-- Agnes Rita Sulistywati dan Ahmad Arif
Apa arti kemerdekaan yang sudah berbilang 61 tahun bagi rakyatnya? Getir. Setidaknya itulah yang dirasakan warga Sakai, salah satu suku asli di Provinsi Riau, daerah yang menghasilkan devisa negara terbesar dari minyak dan gas bumi.
Suku Sakai memang masih seperti terjajah di tanahnya sendiri. Paling tidak mereka dijajah secara ekonomi dan sosial. Tanah ulayat yang mereka miliki, yang membentang luas dari Minas hingga Dumai dan di dalamnya mengandung cadangan minyak tebesar di Nusantara, justru menjadi kutukan.
Dollar yang mengalir dari minyak dan gas, serta triliunan rupiah dari eksploitasi hutan oleh sejumlah perusahaan, ternyata hanya dinikmati para pemilik modal pendatang dan sedikit elite penguasa di Jakarta di era Orde Baru, dan pasca-otonomi daerah pejabat daerah ikut mereguknya. Suku Sakai tak mendapat tetesan kenikmatan dari kekayaan tanah mereka sendiri.
Suku Sakai adalah cermin dari kegagalan negara dalam melindungi masyarakat tempatan. Sedangkan investor cenderung melihat semuanya dalam kacamata untung-rugi, tentu enggan benar-benar memberdayakan masyarakat Sakai ini. "Di Riau ini, kebanyakan investor mengabaikan masyarakat Sakai. Tidak hanya di Sakai, tapi seluruh masyarakat adat di Riau ini memang dinafikan oleh investor," kata Thamrin S, Ahli Hukum Adat Universitas Islam Riau.
Menurut Thamrin, hal ini sebenarnya bermula pada polemik tentang status hukum tanah adat di mata negara, khususnya di mata Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan Pemerintah Provinsi Riau. Upaya untuk memperjuangkan hak masyarakat adat di Riau, termasuk hak masyarakat Sakai, menurut Thamrin, selalu gagal karena masalah status yuridis ini.
"Kalangan swasta itu selalu bilang silakan gugat di pengadilan. Mana ada keberdayaan masyarakat? Tak bisa-bisa. Pasti kalah. Saya selalu mengingatkan enggak usah maju kalau yang diminta ke pengadilan, karena hanya akan membuang tenaga dan biaya. Akhirnya, kita hanya bisa berharap mereka masih punya hati nurani," kata Thamrin.
Niat baik
Pakar Hukum Pertanahan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Soemardjono menilai, peminggiran masyarakat adat memang lebih karena tak adanya niat baik, baik dari pemerintah maupun kalangan swasta. Menurut Maria, perlindungan terhadap tanah ulayat bisa dilakukan jika pemerintah kabupaten memiliki niat baik untuk melindungi masyarakat asli.
"Payung hukum untuk melindungi tanah ulayat itu sudah ada, yaitu Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999. Jika masyarakat Sakai sudah punya peta tanah ulayat mereka, seharusnya sekarang tinggal dipetakan ulang," tutur Maria.
Maria menambahkan, sejauh ini sudah ada dua kabupaten yang membuat perda untuk melindungi masyarakat adat, yaitu Baduy di Kabupaten Lebak, Banten dan Lundayah di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. "Pemerintah Kabupaten Bengkalis bisa mencontoh dua kabupaten ini," kata dia.
Menurut Thamrin, pemetaan tanah ulayat di Riau ini menjadi masalah besar. "Di Riau ini sudah ada juga yang punya peraturan daerah mengenai tanah ulayat, yakni Kabupaten Kampar, tetapi tidak jalan karena tiadanya peta yang dibuat. Untuk membuat peta, biayanya besar dan sekali lagi masalah niat baik ini susah diharapkan," tutur Thamrin.
Bagi Thamrin, keseriusan pemerintah untuk melindungi masyarakat adat memang setengah hati. Buktinya, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, yang dibuat pada awal era reformasi itu, seperti tak bertaji. "Harusnya memang ada undang-undang yang tegas mewajibkan untuk menghargai tanah ulayat," tegas Thamrin.
Di Riau terdapat delapan suku asli yang masih terasing, dan populasi terbanyak adalah Sakai. Sampai sekarang, semuanya masih eksis walaupun terus tergusur. "Karena itu, kalau pemerintah mau melindungi suku asli, jangan hanya berpatok pada yuridis saja, tapi lihat fakta juga. Sambil jalan, kalau ada dana pemerintah, dipetakan," tambah Thamrin.
Kekhawatiran Thamrin memang beralasan, karena sejauh ini Pemerintah Kabupaten Bengkalis memang belum tergerak untuk membuat perda guna melindungi tanah ulayat Sakai, apalagi untuk memetakannya.
Barangkali, jika menunggu pemerintah melakukan pemetaan, suku-suku asli itu—termasuk juga suku Sakai—keburu menghilang dari tanah ulayat mereka....
Sumber:Kompas, Kamis, 26 April 2007
Sumber:http://cabiklunik.blogspot.com/2007/04/suku-asli-3-habis-ketika-negara-gagal.html
Apa arti kemerdekaan yang sudah berbilang 61 tahun bagi rakyatnya? Getir. Setidaknya itulah yang dirasakan warga Sakai, salah satu suku asli di Provinsi Riau, daerah yang menghasilkan devisa negara terbesar dari minyak dan gas bumi.
Suku Sakai memang masih seperti terjajah di tanahnya sendiri. Paling tidak mereka dijajah secara ekonomi dan sosial. Tanah ulayat yang mereka miliki, yang membentang luas dari Minas hingga Dumai dan di dalamnya mengandung cadangan minyak tebesar di Nusantara, justru menjadi kutukan.
Dollar yang mengalir dari minyak dan gas, serta triliunan rupiah dari eksploitasi hutan oleh sejumlah perusahaan, ternyata hanya dinikmati para pemilik modal pendatang dan sedikit elite penguasa di Jakarta di era Orde Baru, dan pasca-otonomi daerah pejabat daerah ikut mereguknya. Suku Sakai tak mendapat tetesan kenikmatan dari kekayaan tanah mereka sendiri.
Suku Sakai adalah cermin dari kegagalan negara dalam melindungi masyarakat tempatan. Sedangkan investor cenderung melihat semuanya dalam kacamata untung-rugi, tentu enggan benar-benar memberdayakan masyarakat Sakai ini. "Di Riau ini, kebanyakan investor mengabaikan masyarakat Sakai. Tidak hanya di Sakai, tapi seluruh masyarakat adat di Riau ini memang dinafikan oleh investor," kata Thamrin S, Ahli Hukum Adat Universitas Islam Riau.
Menurut Thamrin, hal ini sebenarnya bermula pada polemik tentang status hukum tanah adat di mata negara, khususnya di mata Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan Pemerintah Provinsi Riau. Upaya untuk memperjuangkan hak masyarakat adat di Riau, termasuk hak masyarakat Sakai, menurut Thamrin, selalu gagal karena masalah status yuridis ini.
"Kalangan swasta itu selalu bilang silakan gugat di pengadilan. Mana ada keberdayaan masyarakat? Tak bisa-bisa. Pasti kalah. Saya selalu mengingatkan enggak usah maju kalau yang diminta ke pengadilan, karena hanya akan membuang tenaga dan biaya. Akhirnya, kita hanya bisa berharap mereka masih punya hati nurani," kata Thamrin.
Niat baik
Pakar Hukum Pertanahan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Soemardjono menilai, peminggiran masyarakat adat memang lebih karena tak adanya niat baik, baik dari pemerintah maupun kalangan swasta. Menurut Maria, perlindungan terhadap tanah ulayat bisa dilakukan jika pemerintah kabupaten memiliki niat baik untuk melindungi masyarakat asli.
"Payung hukum untuk melindungi tanah ulayat itu sudah ada, yaitu Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999. Jika masyarakat Sakai sudah punya peta tanah ulayat mereka, seharusnya sekarang tinggal dipetakan ulang," tutur Maria.
Maria menambahkan, sejauh ini sudah ada dua kabupaten yang membuat perda untuk melindungi masyarakat adat, yaitu Baduy di Kabupaten Lebak, Banten dan Lundayah di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. "Pemerintah Kabupaten Bengkalis bisa mencontoh dua kabupaten ini," kata dia.
Menurut Thamrin, pemetaan tanah ulayat di Riau ini menjadi masalah besar. "Di Riau ini sudah ada juga yang punya peraturan daerah mengenai tanah ulayat, yakni Kabupaten Kampar, tetapi tidak jalan karena tiadanya peta yang dibuat. Untuk membuat peta, biayanya besar dan sekali lagi masalah niat baik ini susah diharapkan," tutur Thamrin.
Bagi Thamrin, keseriusan pemerintah untuk melindungi masyarakat adat memang setengah hati. Buktinya, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, yang dibuat pada awal era reformasi itu, seperti tak bertaji. "Harusnya memang ada undang-undang yang tegas mewajibkan untuk menghargai tanah ulayat," tegas Thamrin.
Di Riau terdapat delapan suku asli yang masih terasing, dan populasi terbanyak adalah Sakai. Sampai sekarang, semuanya masih eksis walaupun terus tergusur. "Karena itu, kalau pemerintah mau melindungi suku asli, jangan hanya berpatok pada yuridis saja, tapi lihat fakta juga. Sambil jalan, kalau ada dana pemerintah, dipetakan," tambah Thamrin.
Kekhawatiran Thamrin memang beralasan, karena sejauh ini Pemerintah Kabupaten Bengkalis memang belum tergerak untuk membuat perda guna melindungi tanah ulayat Sakai, apalagi untuk memetakannya.
Barangkali, jika menunggu pemerintah melakukan pemetaan, suku-suku asli itu—termasuk juga suku Sakai—keburu menghilang dari tanah ulayat mereka....
Sumber:Kompas, Kamis, 26 April 2007
Sumber:http://cabiklunik.blogspot.com/2007/04/suku-asli-3-habis-ketika-negara-gagal.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar