi yang lebih besar yang mendasari arsitektur dan kebudayaan kita. Hal yang paling penting adalah, bagaimana para arsitek mencari cara pandang universal untuk melihat ekspresi budaya melalui dimensi kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaannya. Ada sesuatu yang tersembunyi dan membahayakan di dalam pertunjukan para arsitek yang berbakti, tekun, dan berbakat yang bisa, dan ingin, membangun lebih baik daripada yang diizinkan untuk mereka hasilkan di dalam konteks masa kini.
Masyarakat kita berada dalam pergolakan dan pergeseran kebudayaan yang didominasi oleh kekuatan ekonomi dan teknologi. Arsitek dan karya arsitekturnya pun dalam perkembangannya selalui dipengaruhi oleh kedua hal tersebut. Kadang-kadang arsitektur membuat kegelisahan, kemegahan, bukan hanya kekokohan dan komoditi, tetapi juga kegembiraan. Ketika kebudayaan sedang runtuh, dan tak mampu mempertahankan corak khasnya, arsitektur mendapat bagian yang banyak dipersalahkan karena kekurangan-kekurangannya. Peran kebudayaan sebagai sumber informasi untuk memecahkan persoalan-persoalan arsitektur sebenarnya dapat menjelaskan alasan mengapa ekonomi muncul melampaui batas-batas kultural. Kalau kita lihat, seperti proyek Pruitt-Igoe di St. Louis, Missouri dianggap sebagai lambang arsitektur modern. Rumah itu berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia untuk kesejahteraan manusia. Akan tetapi, para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja (Grenz 2001:26). Pembrontakan sosial masyarakat masa kini terhadap arsitektur modern, post-modern, dan pasca post-modern adalah suatu ungkapan dari pertimbangan-pertimbangan atas kehidupan ini.
Hilangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau
Perjalanan yang dilakukan oleh para arsitek-perencana kota dalam menentukan kehidupan berarsitektur telah 'menjamah' bagian inti dari paru-paru kota, yaitu ruang publik dan ruang terbuka hijaunya. Kehancuran tatanan kota-kota besar di Indoensia saat ini, terjadi sebagian besar akibat hilangnya ruang terbuka hijau (RTH) maupun ruang publik. Semakin terdesak dan hilang tergusur oleh budaya konsumerisme baru, datangnya dari penentu kebijakan akibat desakan globalisasi ekonomi yang tak terkendali. Ruang publik dan terbuka hijau beralih dan mungkin berubah menjadi 'kerajaan' baru, yaitu bangunan mall atau ruko. Hal ini menandakan telah terjadi ekspansi fungsi dan guna lahan dan perubahan tata ruangnya. Suasana keruangpublikan sebagai tempat masyarakat beraktifitas sudah tidak ada lagi. Dalam bahasa arsitektur aspek-aspek ruang manusia yang mencakup sosial-psikologis-estetis (ruang eksistensial) menjadi hilang. Arsitektur dan kota yang memiliki kualitas kehidupan adalak arsitektur dan kota yang mempunyai kebranian untuk mengakui dimensi spiritual dan transendental manusia. Skolimowski (2004:135) menegaskan, bahwa kualitas bersemayam di dalam ruang-ruang yang dengan bebas dan bertujuan diaugerahi dengan karakteristik-karakteristik dan sifat-sifat yang transfisik. Kesejahteraan fisik bukanlah suatu suasana fisik, tetapi suatu suasana psikologis. Habermas (2007:5) menegaskan, bahwa di dalam penafsiran-diri Yunani kuno, ruang publik menjadi sebuah alam kebebasan dan kekekalan. Hanya di dalam terang cahaya ruang publik saja, apa yang eksis menjadi benar-benar tersingkap, karena segala sesuatu menjadi terlihat bagi semua orang. Malapetaka-malapetaka ruang publik dan sosial yang utama telah terjadi di masa kini karena masyarakat menerima dengan sikap yang tidak kritis terhadap kota sebagai basis merancang yang mereka lakukan.
