Dalam lima tahun terakhir, bencana banjir dan longsor terjadi hampir di seluruh Indonesia. Bencana tersebut dari tahun ke tahun bukannya menurun malahan semakin meningkat. Kerugian materiil jika dihitung mencapai trilyunan rupiah, belum lagi korban jiwa yang meninggal. Dan, pada akhirnya, bencana banjir dan tanah longsor selalu menyisakan duka bagi rakyat.
Dalam hal masalah banjir dan tanah longsor, siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab? Apakah tidak ada institusi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap Daerah Aliran Sungai? Bagaimana mengatasi bahaya banjir dan tanah lonsor yang dari tahun ke tahun semakin meningkat?
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Banjir bandang dan kekeringan di musim kemarau menunjukkan fenomena perubahan tata air sebagai bentuk respon alam atas interaksi alam dan manusia dalam sistem pengelolaan. Hal ini dapat ditangkap sebagai suatu fenomena pengelolaan sumber daya alam telah menimbulkan kerusakan siklus air. Air hujan yang jatuh di atas bumi cepat menjadi aliran permukaan dan langsung ke sungai, sangat sedikit yang meresap ke dalam tanah. Analisis kerusakan siklus air tersebut harus menggunakan satuan DAS, karena perubahan tata air yang terjadi dalam suatu DAS merupakan resultante dari interaksi pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerah tangkapannya (catchment area). DAS sudah tidak mampu lagi menampung dan menyimpan curah hujan, karena daya dukung lingkungannya telah rusak.
DAS didefinisikan sebagai "a geographic area that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to conserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for crop production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each other's interests". (IFPRI, 2002). DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Pengelolaan DAS adalah bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai dapat merata sepanjang tahun.
Dalam suatu sistem DAS, hujan adalah faktor input, DAS itu sendiri sebagai prosesor, dan tata air di hilir sebagai output. Apabila hujan sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan, maka kondisi tata air kemudian akan sangat tergantung pada kondisi DAS. Di dalam DAS terdapat bermacam-macam penggunaan lahan, antara lain hutan, pertanian lahan kering, persawahan, pemukiman, kawasan industri, perkebunan, dan lain sebagainya. Mekanisme air hujan sampai menjadi air sungai di outlet mengikuti proses siklus air. Dengan demikian, maka jalannya air hujan sampai menjadi aliran air di sungai akan tergantung pada seluruh penggunaan lahan di DAS.
Selama ini penggunaan lahan hutan dianggap paling berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan. Secara tradisional hutan memang mempunyai kemampuan tinggi dalam mengatur tata air, tetapi menurut penelitian, pada curah hujan tertentu (ekstrim), hutan menjadi tidak efektif dalam mengendalikan tata air. Dengan gambaran tersebut, maka dapat dipahami bahwa penanganan masalah lingkungan, terutama banjir dan kekeringan akan sangat tergantung pada pengelolaan setiap jenis penggunaan lahan di DAS. Sementara itu, setiap jenis penggunaan lahan akan terkait pada banyak institusi. Hal ini berarti penanganan masalah lingkungan akan menyangkut banyak pihak terkait dalam suatu tatanan kelembagaan.
Susahnya Koordinasi
Semakin meningkatnya bencana banjir dan tanah lonsor menunjukkan bahwa pengelolaan DAS telah gagal. Banyak intitusi yang berada di DAS, namun mereka berjalan sendiri-sendiri, tidak ada yang mengkoordinir. Departemen Pekerjaan Umum (PU) melakukan pendekatan pembangunan dan pengelolaan DAS (River Basin Management) dengan konsep "satu wilayah sungai satu pengelolaan" (one river one management). Untuk implementasinya dibentuk lembaga yang bertanggung jawab terhadap keseimbangan hidrologi DAS yang disebut Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BP-SDA). Sementara Departemen Kehutanan mempunyai Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) yang mempunyai tugas dalam perencanaan pengelolaan daerah aliran sungai dan pengembangan model pengelolaan daerah aliran sungai. Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota mempunyai Bappeda dan Dinas Lingkungan Hidup, yang mempunyai tugas dalam perencanaan suatu daerah yang dapat memberikan suatu kondisi lingkungan yang semakin baik serta dinas dinas teknis lainnya.
Dalam era otonomi, pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Daerah Provinsi harus mampu mengkoordinir seluruh institusi berada di daerahnya untuk bersama sama menyusun suatu tata ruang dalam suatu DAS. Mengingat DAS tidak mengenal batas administrasi, dan pada umumnya melalui berbagai daerah kabupaten/kota, maka harus ada kerja sama antara kabupaten/kota untuk bersama sama menyusun tata ruang dengan pendekatan DAS. Tata ruang yang selama ini membedakan ruang atas dua kawasan, yakni kawasan lindung dan kawasan budidaya, harus ditempatkan dalam suatu DAS. Pemda membuat tata ruang mikro sebagai penjabaran lebih lanjut dari kawasan lindung dan kawasan budidaya dalam kesatuan DAS. Data dari BP-DAS dan BP-SDA harus dimanfaatkan secara maksimal untuk satu tujuan, yakni bagaimana mencegah atau mengurangi bahaya banjir dan tanah longsor.
Pada dasarnya ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi focus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan melalui daur hidrologi.
Menyadari ekosistem DAS, maka harus ada pemahaman bersama bagi pemda kabupaten/kota, akan pentingnya daerah hulu dan tengah suatu DAS. Pemerintah harus memberikan suatu reward kepada pemda kabupaten/kota bagian hulu yang melakukan kegiatan-kegiatan pelestarian alam. Bahkan mekanisme reward ini harus dibangun bersama antar pemda kabupaten/kota dalam suatu DAS. Pemda kabupaten/kota bagian hilir memberikan dana kepada pemda kabupaten/kota bagian hulu untuk kegiatan yang dapat mencegah bahaya banjir dan tanah longsor, seperti : penghijauan, reboisasi, pembuatan embung atau bahkan pembuatan bendungan, dan lain sebagainya. Sebaliknya pemda kabupaten/kota bagian hulu dengan dalih apapun tidak diperkenankan mengeksploitasi sumber daya alam yang dapat menyebabkan banjir dan tanah longsor, seperti penebangan hutan, penggalian pasir, dsb.
Namun, tata ruang bagaimanapun baiknya, yang lebih penting adalah implementasi dari tata ruang itu sendiri. Pengalaman menunjukkan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah tidak mampu melaksanakan apa yang telah direncanakan. Sebagai contoh adalah implementasi UU Nomor 41 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa luas hutan minimum dalam suatu daerah adalah 30% yang tersebar secara proposional, tidak mungkin dipenuhi khususnya di Pulau Jawa. Jika terjadi bencana banjir dan tanah longsor siapa yang salah?
http://bambangwinarto.blogspot.com/2008/04/implementasi-tata-ruang-daerah-aliran.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar