31 Agustus, 2007

Upaya Pemerintah Atasi Masalah Pertanahan Nasional 1


Dari: santojikalahari <santo@jikalahari.org>
Kepada: tata_ruang_riau@yahoogroups.com
Terkirim: Selasa, 19 Juni, 2007 11:29:16
Topik: [tata_ruang_riau] Upaya Pemerintah Atasi Masalah Pertanahan Nasional


Disaat Pemerintah RI berencana memberikan lahan 9 juta hectare lebih kepada masyarakat miskin, Provinsi Riau dihadapkan pada masalah kritis lahan bagi masyarakat. Disisi lain masih banyak perizinan akan peruntukan lahan yang masih tumpang tindih, berdasarkan draft RTRWP Riau tidak kurang dari 285 kasus tumpang tindih perizinan baik dengan HPH, HTI, kebun, kawasan lindung dan kampung.

Santo


Kamis, 14 Juni 2007,
Upaya Pemerintah Atasi Masalah Pertanahan Nasional


Bagikan Jutaan Hektare Tanah Gratis
Pemerintah berencana akan memberikan lahan 9,25 juta hektare secara cuma-cuma kepada rakyat miskin. Bagi pemerintah, kebijakan itu juga dianggap sebagai bagian dari upaya untuk memecah kebuntuan proses reforma agraria di Indonesia. Bagaimana konsepnya ?

Awal tahun 2007 ini, tepatnya pada tanggal 31 Januari 2007, Presiden SBY dalam pidato politiknya dengan sangat tendensius menyatakan akan kembali menghidupkan program reforma agraria secara bertahap. Langkah itu, jelas presiden, akan dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin. Tanah yang akan dibagi-bagi itu, rencananya, berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat.

Reformasi agraria (land reform) itu secara umum berarti penertiban kepemilikan hak atas tanah setiap warga negara. Kebijakan tersebut diyakini dapat menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan struktur pertanahan nasional. Sebab, tanah merupakan salah satu alat produksi yang sangat vital bagi rakyat untuk meraih kesejahteraannya.

"Tapi, reforma agraria ini tentunya tidak semata-mata bersandar pada pidato presiden, melainkan undang-undang, " kata Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto di Gedung DPR awal pekan lalu. Agenda reforma agraria yang dalam pelaksanaannya disebut dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) itu, jelas dia, utamanya mengacu kepada UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau UUPA.

Bila ditelaah, reformasi agraria di Indonesia mencapai puncaknya pada rentang tahun 1962-1964. Namun, kondisi itu berubah seratus delapan puluh derajat pasca 1965. Program reformasi agraria yang kerap menjadi komoditas politik semasa Orde Lama itu terkena stigma kiri. Bahkan, itu dikait-kaitkan dengan agenda tersembunyi dari kekuatan komunis di Indonesia untuk mendorong revolusi.

Pada masa Orde Baru, tanah-tanah yang diredistribusikan kepada rakyat mengalami pergeseran. Awalnya, tanah-tanah yang dibagi ulang itu berasal dari tanah-tanah yang terkena ketentuan land reform -kelebihan tanah dari batas maksimum dan tanah absentee (terlantar selama 30 tahun). Namu, itu berubah hanya menjadi sebatas tanah-tanah yang memang langsung dikuasai negara.

Artinya, tidak terjadi perubahan kepemilikan tanah secara signifikan. Agenda land reform pun akhirnya bertransformasi menjadi kegiatan redistribusi tanah melalui program-program, seperti Transmigrasi, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), dan PIR-Trans.

"Namun, model reformasi agraria yang lalu itu menyisakan banyak sekali pekerjaan rumah yang tak tuntas dan segudang permasalahan, " ujarnya. Masalah itu, misalnya, munculnya ketegangan sosial di sejumlah area lahan antara penduduk asli dan para transmigran dan tidak tercapainya target peningkatan taraf hidup masyarakat.