Peran arsitek dalam berarsitektur
Kembali pada masalah 'berarsitektur', arsitek-arsitek modern mendirikan bangunan sesuai dengan prinsip kesatuan (unity). Frank Llyod Wright menjadi contoh bagi arsitek lainnya. Ia mengatakan bahwa bangunan modern harus merupakan sebuah kesatuan organis. Bangunan harus merupakan "kesatuan yang agung" (one great thing) dan bukan kumpulan "bahan yang tidak agung" (little things). Sebuah bangunan harus mengekspresikan makna tunggal (Grenz 2001:39). Kalau disimak dengan cermat bahasa modern adalah bahasa kekuasaan. Paolo Portoghesi dalam After Modern Architecture mengatakan bangunan-bangunan modern menggunakan bahan-bahan industri dan mereka melayani sistem industri (Grenz 2001:41). Jelaslah bahwa modernisasi itu telah terasa sampai ke segala penjuru tanah air, sampai ke pelosok-pelosok yang paling terpencil. Tak ada demensi kehidupan yang tidak terkena. Kehidupan dalam kota-kota kita sekarang lebih berbeda dari kota-kota kita seratus tahun yang lalu. (Magnis-Suseno 1987:16) Pada bagian lain Skolimowski (2004:124-125) mengatakan, jika kita melihat dengan mata yang arif pada aneka ragam apa yang disebut tren-tren dan kecenderungan-kecenderungan baru, kita tidak bisa tidak mengatakan bahwa hampir semuanya adalah ungkapan etos teknologis; episilus dari sistem teknologi. Brutalisme atau Venturisme, Archigram atau arsitektur rasional operasionalisme baru-semuanya mengandung kesan teknologi. Kesatuan dan keseragaman (uniformity) arsitektur ternyata sangat tidak manusiawi. Arsitektur demikian berbicara dengan bahasa produksi massal dan standar. Akan tetapi, ada sebagian yang menolak secara tegas konsep dan bahasa demikian. Mereka ingin menemukan sebuah bahasa baru yang menghargai kenekaragaman dan pluralisme. Charles Moore dalam Conversation with Architects mengatakan, bahwa sebuah bangunan mempunyai kekuatan untuk menjadi apa yang diinginkan, mengatakan apa yang ingin dikatakan sehingga telinga kita mulai mendengar apa yang ingin disampaikan oleh bangunan tersebut (Grenz 2001:42). Tujuan sejati arsitektur ialah, melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan kehidupan. Frasa "melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan kehidupan" harus dilihat di dalam konteks yang tepat. Para penipu industrial yang menghancurkan habitat-habitat kita demi keuntungan dan sering memaksa para arsitek untuk merancang lingkungan-lingkungan yang anti kehidupan dapat mengklaim melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan kehidupan mereka sendiri (Skolimowski 2004:136).
Bentuk mengikuti kebudayaan
Relativisme kultural adalah kepercayaan bahwa aturan-aturan kultural bersifat arbitrer, merupakan artefak-artefak yang dikonstruksi secara sosial dari berbagai masyarakat yang berbeda dan bahwa tidak ada standar moralitas universal dan tidak ada cara yang bisa kita gunakan untuk menilai norma dan aturan-aturan dari kebudayaan lain. (Fukuyama 2002:253). Bahkan Eco (2004:369) mengatakan, kita dapat memberikan sebuah interpretasi yang berkaitan dengan sejarah budaya, arsitektur atau bahkan dalam sudut pandang visual, oral, maupun komunikasi tulisan. Ditegaskan lagi oleh Skolimowski (2004:127) yang mengatakan, dengan kemampuan apa yang harus dilakukan setelah pasca peristiwa, kini kita dapat menyarankan suatu karakterisasi arsitektur yang jauh lebih memadai: bentuk mengikuti kebudayaan. Sebagai kemungkinan lain kita dapat mengatakan: kulit mengikhtisarkan jiwa (yakni sebagaimana diungkapkan ole kebudayaan tertentu), atau bahkan kulit menampung jiwa. Keyakinan Skolimowski ini, di dasari bahwa dogma arsitektur dari bagian pertama abad ke-20 ialah: bentuk mengikuti fungsi. Ketika fungsi dibatasi pada parameter-parameter fisik dan ekonominya, kita, sebagai manusia menemukan bentuk yang dihasilkan bersifat memaksa dan mencekik. Jadi slogan itu sama sekali telah dibuang. Dengan demikian, bukan bentuk mengikuti fungsi, bukan kulit yang mendahului pelaksanaan, tetapi bentuk yang cocok menampung jiwa kebudayaan. Singkatnya, bentuk mengikuti kebudayaan. Bahkan van Peursen (1976:85) menegaskan, bahwa "fungsionil" diperuntukkan bagi kebudayaan modern, karena sifat kebudayaan yang istimewa dalam menonjolkan diri. Masyarakatlah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu; ia menerimanya, menolaknya atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada. Perubahan-perubahan yang signifikan di dalam arsitektur tidak dicapai dengan cara memperkenalkan teknologi-teknologi yang lebih efisien atau hanya dengan memanipulasikan teori arsitektur. Jika kita hendak mengubah arsitektur kita tidak dapat membatasi diri pada arsitektur atau memulainya dari arsitektur saja. Ditegaskan oleh Skolimowski (2004:128), kita harus memulai bersama―atau secara serentak mengarahkan perhatian kita pada―level yang lain, level kebudayaan umum yang mendasari pemikiran dan perilaku zaman yang tengah kita jalani.
Etika berarsitektur
Dalam transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya yang tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi ini etika mau membantu agar arsitek jangan kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh saja berubah dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam masyarakat modern bukan "apa" yang pertama-tama dipentingkan melainkan "bagaimana", yaitu bagaimana ketiga bidang (arsitek/arsitektur, budaya, dan etika) dapat diintegrasikan dalam satu sikap yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada dulu; etika bukan sejumlah kaidah bagi orang perorangan, mengenai apa yang halal atau haram, tetapi berkembang menjadi etika-makro, yaitu merencanakan masyarakat kita sedemikian rupa sehingga kita belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang telah kita bangkitkan sendiri (van Peursen 1976:192). Bahwa etika itu harus diterapkan dalam situasi konkrit, janganlah tenggelam dalam daya kekuatan arsitektur dan kota yang tak berwajah itu. Setiap bentuk "arsitektur" dan "tata ruang kota" hendaknya menghasilkan etika, tetapi untuk menumbuhkan etika itu diperlukan suatu "counter play" juga. Yang bersifat normatif, itulah counter partner sejati bagi masyarakat.
Pemandangan kita terhadap arsitektur dan kota menjadi kabur, dan mereka kehilangan identitas mereka sendiri. Secara fungsional mereka baru menjadi seorang pribadi, bila mereka terbuka untuk sesuatu yang lain atau seorang arsitek-kota yang lain. Jalur-jalur baru dirintis dan dibuka sehingga terbentanglah sejumlah kemungkinan baru, tetapi itu semua lalu tersumbat; alternatif-alternatif makin jauh dari pandangan kita. Identitas kita sendiri tak dapat ditemukan lagi. Masyarakat dan arsitek-kota memudar dalam denah perbuatan-perbuatan di mana keontentikan kita hilang. Maka dari itu, sikap "berbudaya-beretika-berarsitektur" lebih menunjukkan suatu tanggung jawab dari pada suatu tahap yang telah tercapai.
Sumber Pustaka
Eco, U. 1987. Tamasya Dalam Hiperialitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Fukuyama, F. 2002. The Great Disruption. Hakikat Manusia dan Rekonstruksi Tatanan Sosial. Yogyakarta: Qalam.
Grenz, S.J. 2001. A Primer on Postmodernism. Pengantar Untuk Memahami Postmodrnisme. Yogyakarta: Yayasan ANDI.
Habermas, J. 2007. Ruang Publik. Sebuah Kajian tentang kategori Masyarakat Borjuis. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Magnis-Suseno, F. 1987. Etika Dasar. Masalah-Masalah Pokok Filsafat Dasar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Skolimowski, H. 2004. Filsafat Lingkungan. Jogjakarta: Bentang Budaya.
Van Peursen, C.A. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
http://antariksaarticle.blogspot.com/2008/07/arsitektur-dan-kota-tanpa-etika.html
Masyarakat kita berada dalam pergolakan dan pergeseran kebudayaan yang didominasi oleh kekuatan ekonomi dan teknologi. Arsitek dan karya arsitekturnya pun dalam perkembangannya selalui dipengaruhi oleh kedua hal tersebut. Kadang-kadang arsitektur membuat kegelisahan, kemegahan, bukan hanya kekokohan dan komoditi, tetapi juga kegembiraan. Ketika kebudayaan sedang runtuh, dan tak mampu mempertahankan corak khasnya, arsitektur mendapat bagian yang banyak dipersalahkan karena kekurangan-kekurangannya. Peran kebudayaan sebagai sumber informasi untuk memecahkan persoalan-persoalan arsitektur sebenarnya dapat menjelaskan alasan mengapa ekonomi muncul melampaui batas-batas kultural. Kalau kita lihat, seperti proyek Pruitt-Igoe di St. Louis, Missouri dianggap sebagai lambang arsitektur modern. Rumah itu berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia untuk kesejahteraan manusia. Akan tetapi, para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja (Grenz 2001:26). Pembrontakan sosial masyarakat masa kini terhadap arsitektur modern, post-modern, dan pasca post-modern adalah suatu ungkapan dari pertimbangan-pertimbangan atas kehidupan ini.
Hilangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau
Perjalanan yang dilakukan oleh para arsitek-perencana kota dalam menentukan kehidupan berarsitektur telah 'menjamah' bagian inti dari paru-paru kota, yaitu ruang publik dan ruang terbuka hijaunya. Kehancuran tatanan kota-kota besar di Indoensia saat ini, terjadi sebagian besar akibat hilangnya ruang terbuka hijau (RTH) maupun ruang publik. Semakin terdesak dan hilang tergusur oleh budaya konsumerisme baru, datangnya dari penentu kebijakan akibat desakan globalisasi ekonomi yang tak terkendali. Ruang publik dan terbuka hijau beralih dan mungkin berubah menjadi 'kerajaan' baru, yaitu bangunan mall atau ruko. Hal ini menandakan telah terjadi ekspansi fungsi dan guna lahan dan perubahan tata ruangnya. Suasana keruangpublikan sebagai tempat masyarakat beraktifitas sudah tidak ada lagi. Dalam bahasa arsitektur aspek-aspek ruang manusia yang mencakup sosial-psikologis-estetis (ruang eksistensial) menjadi hilang. Arsitektur dan kota yang memiliki kualitas kehidupan adalak arsitektur dan kota yang mempunyai kebranian untuk mengakui dimensi spiritual dan transendental manusia. Skolimowski (2004:135) menegaskan, bahwa kualitas bersemayam di dalam ruang-ruang yang dengan bebas dan bertujuan diaugerahi dengan karakteristik-karakteristik dan sifat-sifat yang transfisik. Kesejahteraan fisik bukanlah suatu suasana fisik, tetapi suatu suasana psikologis. Habermas (2007:5) menegaskan, bahwa di dalam penafsiran-diri Yunani kuno, ruang publik menjadi sebuah alam kebebasan dan kekekalan. Hanya di dalam terang cahaya ruang publik saja, apa yang eksis menjadi benar-benar tersingkap, karena segala sesuatu menjadi terlihat bagi semua orang. Malapetaka-malapetaka ruang publik dan sosial yang utama telah terjadi di masa kini karena masyarakat menerima dengan sikap yang tidak kritis terhadap kota sebagai basis merancang yang mereka lakukan.
