12 Agustus, 2008

Tata Ruang Milik Siapa???

"Sebuah rencana dan design rumah, sungguh sangat jelas proses, produk dan pelaksanaannya. Kenapa? Karena dipesan oleh yang punya rumah disesuaikan dengan selera, keuangan, jumlah anggota keluarga, waktu, lingkungan sekitar dan cara pandang pemilik terhadap 'konsep rumah'. Ini yang oleh arsitek diramu dengan berbagai pendekatan dan model arsitektural, maka jadilah sebuah rumah". (dikutip dari milist perkotaan@yahoogroups.com : ditulis oleh Panca-Bandung).

Kutipan paragraf di atas ditulis Panca me-reply tanggapan dari seorang Kasubdit di Departemen PU. Intinya dia mempertanyakan, rencana tata ruang milik siapa? Sehingga sang pemilik dapat mendefinisikan seleranya, menyesuaikan dana yang dimilikinya, dan dapat mengimplementasikan rencana yang sudah disusun sebagaimana pemilik rumah membangun rumahnya.

Dalam diskusi lain (maaf, kutipan berikut bukan bermaksud menjelekkan siapapun), seorang teman kantor dengan sinis bertanya pada salah satu Direktur WWF, "Sebenarnya kita merencanakan tata ruang untuk kepentingan siapa? Untuk kepentingan manusia atau untuk kepentingan satwa?" (dilatarbelakangi bahwa WWF ingin membatasi perkembangan kegiatan budi daya di daerah lindung agar satwa langka tidak punah).

Dari kutipan di atas dapat ditarik benang merah, bahwa ada beberapa pertanyaan utama,

Tata Ruang untuk kepentingan siapa? Manusia atau hewan?
Semua tentu sepakat bahwa merencanakan untuk kepentingan manusia. Jadi seharusnya tidak masalah kalau misalnya ada hutan lindung yang dikonversi menjadi hutan tanaman industri. Tidak masalah bila hutan tanaman industri dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Gak usah peduli bahwa satwa-satwa akan punah, asalkan kepunahan satwa tersebut nantinya bisa menyejahterakan manusia. Toh Jakarta, Surabaya, Bandung dan berbagai kota besar lain dulunya juga hutan kan?

Akan tetapi lebih baik lagi kalau manusia dan hewan bisa berjalan beriringan. Misalnya keberadaan satwa bisa mendatangkan kesejahteraan bagi manusia. Misalnya mengembangkan konsep ecotourisme dengan tujuan agar satwa tidak punah, tetapi masyarakat lokal tetap mendapatkan keuntungan.

Dan yang perlu diperhatikan adalah kesejahteraan tidak hanya dilihat dari variabel ekonomi saja. Tapi ada variabel lain misalnya kebahagiaan, kesehatan, dll. Jadi apabila misalnya mengkonversi hutan lindung menjadi perkebunan membuat PAD suatu daerah meningkat, tapi kualitas lingkungan menjadi turun, maka sebaiknya ya tidak dikonversi. Kalau misalnya hutan kita hilang dan kemudian banyak pencemaran, ya sebaiknya jangan dikonversi. Misalnya mengkonversi RTH di Jakarta menjadi daerah komersial membuat pencemaran di Jakarta makin meningkat, ya sekali lagi jangan dikonversi.

Tapi ingat bahwa kita mempertahankan hutan bukan karena desakan pihak lain seperti desakan dari negara maju ataupun LSM asing lainnya. Masak negara lain didorong untuk maju, tapi negara kita dibatasi kemajuannya hanya demi menghindari global warming yang dampaknya dirasakan semua negara. Kalau negara lain menginginkan agar Indonesia tetap mempertahankan keberadaan hutan lindung ya harus ada kompensasinya dong. Mereka harus membayar Indonesia karena membatasi kemajuan Indonesia. Kalau konsep Protokol Kyoto lebih menguntungkan negara maju, sebaiknya Indonesia gak usah ikut aja. Kompensasi dari negara maju kepada negara yang mempunyai hutan lindung harus lebih besar, karena memang pengelolaan hutan lindung memerlukan dana yang tidak sedikit. Hal ini serupa dengan konsep pengelolaan sungai dimana daerah hilir sebaiknya memberikan kompensasi pada daerah hulu.

Dan yang paling penting adalah sumber daya alam ini memang untuk kepentingan manusia, tapi bukan hanya manusia yang hidup pada masa ini, tapi juga manusia pada masa mendatang. Jadi jangan hanya demi kepentingan sesaat masa kini, tapi di masa depan generasi penerus kita gak punya sumber daya alam lagi.

Siapa yang punya kompetensi melakukan tata ruang?
Sejauh ini hampir kebanyakan proyek perencanaan tata ruang yang ada dimiliki oleh pemerintah yang kemudian ditenderkan pada konsultan-konsultan. Kemudian konsultan tersebut harus melakukan perencanaan dengan supervisi dari si pemberi tender. Karena disupervisi oleh pemilik tender (pemerintah), tentunya rencana tata ruang juga harus mengacu pada keinginan pemerintah. Sementara itu beberapa konsultan juga mempertanyakan kemampuan pemerintah dalam men-supervisi.

Maka harus ada kepercayaan antar komponen/stakeholder dalam perencanaan tata ruang. Dan setiap pemangku kepentingan harus dilibatkan dengan intensitas yang disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik mereka. Jadi siapapun yang melakukan perencanaan tata ruang, kita harus percaya bahwa dia melakukan demi kesejahteraan masyarakat dan memang dia memiliki kompetensi (mampu). Selain itu semua juga diberikan apresiasi atas peran masing-masing, misalnya NGO semacam WWF berfungsi sebagai pengawas dan penyeimbang, dinas-dinas pemerintah sebagai pelaksana, dll. Intinya semua punya peran masing-masing, dan biarkan mereka melaksanakan perannya.

Bagaimana merencanakan tata ruang?
Butuh kuliah bertahun-tahun dan praktik langsung untuk bisa menjawab pertanyaan ini. Dan saya merasa belum punya kompetensi untuk menjawab ini. Tapi saya sepakat dengan analogi sederhana dari seorang praktisi yaitu kepala Bappeda di suatu daerah (dijawab ketika dia diwawancarai untuk mata kuliah Perencanaan dan Politik). Dia menjawab bahwa merencanakan tata ruang itu seperti penjahit. Penjahit membuat baju atas pesanan dari sang pemesan. Menjahit baju untuk pemesan yang gemuk tentu berbeda dengan pemesan kurus, dll. Idiom dengan merencanakan tata ruang,,, terlebih dahulu harus diidentifikasi siapa pemesan rencana tata ruang, bagimana bentuk tubuhnya, dan apa seleranya. Jadi merencanakan tata ruang itu tidak boleh seragam, harus disesuaikan dengan keinginan dan kondisi masing-masing daerah. Tapi meskipun menjahit sesuai pesanan misalnya entah celana komprang, celana ketat, dll, tapi tetap ada kaidah teknis yang tidak boleh dilanggar. Masak jahit celana gak ada bolongannya,,

NB : Ditulis oleh seorang yang sama sekali tidak profesional, tidak pintar, tapi sok-sokan mikir.

http://fani-indraka.blogspot.com/2008/07/tata-ruang-milik-siapa.html

Tidak ada komentar:

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]