24 September, 2007

"Isu Pemanasan Global Bisa Kita Hadapi Tanpa Amerika"

Sekretaris Eksekutif UNFCC Yvo de Boer:

[Sumber : tempointeraktif.com | 31/08/07]
http://penataanruang.pu.go.id/BERITA/file/20070831_tempo.htm

TEMPO Interaktif, WINA:Dia salah satu "bintang" Pertemuan Wina 2007, setidaknya di kalangan puluhan wartawan asing yang meliput hajatan besar Perserikatan Bangsa-Bangsa itu.

Digelar di Austria Centre Vienna selama lima hari di bawah payung Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Cuaca PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC), sidang itu berakhir pada Jumat pekan lalu.

Ada seribu lebih anggota delegasi dari 158 negara serta 40 lebih organisasi lingkungan maupun pengamat yang hadir. Dan Yvo de Boer, pimpinan tertinggi UNFCCC, harus memastikan seluruh acara berlangsung sesuai target: memuluskan Sidang Puncak PBB di Bali pada Desember mendatang yang akan membahas isu cuaca global. Hasil dari Wina diharapkan dapat meluaskan agenda Protokol Kyoto.


Ditetapkan pada 11 Desember 1997, Protokol Kyoto disokong oleh mayoritas anggota PBB-kecuali Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara lain. Banyak yang meyakini, selama AS tak menandatangani Protokol Kyoto, upaya meredam pemanasan global di planet bumi tidak akan efektif.

Tapi Yvo punya pendapat sendiri. "Saya bahkan tidak mengharapkan Amerika kembali ke Protokol Kyoto karena sudah amat terlambat," ujarnya kepada Tempo.

Yvo adalah sosok yang populer selama Pertemuan Wina, kendati dia lebih banyak berada di belakang layar. Dari seluruh jumpa pers, "sesi Yvo" yang paling diminati. Ruangan sesak oleh para wartawan, pengamat, perwakilan berbagai organisasi lingkungan yang ingin mendengar penjelasan langsung Sekretaris Eksekutif UNFCCC tersebut.

Kofi Annan, Sekjen PBB terdahulu, menunjuk Yvo, begitu dia biasa disapa, untuk memimpin lembaga ini sejak Agustus 2006. Sebelum menjadi kepala UNFCCC, dia mengisi kursi Direktur Urusan Internasional Kementrian Perumahan, Perencanaan Tata Ruang, dan Lingkungan Belanda.

Selama Pertemuan Wina, dia selalu datang paling pagi dan meninggalkan "kantor sementara"nya di Austria Centre, kantor resmi Yvo ada di Bonn, Jerman, tatkala gedung besar itu sudah sepi pada petang hari dalam wajah yang tetap segar.

Dia "dingin" dalam memberi wawancara, namun menjawab pertanyaan dengan efektif, lugas, dan terus terang. Di sela-sela kegiatan sidang yang menghimpit, Yvo mengaku sedikit meredakan kelelahan dengan merokok dan minum bercangkir-cangkir kopi.

Di tengah jadwalnya yang amat padat sepanjang pekan lalu, dia menyempatkan diri menerima wartawan Tempo Hermien Y. Kleden untuk sebuah wawancara khusus dalam dua kali perbincangan.

Berikut ini, petikannya:

Tolong rumuskan dalam dua poin hasil Pertemuan Wina yang paling Anda harapkan.
Saya berharap ada pemahaman bersama yang mendasar tentang perubahan cuaca global di kalangan pemerintahan (negara-negara peserta). Dan saya menantikan sinyal optimistis bahwa para negosiator (yang ada di Wina sekarang) kelak akan ke Bali dengan tekad membuat suatu sidang puncak yang berhasil.

Kami mendengar UNFCCC serta sejumlah negara industri akan memberi kompensasi-melalui Clean Development Management, CDM- kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang melakukan pemulihan hutan dan lingkungan. Kira-kira seperti apa skema bantuan itu?
Saya kira masih sulit. Sampai sekarang program kompensasi (dana) itu belum dilaksanakan di negara-negara berkembang-termasuk di India dan Indonesia. Kami harapkan hal ini dapat dibahas bersama-sama di Bali kelak. Tentu diperlukan pula sokongan kebijakan dari pemerintah di negara yang bersangkutan agar program CDM dapat dilaksanakan segera.

Kebijakan apa saja yang diperlukan agar Indonesia, serta negara berkembang lain, dapat masuk dalam akses program bantuan CDM?
Diperlukan kebijakan pemerintah yang menyokong pengembangan berbagai proyek yang bermuara pada reduksi emisi karbon. Dan harus ada kebijakan ada kepastian tentang kontribusi terhadap kelanjutan pengembangan (proyek-proyek tersebut) di negaranya masing-masing.

Indonesia sering dikecam karena pemerintahnya dianggap lemah dalam mengontrol pembalakan liar. Tapi mengapa negara-negara industri maju yang mengimpor kayu-kayu haram dari Indonesia tak pernah ditegur dan diberi sanksi apa pun?
Menurut saya, negara industri bukan tanpa usaha sama sekali. Ada upaya mereka untuk melaksanakan program pengontrolan walau harus kita akui prosesnya tidak mudah. Pertama soal membedakan kayu legal dan ilegal. Kedua, kerap kali impor dilakukan dalam bentuk produk kayu yang telah diproses. Umpamanya, furnitur. Jadi pengontrolan, dalam hemat saya, memerlukan sokongan dari kedua belah pihak (negara berkembang dan negara maju).


Teks lengkap wawancara lihat di Tempo edisi Senin, 3 September 2007….




Tidak ada komentar:

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]