Peran arsitek dalam berarsitektur
Kembali pada masalah 'berarsitektur', arsitek-arsitek modern mendirikan bangunan sesuai dengan prinsip kesatuan (unity). Frank Llyod Wright menjadi contoh bagi arsitek lainnya. Ia mengatakan bahwa bangunan modern harus merupakan sebuah kesatuan organis. Bangunan harus merupakan "kesatuan yang agung" (one great thing) dan bukan kumpulan "bahan yang tidak agung" (little things). Sebuah bangunan harus mengekspresikan makna tunggal (Grenz 2001:39). Kalau disimak dengan cermat bahasa modern adalah bahasa kekuasaan. Paolo Portoghesi dalam After Modern Architecture mengatakan bangunan-bangunan modern menggunakan bahan-bahan industri dan mereka melayani sistem industri (Grenz 2001:41). Jelaslah bahwa modernisasi itu telah terasa sampai ke segala penjuru tanah air, sampai ke pelosok-pelosok yang paling terpencil. Tak ada demensi kehidupan yang tidak terkena. Kehidupan dalam kota-kota kita sekarang lebih berbeda dari kota-kota kita seratus tahun yang lalu. (Magnis-Suseno 1987:16) Pada bagian lain Skolimowski (2004:124-125) mengatakan, jika kita melihat dengan mata yang arif pada aneka ragam apa yang disebut tren-tren dan kecenderungan-kecenderungan baru, kita tidak bisa tidak mengatakan bahwa hampir semuanya adalah ungkapan etos teknologis; episilus dari sistem teknologi. Brutalisme atau Venturisme, Archigram atau arsitektur rasional operasionalisme baru-semuanya mengandung kesan teknologi. Kesatuan dan keseragaman (uniformity) arsitektur ternyata sangat tidak manusiawi. Arsitektur demikian berbicara dengan bahasa produksi massal dan standar. Akan tetapi, ada sebagian yang menolak secara tegas konsep dan bahasa demikian. Mereka ingin menemukan sebuah bahasa baru yang menghargai kenekaragaman dan pluralisme. Charles Moore dalam Conversation with Architects mengatakan, bahwa sebuah bangunan mempunyai kekuatan untuk menjadi apa yang diinginkan, mengatakan apa yang ingin dikatakan sehingga telinga kita mulai mendengar apa yang ingin disampaikan oleh bangunan tersebut (Grenz 2001:42). Tujuan sejati arsitektur ialah, melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan kehidupan. Frasa "melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan kehidupan" harus dilihat di dalam konteks yang tepat. Para penipu industrial yang menghancurkan habitat-habitat kita demi keuntungan dan sering memaksa para arsitek untuk merancang lingkungan-lingkungan yang anti kehidupan dapat mengklaim melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan kehidupan mereka sendiri (Skolimowski 2004:136).
Bentuk mengikuti kebudayaan
Relativisme kultural adalah kepercayaan bahwa aturan-aturan kultural bersifat arbitrer, merupakan artefak-artefak yang dikonstruksi secara sosial dari berbagai masyarakat yang berbeda dan bahwa tidak ada standar moralitas universal dan tidak ada cara yang bisa kita gunakan untuk menilai norma dan aturan-aturan dari kebudayaan lain. (Fukuyama 2002:253). Bahkan Eco (2004:369) mengatakan, kita dapat memberikan sebuah interpretasi yang berkaitan dengan sejarah budaya, arsitektur atau bahkan dalam sudut pandang visual, oral, maupun komunikasi tulisan. Ditegaskan lagi oleh Skolimowski (2004:127) yang mengatakan, dengan kemampuan apa yang harus dilakukan setelah pasca peristiwa, kini kita dapat menyarankan suatu karakterisasi arsitektur yang jauh lebih memadai: bentuk mengikuti kebudayaan. Sebagai kemungkinan lain kita dapat mengatakan: kulit mengikhtisarkan jiwa (yakni sebagaimana diungkapkan ole kebudayaan tertentu), atau bahkan kulit menampung jiwa. Keyakinan Skolimowski ini, di dasari bahwa dogma arsitektur dari bagian pertama abad ke-20 ialah: bentuk mengikuti fungsi. Ketika fungsi dibatasi pada parameter-parameter fisik dan ekonominya, kita, sebagai manusia menemukan bentuk yang dihasilkan bersifat memaksa dan mencekik. Jadi slogan itu sama sekali telah dibuang. Dengan demikian, bukan bentuk mengikuti fungsi, bukan kulit yang mendahului pelaksanaan, tetapi bentuk yang cocok menampung jiwa kebudayaan. Singkatnya, bentuk mengikuti kebudayaan. Bahkan van Peursen (1976:85) menegaskan, bahwa "fungsionil" diperuntukkan bagi kebudayaan modern, karena sifat kebudayaan yang istimewa dalam menonjolkan diri. Masyarakatlah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu; ia menerimanya, menolaknya atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada. Perubahan-perubahan yang signifikan di dalam arsitektur tidak dicapai dengan cara memperkenalkan teknologi-teknologi yang lebih efisien atau hanya dengan memanipulasikan teori arsitektur. Jika kita hendak mengubah arsitektur kita tidak dapat membatasi diri pada arsitektur atau memulainya dari arsitektur saja. Ditegaskan oleh Skolimowski (2004:128), kita harus memulai bersama―atau secara serentak mengarahkan perhatian kita pada―level yang lain, level kebudayaan umum yang mendasari pemikiran dan perilaku zaman yang tengah kita jalani.
