25 Maret, 2009

Mencari Solusi Krisis Air sebelum Mencapai Puncak pada 2025

Selasa, 24 Maret 2009
DALAM peringatan World Water Day tahun ini, PBB mengusung tema transboundary waters: shared water, shared opportunities (air lintas wilayah, berbagi air, berbagi peluang). PBB ingin menekankan relokasi air dari satu wilayah ke wilayah lain, dari satu kelompok untuk kelompok lain.

PBB menekankan pengalihan air dari wilayah yang memiliki sumber daya alam berlebih ke wilayah lain. Dari satu daerah aliran sungai (DAS) ke DAS lain. ''Dunia internasional ingin menekankan bahwa saat ini terjadi krisis air yang hebat.'' kata Juru Kampanye Air dan Pangan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Erwin Usman.

Menurut dia, Indonesia memang juga mengalami krisis air. Namun, ketersediaan sumber daya alam itu masih cukup tinggi jika dibandingkan Eropa maupun Amerika. Yang patut diwaspadai, kata Erwin, tema itu secara tidak langsung akan memaksa Indonesia agar berbagi air dengan negara lain. ''Tentu saja dengan share yang tidak adil,'' ungkapnya.

Hal itu, kata Erwin, bisa dicermati sejak beberapa tahun lalu ketika UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air digolkan. UU yang mengatur privatisasi air di Indonesia itu ditengarai hasil rekayasa bank dunia untuk mengomersialkan sumber daya air Indonesia. ''Sejak privatisasi mulai dilakukan di Jakarta, krisis air yang terjadi tak makin membaik, namun malah memburuk,'' jelas dia. Di berbagai sektor juga demikian. Termasuk, domestik, industri, dan pertanian.

Tak hanya itu, pada 1997-2002, bank dunia juga mencairkan pinjaman USD 300 juta kepada Indonesia untuk mendorong regulasi tata sumber air negara ini. Dalam annual report World Bank disebutkan bahwa pinjaman kepada Indonesia itu merupakan salah satu keberhasilan kinerja lembaga tersebut. ''Dengan tata regulasi yang mendapatkan campur tangan dari negara lain itu, maka Indonesia secara tidak langsung akan terikat agar terpaksa berbagi air dengan negara lain,'' ujarnya.

Tak ayal, alih-alih pemerintah dapat memenuhi persediaan air bersih bagi penduduknya, bisa jadi pengalihan air ke negara lain akan menjadi prioritas.(kit/iro)

---------------------------

*Mencari Solusi Krisis Air sebelum Mencapai Puncak pada 2025*
Hanya 18 Persen Tercover Air Bersih

Hari Air Sedunia telah diperingati pada 22 Maret lalu. Kali ini, krisis air dan persediaan air bersih menjadi isu sentral di antara para komunitas pencinta lingkungan dunia. Krisis air itu diprediksi bakal memuncak pada 2025. Mengapa?

AKHIR 2008 lalu, Departemen Kehutanan dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) merilis data baru. Bahwa dari tiga juta hektare daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia, sekitar 2,7 juta hektare di antaranya dalam kondisi rusak. Tiga juta hektare DAS itu terdiri atas 318 DAS. ''Dari jumlah itu 60 DAS di antaranya rusak parah,'' kata Erwin Usman, juru kampanye air dan pangan eksekutif nasional Walhi.

DAS yang menjadi andalan di Pulau Jawa, seperti Citarum, Brantas, dan Bengawan Solo masuk dalam 60 kerusakan teratas tersebut. Padahal, 60 persen penduduk Indonesia tinggal di Jawa. Demikian pula, keberadaan pusat industri mayoritas ada di sana.

Saat ini potensi air yang ada hanya 4,5 persen untuk 65 persen penduduk di Indonesia. Sementara, berdasarkan data Susenas 2007, dari 225 juta penduduk Indonesia, yang mendapat layanan air bersih baru 18 persen. Sekitar 40 persen di antaranya tinggal di perkotaan. ''Hanya 8 persen penduduk desa yang menikmati PDAM,'' ungkapnya.

Jika dirinci lagi, penggunaan air oleh penduduk Indonesia 74 persen masih mengandalkan air tanah, 18 persen PDAM, tiga persen air sungai dan hujan, 2,5 persen dari air kemasan, dan sisanya dari sumber lain. ''Kenyataan itu sangat paradoks bahwa sumber air merupakan hak asasi manusia dan harus dipenuhi negara,'' kritiknya. Kenyataannya, pemerintah hingga kini baru bisa memenuhi 18 persen ketersediaan air. Sisanya, penduduk terpaksa memenuhi air sendiri.

Terjadinya krisis air dari tahun ke tahun, menurut Erwin, disebabkan beberapa hal. Perubahan iklim (climate change) ditengarai amat memengaruhi krisis air. Di samping itu, ada faktor pemakaian domestik, industri, maupun sektor pertanian.

Di satu sisi, pemerintah dinilai terjebak dengan menyerahkan pengelolaan air kepada mekanisme pasar. ''Hanya karena mereka sudah teruji,'' ujarnya. Jika langkah bijak tak segera ditempuh, yang paling terancam adalah penduduk yang tinggal di Jawa. Selama kurun 9-10 bulan, penduduk Jawa selalu mengalami krisis air. Alhasil, berbagai risiko terjadi. Misalnya, gagal panen. Namun, kondisi sisa dua bulan juga tidak lebih baik. Yang terjadi lantaran surplus air yang berlebihan sehingga terjadi banjir dan longsor. ''Ini disebabkan pengelolaan air belum maksimal,'' paparnya.

Direktur Penyehatan Air Depkes Dr Wan Alkandri mengakui, krisis air masih menjadi tema sentral dunia dalam peringatan Hari Air Sedunia tahun ini. Persoalan itulah yang juga dibahas dalam pertemuan internasional di Istambul, Turki, yang melibatkan para pengambil kebijakan, sektor swasta, PDAM, dan sektor pertanian. ''Krisis air yang kita hadapi saat ini tak hanya secara kuantitas, tapi juga kualitas,'' terang Wan yang juga mengikuti pertemuan itu di Istambul kemarin.

Daerah-daerah di Indonesia, kata Wan, tidak sepenuhnya kekurangan air. Kalimantan, misalnya, termasuk pulau yang memiliki air berlebih. Namun, kualitas airnya boleh dikatakan buruk. Solusi yang ditawarkan dalam pertemuan itu salah satunya adalah penerapan manajemen pengelolaan air secara terpadu. Pengelolaan air harus dilakukan lintas sektor. Tak hanya PR pemerintah, tapi juga butuh pelibatan sektor kehutanan, pertanian, dan industri. Upaya itu harus dilakukan secara konsisten dalam jangka waktu lima tahun.

Dalam jangka menengah, kata Wan, komitmen politik amat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan itu. Terutama, prioritas terhadap sanitasi. Tak hanya itu, revitaliasi PDM juga menjadi rencana jangka menengah. Dalam kurun lima tahun ini, pemerintah akan memasang 10 juta sambungan rumah untuk masyarakat perkotaan. Demikian juga sarana air minum untuk masyarakat pedesaan akan ditingkatkan.

Komitmen jangka panjang harus ditempuh berhubungan dengan cara mencegah climate change agar tak semakin memburuk. Salah satu upaya yang wajib dilakukan adalah menjaga hutan tropis Indonesia.

Sejatinya, kata Wan, cara paling sederhana mencegah krisis air adalah menghemat penggunaan air. Terutama, dalam pemakaian domestik.(kit/iro)

Jawa Pos:
http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=59186
http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=59183

Tidak ada komentar:

Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Harus Segera Diwujudkan

Suaka Margasatwa

Balai Raja

Giam Siak Kecil

Bukit Batu

Danau Pulau Besar

Bukit Rimbang Bukit Baling

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

 Tasik Tanjung Padang

Tasik Serkap

Tasik Metas

Tasik Belat

 Kerumutan

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Perbandingan RTRWN Terhadap RTRWP

[RTRWN-RTRWP2.gif]