Padahal, dari data yang dihimpun BPN, pada 1961-2005, telah dibagikan tanah 1,16 juta hektare kepada sekitar 1,51 juta KK di seluruh Indonesia. Dengan demikian, masing-masing KK rata-rata mendapatkan 0,77 hektare tanah. "Tapi, hasil akhirnya belum seperti yang diharapkan," tukasnya.

Karena itu, jelas Joyo, reformasi agraria kali ini tidak boleh sekadar dimaknai sebagai proses pemberian tanah semata kepada rakyat miskin. Selain menerima tanah sebagai sumber kesejahteraan, rakyat miskin harus dibukakan akses terhadap sumber-sumber ekonomi lain, seperti modal, teknologi, manajemen, dan pasar. "Ini yang dulu sempat dilupakan," tegasnya.

Bahkan, lahan-lahan yang direncanakan menjadi objek PPAN tersebut tidak hanya sebatas tanah yang dikuasai negara. Tapi, itu juga mencakup tanah yang menjadi objek land reform. "Tanah-tanah ini tersebar di seluruh Indonesia," bebernya. Selain itu, ada juga tanah kawasan hutan produksi yang dapat konversi. "Tanah ini tersebar di 17 provinsi," katanya.


Menurut dia, berdasar hasil kajian potensi obyek reforma agraria yang dilakukan BPN, diperoleh potensi lokasi seluas 9,25 juta hektare. Rinciannya, terdapat areal seluas 8,15 juta hektare di wilayah yang berpenduduk kurang padat dan 1,1 juta hektare pada wilayah berpenduduk padat. "Prosesnya berlangsung mulai 2007 ini dan tuntas pada 2014," tandasnya.

Pembahasan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) itu juga mulai digodok pada 9 April 2007. PP tersebut akan memuat sejumlah hal penting. Di antaranya, penerima manfaat yang mencakup persyaratan, kriteria, urutan prioritas, proses seleksi, dan penetapan.

Joyo mengakui, penentuan kriteria manfaat itu bersifat sangat kritis. Sebab, persoalan itu sangat menentukan tingkat keakuratan atau ketepatan sasaran yang secara langsung akan memengaruhi sukses tidaknya program land reform itu. "Makanya, kriteria ini kami susun secara hati-hati dan mendalam dengan mempertimbangkan berbagai standar kemiskinan yang ada," ujarnya.

Joyo lantas memaparkan, dalam menyusun kriteria penerima manfaat, pemerintah menggunakan pendekatan hak-hak dasar rakyat yang sifatnya universal dan dijamin konstitusi. "Intinya, ada tiga variabel yang kami gunakan," katanya.

Ketiga variabel itu meliputi variabel kependudukan yang akan menjadi kriteria umum, variabel sosial-ekonomi sebagai kriteria khusus, dan variabel penguasaan lahan yang menentukan urutan prioritas.

Selain kriteria penerima, imbuh Joyo, PP mengatur secara detail proses menetapan tanah yang menjadi objek reformasi agraria. Mulai status tanah hingga perolehan tanah. "Tentunya, termasuk juga, mekanisme pelaksanaan dan kelembagaan program land reform," tegasnya.

Lembaga yang berfungsi menetapkan kebijakan, koordinasi dan pengendali program reformasi agrarian akan dibentuk mulai tingkat nasional hingga daerah. Untuk tingkat nasional, disebut Dewan Reforma Agraria Nasional (DRAN) bahwa tingkat provinsi disebut Dewan Reforma Agraria Provinsi (DRAP), dan tingkat kabupaten/kota disebut Dewan Reforma Agraria Kabupaten/Kota (DRAK).

Kabarnya, biaya yang dibutuhkan untuk mendukung program reforma itu Rp 120 triliun. Namun, informasi tersebut dibantah Joyo. "Nggak lah kalau sampai sebesar itu. Kami cukup efisien, kok," katanya. (P. Handoko)


Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers

Tidak ada komentar:

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]