Etika berarsitektur
Dalam transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya yang tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi ini etika mau membantu agar arsitek jangan kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh saja berubah dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam masyarakat modern bukan "apa" yang pertama-tama dipentingkan melainkan "bagaimana", yaitu bagaimana ketiga bidang (arsitek/arsitektur, budaya, dan etika) dapat diintegrasikan dalam satu sikap yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada dulu; etika bukan sejumlah kaidah bagi orang perorangan, mengenai apa yang halal atau haram, tetapi berkembang menjadi etika-makro, yaitu merencanakan masyarakat kita sedemikian rupa sehingga kita belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang telah kita bangkitkan sendiri (van Peursen 1976:192). Bahwa etika itu harus diterapkan dalam situasi konkrit, janganlah tenggelam dalam daya kekuatan arsitektur dan kota yang tak berwajah itu. Setiap bentuk "arsitektur" dan "tata ruang kota" hendaknya menghasilkan etika, tetapi untuk menumbuhkan etika itu diperlukan suatu "counter play" juga. Yang bersifat normatif, itulah counter partner sejati bagi masyarakat.
Pemandangan kita terhadap arsitektur dan kota menjadi kabur, dan mereka kehilangan identitas mereka sendiri. Secara fungsional mereka baru menjadi seorang pribadi, bila mereka terbuka untuk sesuatu yang lain atau seorang arsitek-kota yang lain. Jalur-jalur baru dirintis dan dibuka sehingga terbentanglah sejumlah kemungkinan baru, tetapi itu semua lalu tersumbat; alternatif-alternatif makin jauh dari pandangan kita. Identitas kita sendiri tak dapat ditemukan lagi. Masyarakat dan arsitek-kota memudar dalam denah perbuatan-perbuatan di mana keontentikan kita hilang. Maka dari itu, sikap "berbudaya-beretika-berarsitektur" lebih menunjukkan suatu tanggung jawab dari pada suatu tahap yang telah tercapai.
Sumber Pustaka
Eco, U. 1987. Tamasya Dalam Hiperialitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Fukuyama, F. 2002. The Great Disruption. Hakikat Manusia dan Rekonstruksi Tatanan Sosial. Yogyakarta: Qalam.
Grenz, S.J. 2001. A Primer on Postmodernism. Pengantar Untuk Memahami Postmodrnisme. Yogyakarta: Yayasan ANDI.
Habermas, J. 2007. Ruang Publik. Sebuah Kajian tentang kategori Masyarakat Borjuis. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Magnis-Suseno, F. 1987. Etika Dasar. Masalah-Masalah Pokok Filsafat Dasar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Skolimowski, H. 2004. Filsafat Lingkungan. Jogjakarta: Bentang Budaya.
Van Peursen, C.A. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
http://antariksaarticle.blogspot.com/2008/07/arsitektur-dan-kota-tanpa-etika.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar